,

Meramu Keindahan, Keanggunan dan Kemegahan Candi Kalasan

Takkan pernah habis kulukis cantikmu. 
Tinta dan penaku tidak akan pernah luntur bertutur. 
Kubayangkan kau  di bawah temaram purnama, berkilau memancarkan keanggunan.
 Kubelai parasmu, kusemayamkan dalam hasil potretan terdalam wahai Gurubhis Tarabhavanam... 
Meramu indah, anggun dan megahmu dalam balut kekagumanku tentangmu hai Candi Kalasan

*
Candi Kalasan
Cantik
PANGGIL ia Dewi Tara. Pelindung dan pengayom bagi warga sekitar. Tak urung Sang Maha Raja Dyah Pancapanam Panamkarana takdzim lalu membuatkannya prasasti bertajuk Candi Kalibening.

"Raja Dyah Pancapanam itu lahir dari dinasti Sanjaya, salah satu dari dinasti  raja-raja Hindu di Jawa. Tapi ia berkenan mendirikan candi persembahan bagi para biarawan Buddha," kisah ayah suatu ketika membuka percakapan saat kami mulai menorehkan pemoles di ukiran batang akar kayu di teras belakang.

Aku belum terlalu besar kala itu. Masih duduk di bangku kelas 3 SD. Namun kisah-kisahnya tentang raja-raja, candi-candi dan sejarah Jawa masa silam, masih kuingat hingga sekarang.

"Lihat nak, ini adalah pelitur yang akan mempercantik bongkahan akar kayu jati yang semula diremehkan orang karena dianggap tidak punya nilai, nanti akan bersinar indah. Setelah itu akan diperebutkan orang karena harganya mahal," ujarnya menambahkan.

Siluet Candi Kalasan
Seperti robot Transformer yang sedang menyamar ya geshh

Begitu pula Candi Kalibening yang sekarang kita kenal sebagai Candi Kalasan, ayah terus berkisah sembari tangannya mengaduk cat berwarna coklat keemasan itu lalu memberi contoh cara menorehkan kuasnya. Candi itu sangat megah. Ukiran reliefnya detil di berbagai sudut, yang menunjukkan tingginya peradaban mereka di zaman itu, namun banyak orang abai dan lebih menoleh pada Prambanan ataupun Borobudur.

Pahatan batu yang dirubah jadi patung juga lebih baik dibanding arca-arca di tempat lain. Yang paling menarik dan menjadikan Candi Kalasan istimewa adalah lapisan brajalepa-nya. Lapisan ini bahkan sangat sulit dibuat di masa kini.

"Bajralepa (Vajralepa) merupakan bahan pelapis bangunan yang konon dibuat dari campuran putih telur dan getah beberapa tanaman tertentu. Bahan ini digunakan untuk memperindah dinding dengan warna putih kekuningan sekaligus untuk melindungi dinding dari kerusakan. Tapi berdasar analisis laboratorium lapisan bajralepa tersusun dari pasir kwarsa (30%), kalsit (40%), kalkopirit (25%) serta lempung (5%). Ini teknologi yang sangat tinggi di masa itu di bidang arsitektur nak," ayah terus nerocos, seolah ia paham betul bahwa aku benar-benar mengerti dengan apa yang disampaikannya.

Bajralepa Candi Kalasan
Aku masih terlongo, kagum dengan penuturan ayah. Aku salut pula dengan penjelasannya. Ya meski waktu kami bersama bisa dibilang sangat sedikit, di tengah ritme padat pekerjaannya sebagai wartawan, ia masih menyempatkan diri mengecat akar kayu ini sembari menceritakan kisah yang luar biasa bagi ini.

Seolah tak memberi jeda, ayah kembali berkisah. Dewi Tara ini adalah puteri Dharmasetu, Raja Sriwijaya. Ia menikah dengan Samaratungga puteranya Raja Indra dari Wangsa Sanjaya. Hal ini dibuktikan dengan penemuan prasasti tak jauh dari Candi Kalasan, bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai Bodhisattva wanita.

"Kamupun demikian. Hormati selalu wanita terutama ibumu, jangan pernah menyepelekan ataupun melecehkan mereka. Dibalik raga yang seolah lemah, mereka adalah kekuatan kita kaum pria, mereka yang menyokong dan men-support kaum laki-laki untuk terus berkarya," katanya lugas, kali ini sambil memegang tanganku membenarkan sapuan kuasku.

Tara-pun demikian, ia melanjutkan. Ia bukan sekedar istri yang baik yang memberi motivasi Samaratungga agar memerintah dengan adil dan bijaksana serta mensejahterakan rakyatnya, namun ia juga jadi pelindung, pengayom dan memberikan rasa aman bagi warga di sisi selatan Jawa. Candi Kalibening yang kini lebih dikenal sebagai Candi Kalasan, adalah bukti cinta warga atas jasa dan pengabdian Tara.

"Nah, kuasin juga tuh sudut dan bagian yang menjorok ke dalam. Semua bagian harus sapuan
yang sama rata agar hasilnya maksimal, jadilah penguasa yang adil meski kuasamu saat ini hanya atas akar kayu jati ini. Ayah ada liputan mendadak. Kamu selesaikan ya," pungkas ayah bergegas mencuci tangan dan mengambil 'peralatan perangnya'.

"Oh ya satu lagi, di Kalasan juga ada batu monolit yang digunakan sebagai alas pijakan. Kalau banyak orang menyebutnya batu bulan (moonstone). Gak semua candi punya seperti itu, kamu harus kesana kelak," kali ini ayah sedikit berteriak karena berbarengan dengan deru mesin motor tuanya. Aku mengangguk, meski tak tahu kapan dapat ke sana.

Candi Kalasan yang anggun
Megah, cantik, anggun dan berteknologi tinggi
**

Aku terpekur. Bangunan di hadapanku ini ibarat Transformer yang menyamar karena keberadaan mereka harus disamarkan usai pertempuran besar di masa Perang Salib dulu. besar, penuh lumut dan seolah terbengkalai.

Aku teringat kisah ayah tentangnya. Kisah yang selalu akan menyertai langkahku di masa kini. Cerita yang mengilhamiku menelusur jejak-jejak peradaban masa lalu. Tentang kejayaan, tentang arsitektur yang tak mungkin berulang kini, tentang teknologi yang sedemikian canggih, bahkan di masa mereka belum mengenal gadget.

Dering Hp di kantong menyadarkanku. Pesan ibu yang menanyakan keberadaanku, menyadarkan lamunanku. Ya, ibulah yang selalu mengkhawatir dan lebih sering bertanya dimana aku, lagi apa dan sebagainya. Kekhawatiran khas ibu-ibu, beda dengan ayah yang lebih cuek, meski aku yakin mereka menyanyangiku dengan cinta yang sama mendalam.

Bergegas aku mengambil peralatan foto, mengambil gambar di beberapa sudut seperti yang diceritakan ayah belasan tahun silam. Kucatat beberapa bagian penting Candi Kalasan, termasuk penuturan penjaga.

Dilarang Masuk Candi Kalasan


Sama persis, aku juga mengangumi candi ini. Arsitektur dan detil-detilnya membuatku jatuh cinta. Beberapa penampang yang masih menyisakan brajalepa, nampak memudar seperti halnya rambut ayah yang sudah memulai memutih, namun tetap menunjukkan keanggunan dan kecantikannya.

Aku berjanji, suatu ketika aku harus kembali ke sini. Kecantikan Candi Kalibening ini harus dipadukan dengan temaram purnama. Kubayangkan keduanya akan berkolaborasi membentuk kecantikan baru yang lebih sempurna, berkilau di bawah cahaya bulan, memancarkan keanggunan dan kemegahan.

Tara...aku akan kembali untukmu. Bisikku... 

Batu Bulan Candi Kalasan
Batu bulan

Arca Candi Kalasan
Menunggu ditata

Pesawat melintas di atas Candi Kalasan
Melintas
NB: tulisan lain tentang candi, dapat dibaca di sini atau di sini atau juga di sini


Share:
Read More
, , , , ,

Site Performance IGF 2018: Mengunjungi Akar Budaya Barongan dan Tayub di Blora



James dan Ilse menari Tayub
KETIKA mendapat undangan untuk mengikuti Site Performance di Blora pertengahan Agustus lalu, saya langsung mengiyakan tanpa babibu. Bagi saya, ini merupakan tantangan sekaligus kesempatan karena kami (sebagian) para blogger Semarang tidak mendapat kesempatan mengikuti International Gamelan Festival (IGF) 2018 di Solo.

Bangun pagi buta (saya adalah bangsawan, bangsa tangi awan :D), terbayar lunas. Meski sempat bingung harus ngapain dan bagaimana, perlahan saya memahami arti penting Site Performance ini.
Kedatangan kami di Blora, disambut tarian Barong. Di sisi hutan jati Desa Ledok Kecamatan Sambong, anak-anak dengan lincah memainkan gamelan. Tidak itu saja, gaya mereka juga menggemaskan saat memainkan barongan, semacam tarian topeng sebagai suguhan pembuka.

Tentu saja ini sangat menarik. Anak-anak usia SD dan SMP, sudah sangat mahir bahkan lancer djaya bermain kesenian tradisional. Namun saya masih belum ngeh...mungkin saya lapar. Dan belum genap ke-ngeh-an saya, rombongan sudah bergeser ke lokasi pengeboran minyak.
Di dalam mobil, saya terus bertanya-tanya apa tujuan kegiatan ini. Apalagi kami sudah harus berada di lokasi pengeboran, apa pula hubungannya? Apakah mereka bersaudara.

Ah beruntungnya saya yang dalam kebingungan, bertanya pada orang yang tepat. Fafa Utami yang belakangan saya ketahui dari Bidang Kurasi dan Produksi Ditjen Kebudayaan Kementrian Pendidikandan Kebudayaan RI, menjawab semua ketidakpahaman saya.

“Jadi mas, site performance ini merupakan kelanjutan dari IHG 2018 yang sudah digelar kali kedua di Solo. Seluruh peserta baik dari dalam dan luar negeri, kami ajak mengetahui langsung darimana kesenian serta gamelan itu berasal. Sebelumnya kami sudah ke Karanganyar, Solo, Wonogiri, kini ke Blora, besok ke Boyolali. Jadi kami sengaja mencari akar budaya itu sendiri,” terangnya ditimpali wajah ngowoh saya yang tak sadar ternyata saya di bawah terik matahari. Makin gosong deh nih hehehe

Jadi, kegiatan mengunjungi pengeboran minyak ini bukan sekedar wisata atau foto-foto biasa. Lahirnya barongan, dipercaya lekat dengan keberadaan aktivitas para penambang minyak tradisional yang menggunakan pompa dengan tangan untuk menimba minyak mentah (sekarang sih sudah pada pakai mesin). Keberadaan mereka, sangat dekat dalam kelahiran dan perkembangan barongan seiring dengan perbaikan ekonomi warga sekitar.
Terjawab sudah.

Eh eh..belum sempurna mulut saya mengatup, rombongan sudah harus kembali bergeser. Kali ini kami akan menuju ke Desa Ngelo Kecamatan Sepu yang berjarak kurang lebih 40 menit dari lokasi ini. Ngapain lagi nih pikir saya?

Tanda tanya besar terjawab, kami akan naik kereta uap...cihuiiiii. Pasalnya di kawasan itu masih terdapat loko uap yang dihidupkan kembali oleh Perhutani dan diberi tajuk Heritage Loco Tour. So, apa hubungannya dengan seni budaya Blora?

Tunggu dulu, banyak bertanya memang baik, tapi ada baiknya juga mellihat apa yang menyambut kami di sana. Dan beberapa penari cantik, sudah ready geshhh. Mereka akan mengajak pengunjung menari Tayub. Aih di sini kembali saya memahami...ya memang dasar agak lemot, maklum belum sarapan hahaha.

Usai menyantap Sate Blora tiga porsi, pikiran saya mulai jernih. Beberapa peserta dari luar negeri, nampak sudah asyik menari Tayub. Meski dengan gerakan patah-patah, mereka perlahan bisa mengikuti para penari yang gemulai.

Nah di akhir cerita, eh di akhir acara...kami semua diberi kesempatan menjajal loko uapnya. Dua gerbong besar yang sudah disulap jadi ruang penumpang yang cukup nyaman, penuh sesak oleh kami yang penasaran. Di situ pula saya mengenal beberapa nama rekan baru dari negeri sebrang, sebut saja Ilse de Ziah dan James Mc Glynn dari Irlandia, Catherine dari Rusia yang ternyata sudah mahir berbahasa Indonesia.

Ada pula Elsje Plantema, yang ternyata merupakan pimpinan kelompok seni Wido Sari Amsterdam. Wao wao...di Belanda sana malah ada kelompok seni, sementara saya main gamelan saja tidak bisa hiks hiks malu saya. Kamu malu ndak? Oh ya, kelompok seni sudah berusia 30 tahun lo gessh. Sangar to...


*

Adalah Kepala Bagian Umum dan Kerjasama Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Ahmad Mahendra yang menjelaskan kegiatan dengan tajuk Anjangsana Kebudayaan itu, mengunjungi beberapa destinasi wisata dan seni budaya, termasuk di Kabupaten Blora. 

Sebelumnya pihaknya sudah kegiatan yang terpusat di Solo. Untuk melengkapi IGF tersebut, pihaknya juga mengajak para peserta festival untuk melakukan site performance demi mengetahui akar budaya gamelan.

Dipilihnya Blora, karena lokasi ini merupakan asal seni barongan dan tayub. Untuk itu pula, mereka diajak mengunjungi asal muasal kesenian ini.
"Ini dalam rangka pemajuan kebudayaan dan menumbuhkan ekosistem kebudayaan dalam sebuah masyarakat itu. Rombongan juga kami ajak melihat pengeboran minyak tradisional di Desa Ledok dan naik KA uap di Cepu," tukasnya.

Diakuinya, Site Performance memiliki tujuan dari akar budaya gamelan. Sehingga, siapapun yang melestarikan, berarti mereka sudah membangun kebudayaannya sendiri. 

"Oleh karena itu, Site Performance ini selain gamelan, ada juga pewayangan yang juga menggunakan gamelan bersama Ki Manteb, kemudian ada budaya Ketek Ogleng, dan kini di Blora kita menyaksikan seni budaya Barongan dan Tayub, yang juga merupakan senu budaya menggunakan alat musik gamelan," ujarnya. 

Apalagi, lanjutnya, di Kabupaten Blora sendiri, merupakan daerah penyuplai kesenian budaya Tayub terbanyak, termasuk para penarinya yang merupakan perempuan, disebut Ledek, pun berasal dari Blora, yang saat ini terus banyak menari di Keraton Solo. 

"Sehingga, dengan begitu membuat Blora menjadi posisi penting sekali di dalam konteks budaya gamelan, oleh karena itu, Blora sangat perlu dikunjungi sekali," imbuhnya.

Wakil Bupati Blora Arief Rohman menambahkan saat ini Blora tengah mengembangkan potensi wisata budaya dan wisata alam yang ada di daerah tersebut. Hal itu dikarenakan daerah Blora-Cepu, sebagian daerahnya merupakan daerah hutan, dan penghasil minyak, sehingga untuk saat ini pemerintah setempat terus mengembangkan potensi wisata budaya dan alam yang ada di daerah ini. 

"Kami merupakan daerah penghasil minyak, sampai saat ini, dan masih terus menggunakan alat tradisional dari dulu ini ternyata dengan menimba saja, sudah menghasilkan minyak, sehingga ekonomi sebagian di Blora ini, ditopang dari minyak ini. Sehingga, perkembangan budaya pun juga akan pesat disini karena berkaitan," ujarnya. 

Bahkan, untuk pengelolaan di wilayah pusat minyak itu, dikelola oleh tiga unsur, termasuk Pokdarwis dan juga Pertamina, BUMD, dan kelompok Bumdes, serta kelompok sadar wisata di desa ini. 

"Sedangkan untuk anggaran pengembangan kebudayaan di Blora ini, sudah mencapai ratusan juta. Karena di Blora ini sudah banyak kelompok untuk Barongan di desa-desa, karena peminat Barongan, Karawitan, dan Gamelan disini sampai anak-anak pun sudah memainkan gamelan dan budaya lain disini, jadi anggarannya, jelas banyak," katanya. 

Diharapkan, dari adanya kunjungan ini, bisa menimbulkan interaksi dan apresiasi saat melihat situs-situs perkembangan seni, budaya, dan tradisi di empat kabupaten tersebut, termasuk di Kabupaten Blora. 
Catherine dan Ahmad Mahendra belajar Tayub


Share:
Read More
, , , ,

Perkebunan Teh Tambi: Edukasi, Wisata hingga Cara Menikmati




BERBICARA tentang teh, bagi saya awalnya sekedar minuman yang segar disruput saat panas, atau ditambah es saat terik. Namun begitu  mengunjungi Agro Wisata Tambi, semua berubah. Teh ternyata memiliki banyak hal berguna baik bagi tubuh, bukan lagi sekedar pemuas dahagamu.

Jadi, awal pekan lalu, saya berkesempatan mengunjungi  kebun teh milik PT Perkebunan Tambi di lereng Gunung Sindoro, di Wonosobo sono di ketinggian 1400 Mdpl, dimana kurang sedikit lagi atau hanya terpaut jarak 30 menit dari Dieng. Dalam benak sebelum berangkat, saya nanti akan kulakan foto-foto keren para pemetik teh, hijau menghampar berlatar gunung, diakhiri dengan foto selfie dengan gaya sedang pula memetik pucuk teh ahahahai.

Tapi semua berubah drastis layaknya mencairnya es abadi di kutub selatan. Global warming telah meluluhlantakkan keinginan ber-swafoto, dan alhasil saya lebih asyik mengabadikan momen para pemetik teh yang kini telah kekinian (tapi ya bukan berati mereka memetik teh pakai gagdet lo hihi, la emang bikin status story).

Kebun teh Tambi petak 6 berlatar Gunung Sindoro
Termakan iklan, saya pikir memetik teh itu hanya dengan memanfaatkan jari jemari. Namun demi luasan lahan PT Tambi yang mencapai 800 hektar, sekiranya baru pada lebaran tahun depan mungkin seluruh pucuknya baru akan terpetik sempurna. Itupun tentunya sudah muncul pucuk baru di beberapa petak lainnya karena siklus tumbuh pucuk hanya butuh 3-4 bulan saja.

Kini, mereka sudah menggunakan alat sederhana yang sudah dimodifikasi. Dan sangat simpel. Gunting rumput dipasang bilah aluminium membentuk kotak untuk menampung daun teh yang terpotong. Jadi, potongan dauh teh sudah langsung tertampung dalam boks, lalu tinggal menaruhnya dalam keranjang yang terpampang di punggung belakang.

Kekinian...gak lagi pake jari
Lalu jika keranjang sudah menggunung, para pemetik akan mengumpulkannya dalam karung besar yang diberi nama waring. Waring ini gessshh, bisa menampung 20-30 Kg pucuk teh segar. Kemudian akan ditimbang dan para pemetik akan mendapat haknya sesuai jumlah pucuk yang dipetiknya.

Bukan persoalan mudah untuk mendapatkan kualitas teh terbaik. Tidak saja berbicara dari biji dan kualitas tanamannya, namun juga berkait erat dengan cara memetik, menumpuk, membawa hingga nanti pengolahan di pabrik.


Di pabrik usai ditimbang kembali untuk mengecek apakah ada penyusutan, daun teh yang akan dibuat teh hitam, dilayukan kurang lebih 16 jam. Inilah garis besar pembuatan teh. Prosesnya cukup ditempatkan dalam wadah-wadah besar yang dibawahnya ditempatkan blower, dan biasanya dilakukan pada sore hingga malam hari.

Setelahnya dilakukan penggilingan selama kurang lebih 40 menit untuk menggulung daun memecah partikel. Baru setelahnya, daun-daun teh tadi dimasukkan ke ruang oksidasi enzimatis dalam suhu 95 derajad. Dan setelah melalui proses penjenisan selama 6 jam, jadilah produk-produk teh yang kita kenal. Namun produksi teh di Tambi beda dengan teh yang dijual di pasaran yang sudah diberi perasa berbagai macam oleh para produsen.

Sementara untuk pembuatan teh hijau, prosesnya lebih cepat karena kesegaran daun sangat dijaga. Artinya, petikan teh pagi itu, juga harus segera diproses hari itu juga, sementara di teh hitam produksi teh yang dilakukan hari ini adalah hasil petikan kemarin. Hampir sama, pucuk dilayukan dulu namun cukup beberapa menit karena prosesnya dibantu dengan pemanas api, lalu digulung juga dilanjutkan dengan proses pengeringan pertama dan kedua.

Di tahap akhir proses baik teh hitam maupun teh hijau, ada proses unik yang dilakukan yakni membawa seluruh teh yang sudah kering melewati sebuah ‘jalur panjang bermagnet’. Gunanya untuk memastikan produk teh tersebut tidak tercampur dengan materi logam yang tentunya sangat berbahaya jika sampai masuk ke dalam tubuh. Magnet-magnet yang ada tadi, akan langsung menyerap semua logam baik yang berbentuk halus seperti pasir maupun yang besar sehingga dauh teh steril dan siap disajikan.

Eh eh...ada nih teknik mencicipi teh yang ternyata cukup unik. Gak asal sruput kayak kita menyeruput teh di warung langganan. Jadi, teh yang masih panas, dicicipi pakai sendok lalu ditempatkan di bibir bagian bawah. Sedot dengan keras melalui sela-sela gigi. Sluurrrpppp.

Ya memang sih, menikmati teh itu harus dengan seni...maklum, ia sebenarnya adalah minuman para aristokrat di negeri barat. Ya karena di sana tak banyak tanaman teh. Sementara di negeri kita, teh seolah jadi minuman murah karena bertebaran banyak perkebunan dan produknya. Di Inggris saja, teh hanya diminum oleh para bangsawan Buckingham lo, makanya ada acara high tea yang minumnya benar-benar dinikmati perlahan tidak kesusu disambi obral obrol. Kalau di sini, minum teh bisa disambi njahit atau petan (mencari tumo atau kutu rambut) hahaha.


FYI, teh Tambi Merah ini harganya selangit gessh. Per kilonya mencapai Rp600 ribu, jadi bisa dibayangkan harga teh per gelasnya kalau diecer. Yang pasti, produksinya belum banyak dan sudah diminati pasar luar negeri seperti Rusia dan Eropa

*
Di sisi lain, PT Perkebunan Tambi juga melihat acara memetik teh setiap pagi ini, jadi peluang untuk member edukasi kepada warga. Ya sekaligus mendidik agar kita lebih menghargai teh yang semula dibawa bangsa Belanda dalam bentuk biji dan ditanam di ketinggian.

Makanya di Tambi juga ada layanan agro wisatanya. Pengunjung nantinya akan diajak menyusur jalur-jalur teh di petak perkebunan, sekaligus diberi edukasi dari cara metik hingga proses penjenisannya. Foto-foto di depan pucuk teh yang hijau ranum segar berlatar Gunung Sindoro, jadi pemandangan yang apik untuk diupload dan dikabarkan ke belahan dunia.

Siluet para pemetik teh Tambi
Sementara di Agro Wisata Tanjungsari yang juga merupakan salah satu divisi PTP Tambi, pengunjung lebih banyak diajak belajar dan berwisata sekaligus rileksasi. Jadi dapat tiga manfaat sekaligus nih gesssh...belajar tentang teh, berwisata agar otak rileks dengan melihat yang hijau-hijau tapi juga dapat belajar mengenai banyak pengetahuan.

Lah kok bisa? Bisa dong, pasalnya agro wisata ini menyediakan satu spot labirin yang dilengkapi dengan berbagai pengetahuan dasar sejak tingkat SD hingga SMP yang yakin deh pastinya kalian sudah pada lupa...saya juga haha.

Spot selfie, kolam renang, kebun teh dan rumah pohon bisa dinikmati di sini. Mau minum teh hasil petikan langsung dari Tambi? Bisa. Tapi ya jangan lupa mbayar lo ya hehe. Eh satu lagi, Tambi juga bisa jadi spot menarik untuk hunting Milky Way, meski sayang saya gagal mendapatkannya karena bulan purnama yang menjadikan spot terlalu terang dan si Dalan Susu jadi malu-malu.

Sudah ah...aku mau nyruput teh dulu terus mau melakukan manfaat nomer 11 wakwakwkawkkw



 
Bonus scene: Perburuan Milky Way yang gagal

Share:
Read More
, , , ,

Mencumbu Rindu Dalan Susu



ENTAH mengapa warung itu bernama The Dalan Susu. Mungkin ia hanya berjualan produk susu
segar atau mungkin susu kaleng dan sachet? Atau karena pegawai di warung ini menawarkan pemandangan agak saru-saru berhubungan dengan susu? Anganku meracau...ngilu.

Aku sih hanya menuruti ajakan sobat dekatku, si Deta. Katanya berpromosi waktu itu, ada hal-hal menarik yang ditawarkan warung ini, tidak ada di tempat lain, salah satunya semua menu dimasukkan ke dalam kulas.

Mengangguk mengiyakan, kuikuti langkahnya memasuki The Dalan Susu. Kedatangan kami disambut gadis berambut panjang tergerai, kulitnya putih sepekat susu. Matanya berbinar memancarkan terang warna rasi bintang. Jika dipadukan, ada tiga warna benderang, dua dari matanya, satu lagi di keseluruhan wajahnya. Serupa summertriangle yang bisa kita jumpai di Milky Way, saat musim panas yang keindahannya memancarkan keangkuhan semesta komplit bersama trio Deneb, Vega dan Altair.

Dan sesaat ada getaran aneh menjalar ketika kutatap matanya, mirip ketika aku salah mencabut carger dari stop kontak yang membuat badan bergetar, tapi ini berujung di dada. Entah apa namanya. Aku tak berusaha mengingatnya.

Iapun tak banyak bicara. Panggilan dari pelanggan lain membuatnya pergi meninggalkanku yang terbengong. Terbelalak lebih tepatnya. Kecantikannya mempesonaku, seolah memukul tengkuk membuatku tersungkur. Sepertinya aku bakal rindu.

“Sudahlah, masih banyak waktu untuk menjumpainya. Sabar aja. Di siang bolong seperti ini, kurang baik berkenalan dengannya. Cukup tahu namanya saja,” Deta nyengir menghiburku. Sobatku ini tahu banget apa yang kugelisahkan. Semprul.

*

SUDAH sekian lama sejak pertemuan singkat itu, tak kudengar lagi kabarnya. Ingin kuminta nomer HPnya ke sobatku, tapi aku tertalu tinggi hati, malu. Hanya sesekali kuintip dia di linimasa. Ia selalu terlihat cantik, bahkan dalam remang sekalipun.

Tapi semakin dalam kuperhatikan, ia justru semakin cantik dalam gulita. Entah mengapa. Warna hitam, gelap malam dan gulita sekitar, seolah semakin memunculkan pesona kulitnya yang seputih susu. Ah apakah ini yang namanya cinta? Tapi mengapa aku tak berani menyapanya? Atau mencuri waktu menjumpainya?

Aku hanya berani memandangnya, itupun dari kejauhan. Ah, aku cemen. Aku lelaki yang terjebak dalam perasaan rindu, tapi tak berani mencumbu... Boro-boro, menemuimupun aku tak mampu.

*

TELAH kulupakan perkenalanku dengannya. Waktu menjawab semua, bahwa mungkin kami tak memiliki kesempatan untuk lebih jauh. Ya anggaplah kami tak berjodoh. Nasib...

Tapi eh siapa bilang? Pepatah yang mengatakan cinta tak mengenal ruang dan waktu, mampu meruntuhkan ego dan batas-batas norma, menjadi buktinya.

Suatu ketika tanpa sengaja dalam perjalanan di Dieng, aku harus terdampar di bukit yang tak terlalu tinggi. Di punggungnya, aku habiskan malam. Mendekati tengahnya, seolah ada yang memanggilku dari arah belakang. Suara itu memintaku mendongak ke langit, memperhatikannya lebih detil, lebih jeli dengan segenap rasa.

Kuputari pandang. Hanya gulita yang ada. Aku terkesiap. Gulita dan dia. Ya ya, kenapa kutak mencarinya dalam keremangan.

Secarik berkas cahaya menuntunku padanya. Tapi ia teramat jauh, tak mampu kujamah. Hanya dapat kutatap indahnya, lalu membingkainya dalam kenangan kekal di kamera yang selalu menemaniku kemanapun langkahku pergi.

*

PERTEMUAN kami berikutnya, bisa dikatakan cukup romantis. Di sisi kali, dihias dengan gemerisik air dan bebatuan sebagai properti, menambah syahdu suasana malam itu. Iya aku ingat, aku sengaja menjumpainya menjelang tengah malam, ketika gulita berada di puncaknya.

Aku berharap, pertemuan kami tak diganggu-ganggu lagi. Aku ingin mencumbunya, memeluknya dengan penuh cinta, membingkai rasa sayangnya dalam dekap manja. Aku kangen dia.

Dan semesta selalu mendukung niatan tulus. Kali Progo menjadi saksi pertemuan kami. Betapa bahagia yang membuncah, terus mengalir laksana energi sungai yang tak pernah habis mengucurkan air dari hulu. Kini telah kudekap erat bayangmu, kulit pekat susumu, kerjap indah matamu.

*

PERTEMUAN kami memang tak pernah lama, tapi cukup berbicara atas nama cinta. Begitu pula dalam perjalanan ke Tambi, kembali kucari dia. Sorot garang purnama, menuntun langkahku menuju tengah kebun teh, tempat dimana kami berjanji berjumpa. Kami ingin menghabiskan malam bersama. 

Namun purnama sepertinya curiga. Tak sekalipun ia melepas pandang, galak terasa. Kesempatan yang kudamba, tak pernah tercipta. Rembulan bahkan menjalin konspirasi busuk bersama mega untuk merusak hubunganku dengan dia. Mereka masuk sebagai pihak ketiga, mengacaukan jalinan rasa yang sedang kami bina.

Aku pasrah. Malam itu aku kalah. Namun tak apa, kami masih memiliki banyak malam untuk menjawab asmara yang membuncah.

*

DI sudut ruang, aku terpekur. Kupegang kunci menjumpaimu, kapanpun aku mau. Akan aku pastikan kembali menemuimu saat rindu menggebu dan semesta memberi restu.

ISO 3200
F 2,8
30 sec
16 mm
No flash, compulsory


Perjumpaan pertamaku di Dieng

Jumpa kedua di sisi Kali Progo

Tipis, malu...ia terlihat di tengah kebun teh Tambi


Share:
Read More
, , , , , ,

Luluh Dalam Dekap Kota Poros Tengahnya Jawa

JALANAN Kota Pekalongan siang itu cukup terik. Jarum pendek yang melintas di angka 1, menjadi penahan langkah untuk menyusur setiap jalan. Namun kenangan akanmu, tak cukup kuat menahanku untuk tidak melangkah, menapak seluruh jejak yang pernah kita toreh bersama, di sini...di Lapangan Jetayu ini.
Ingatkah kau saat pertama membawaku ke kotamu? Kau gandeng tanganku sejak sampai di halaman stasiun hingga kita naik motor berdua lalu mengitari lapangan di depan Museum Batik ini. Saat itu usai parkir, setengah berlari ke sisi selatan kau ajak aku melangkahi kotak-kotak lebar trotoar.
“Lihat,” sergahmu seraya menarikku, “Itu tugu Nol Kilometer. Ini penanda poros tengahnya Pulau Jawa lo, dibangun oleh Daendels saat ia membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan di tahun 1808.”
Tak peduli denganku yang masih terbengong, ocehanmu terus berlanjut. Bertulis MYLPALL, tugu setinggi paha orang dewasa ini juga merupakan penanda pembangunan jalan raya pos (Grote pos Weeg). Bahwa tugu ini pulalah yang menjadi titik tengah jalan sepanjang kurang lebih 1.100 Km itu. Jakarta membentang sejauh 400 Km ke barat dan Surabaya 420 Km ke arah timur, logis kupikir penjelasanmu.
Seiring itu pula, mimik wajahmu berubah. Ada rona duka di balik tatapmu. Lalu kau berkata tentang kesedihan, tentang bagaimana anak-anak muda di zaman ini yang abai akan sejarah besar masa lampau, tentang Pekalongan yang pernah jaya di kala itu. Tak kusangka, ternyata kau memiliki pemikiran yang mendalam. Aku tak salah memilih, gumamku.
Belum selesai kekagetanku dengan perubahan sikapmu, tanganku kembali kau gaet. Kembali menyusur kotak-kotak lebar ini, kali ini kau gandeng aku ke arah barat, menyeberang jalan menjumpai sebuah gedung kuno berwarna putih dengan garis orange yang dominan.
“Ini adalah Gedung Kantor Pos Kota Pekalongan yang dibangun tahun 1920. Ini dibangun untuk menggantikan jalur pos dimana kala itu pengiriman pos dilakukan dengan naik kuda dari Jakarta lalu berganti kuda di sini sebelum ke Semarang. Itu sejak tahun 1746,” tuturmu menerawang.
Kutebak, kau sedang membayangkan banyak kuda dikawal sepasukan VOC yang mengirim barang atau surat. Entahlah.
Belum sempat kulanjutkan lamunanku, kembali kau seret lembut tangan kiriku. Permintaanku untuk memotret bahkan belum kau penuhi. Tergesa kau ajak aku meninggalkan halaman Kantor Pos menuju ke utara. Tanpa berkata, kau terus merangsekku untuk menghentikan langkah di depan bangunan kuno bertulis Batik TV.
Sekilas kulirik matamu. Ada sesuatu yang tak bisa kutangkap. Sebuah luka atau duka, namun tak kau lukis dengan indah, hanya sekilas aku membacanya, itupun tidak tuntas karena kau keburu berkata-kata.
“Dulu gedung ini digunakan sebagai kantor yayasan pendidikan MULO (setingkat SMP) di masa pemerintahan Belanda. Usai kemerdekaan, sempat pula dijadikan kantor beberapa dinas milik pemerintah dan sekarang jadi kantor dan studionya Batik TV,” kalimatmu terasa semakin datar, namun lagi-lagi tak dapat kutangkap apa yang kau sembunyikan.
“Lihat sebelah utaranya!” tukasmu. “Yang sekarang jadi GOR Jetayu itu dulunya tempat berkumpul kaum Freemansonry di Pekalongan. Lalu berubah menjadi Societet usai Indonesia merdeka.”
Lagi-lagi aku tak mampu mencerna kalimatmu. Anganku terlalu sibuk dengan Freemansonry yang menurutku keren banget, Kota Pekalongan yang sebesar ini telah memiliki pengikut organisasi sekuler, bahkan di kota yang dalam pahamku adalah kota berbasis muslim.
Tak jua tuntas pemikiranku, tiba-tiba kau gamit lenganku. Warna kulit di bawah lengan baju yang belang hitam putih, tersibak pelan. Sedikit malu, kuturunkan lengan bajuku, tapi kamu tak mau tau. Tetap kau pegang erat lengan lalu sedikit menyenderkan kepala, kau mengajakku berjalan ke arah timur. “Kita akan ngobrol di pabrik limun,” bisikmu mengetahui keraguanku.
Namun kau tetap tak berkata-kata. Hanya genggaman tangan di lenganku dan bahasa tubuh yang kurasakan ada sesuatu yang kau tutupi. Entah apa, aku tak jua dapat menerka.
Dan ketika memasuki tempat yang kau bilang pabrik limun, tapi bagiku lebih mirip old vintage cafe, kau segera memesan minuman berwarna-warni di dalam botol itu. “Mau rasa apa?”
Kujawab apa saja. Bagiku, gak penting rasa minuman itu selama ada dirimu bersamaku, bisikku dalam hati. Entah kau mengetahuinya atau tidak.
Masih dengan mata yang syahdu, kau kembali berceloteh usai minuman dingin terhidang. Di kursi tua beralas rotan itu, kau kisahkan tentang Limun Oriental yang sudah dibuat sejak 1920 oleh keluarga Nyoo Giok Lien.
Kuberanikan diri menatap lekat dua matamu, ingin kubaca apa sebenarnya yang kau rasa. Tapi kau buru-buru berpaling seraya melanjutkan, “Mereknya Tjap Nyonya Shiluette, ada tujuh rasa berbeda.” Ah, kau benar-benar cantik dengan mata binarmu. Mata yang membuatku bahagia dan menggerakkan seluruh sendi untuk mencarimu di kota ini. Tapi itu tak lama, kau hindari tatapku, lalu kembali melamun jauh.
Sekejap itu pula, kau raih telfon genggammu, melihat jam atau mungkin ada pesan yang masuk. “Aku harus pergi sekarang juga. Maaf aku tak bisa mengantarmu. Hati-hati di jalan.” Aku terlongo. Janji untuk ngobrol di sini, tak lebih dari tukar tatap mata, tak lebih.
Hanya kalimat itu yang terakhir kuingat di ujung perjumpaan kita. Kembali kuingat kala aku sudah duduk sendiri di pabrik limun ini, usai menapak seluruh tilas perjalanan kita berdua waktu itu. Kubayangkan kau duduk di depanku, bercerita tentang kotamu, tentang kita atau tentang Indonesia yang ingin kita jelajah bersama.
Tapi semua berbeda. Pesan yang masuk di telfon genggamku sesaat sebelum masuk ke kereta yang akan mengantarku pulang usai kebersamaan terakhir kita, menyudahi semua cita yang kita rangkai berdua. Pesan yang singkat, sesingkat bahagiaku bersamamu.
“Maaf, aku tak bisa meneruskan ini semua. Terima kasih atas selama ini. Kamu lebih bahagia tanpaku.
Dariku...Non.” 
...dan kini ketika aku kembali ke kotamu, samar terdengar lantun Segenap hatiku luluh lantak, Mengiringi dukaku yang kehilanganmu, Sungguh ku tak mampu tuk meredam kepedihan hatiku Untuk merelakan kepergianmu.
Langkahkupun semakin gontai, lunglai. Aku tak sanggup menyusur semua kenangan akan kotamu sendirian...aku luluh.
Ceria anak-anak bermain bola, tak mampu usir hati yang luluh :D




Share:
Read More