,

Mendobrak Budaya Membuang Sampah



SAMPAH sudah menjadi persoalan besar bagi kita dan dunia dewasa ini. Kehadiran sampah yang tidak hanya dari limbah rumah tangga, menjadi hal yang harus dipecahkan dengan duduk bersama oleh banyak pihak.

Sampah bukan lagi musuh manusia namun sudah lebih massive menjadi musuh dunia terutama plastik. Dan bukan rahasia lagi jika banyak pemerintah di berbagai belahan bumi berusaha ‘memeranginya’.

Banyak dana dan anggaran dikucurkan. Mulai dari sekedar kampanye, hingga aksi-aksi sosial untuk mengatasinya.

Namun, volume sampah setiap harinya seolah tidak pernah berkurang. Bahkan cenderung bertambah.

Banyak pula bermunculan saat ini komunitas-komunitas yang mencoba memanfaatkan limbah menjadi barang yang memiliki nilai ekonomis. Namun gerakan mereka terbatas pada limbah-limbah plastik.

Ada pula kelompok-kelompok yang mencoba memanfaatkan limbah rumah tangga menjadi kompos. Tentu juga terbatas dalam jumlah yang relatif kecil dengan komposisi sampah-sampah yang berasal daun.

Lalu bagaimana dengan jenis sampah lainnya. Bahkan kadang kita lihat ada sampah kasur terbawa aliran sungai, batang dan ranting pohon mengambang dengan santainya seolah tidak memiliki beban untuk menuju muara.

Setipis itukah kesadaran masyarakat dalam membuang sampah? Semudah itu pulakah sungai yang dulu-dulu mengalirkan air biru bening segar menjadi solusi praktis mengeyahkan sampah dari halaman belakang rumah?

Sampah jenis plastik menjadi persoalan paling serius dari berbagai langkah penanganan terkait sampah. Apalagi jamak diketahui, plastik menjadi musuh utama bumi kita karena sulitnya proses daur ulang yang harus ditempuh oleh tanah.

Melalui Perwal Semarang Nomor 27 tahun 2019, Pemkot Semarang mengeluarkan aturan untuk mulai mengatasi sampah. Pemakaian sedotan plastik, gelas plastik, tas plastik dan juga styrofoam, pipet dan lain-lain, mulai dibatasi.

Sanksipun diberlakukan. Pada tahap awal, pelanggar akan mendapatkan sanksi tertulis meningkat menjadi perintah paksa lalu pembekuan usaha hingga pencabutan izin usaha.

Para pelaku usaha menjadi bidikan utama sebagai penyumbang sampah plastik terbesar di kota ini. Hotel, restoran, rumah makan, café, penjual makanan dan toko modern diharapkan mulai membatasi penggunaan barang tak mudah diurai tersebut.

Solusipun ditawarkan. Tidak saja mengajak komunitas turut serta, namun juga memberi contoh.

Dalam suatu event, masyarakat diajak mengumpulkan sampah plastik dimana satu kantong sampah yang dihasilkan ditukar dengan satu gelas kopi gratis. Dalam kesempatan lain, Pemkot Semarang memberi contoh distribusi daging kurban menggunakan besek dan pembungkus dari daun pisang.

Efektifkah? Iya saat itu. Entah karena dipandegani langsung oleh Bapaknya Wong Semarang atau karena memang semangat mendapatkan secangkir kopi gratis.

Penggunaan besek dan daun pisang juga meningkat drastis. Setidaknya selama sepekan Lebaran Qurban, volume penggunaan besek dan pembelian daun pisang serta daun jati di pasar tradisional meningkat pesat.

Tidak itu saja, Pemkot Semarang juga sudah membangun PLTSa, sebuah penghasil listrik dari tenaga sampah. Warga sekitar juga sudah memanfaatkan biogas menjadi energi yang diubah untuk memasak sehari-sehari.

Namun setelahnya apa yang terjadi? Perilaku dan pola hidup masyarakat dalam menggunakan plastik berulang kembali.  

Volume sampah di TPA Jatibarang sebagai tempat terakhir bermuaranya seluruh sampah di kota ini menjadi normal di angka 4 juta kubik per hari. Jumlahnya tak pernah benar-benar berkurang.

Mengubah Perilaku Membuang Sampah

Mengatasi persoalan sampah memang sepertinya tidak akan benar-benar dapat sempurna, total sepenuhnya bersih. Sekeras apapun usaha pemerintah dalam menerapkan larangan, sanksi dan hukuman, jika faktor perilaku ini tidak mendapat sentuhan, hasilnya tetap saja nol besar.

Pemkot Semarang bahkan memberlakukan sanksi denda Rp50 juta bagi warga yang tertangkap basah membuang sampah. Tapi tetap saja masih ditemui perilaku yang berulang sama, membuang sampah sembarangan.

Tapi iya benarkah ini soal perilaku? Jangan-jangan ini adalah budaya yang sudah mendarah daging di masyarakat?

Pasalnya selama ini, cukup banyak sentuhan personal baik melalui media, campaign maupun aksi nyata di lapangan, halus maupun frontal. Namun para pembuang sampah tidak pernah surut langkah.

Seakan tanpa beban dosa mereka melakukannya. Tak pernah ada pikiran bahwa anak cucu mereka kelak masih ingin menikmati keindahan dunia.

Lebih menyedihkan lagi, saat Indonesia sedang berbenah menjadi destinasi utama wisata dunia, perilaku masyarakatnya belum dapat berubah. Sampah dimana-mana dan menjadi keluhan utama para turis mancanegara.

Sebagai permulaan, tak perlu kita melihat lebih jauh. Mulai dari diri kita sendiri.

Membiasakan diri lalu membentuknya menjadi pola hidup yang lambat laun menjadi budaya yang akan kita wariskan ke anak cucu, menjadi pilihan terbaik. Jikapun kita belum membuat kompos dari sisa daun atau barang-barang bernilai ekonomis dari sampah plastik, kita dapat mengawalinya dari mengubah perilaku kita sendiri dalam keseharian?

Sudahkah kita membuang sampah pada tempatnya? Sudah kita membiasakan diri memberi contoh pada anak-anak kita akan kebiasaan positif?

Jikapun beranjak lebih jauh, sudah kita mengelola sampah rumah tangga kita menjadi barang-barang yang lebih berarti? Namun jika belum mampu, dua hal tersebut di atas cukuplah berarti.

Tak perlu janji, mari kita beri bukti. Ibu Pertiwi menanti…


Referensi:



Share:
Read More

Saparan: Pesan Persaudaraan dari Lereng Merbabu


SENIN siang itu cukup terik. Apalagi sepekan terakhir, matahari sedang berada di titik terdekat dengan khatulistiwa.

Serasa di ubun-ubun, panasnya menyengat, menghasilkan peluh yang menderas. Berkali-kali menyeka keringat, bukan berarti langkah kami surut.

Menyusur jalan kampung yang berdebu di penghujung kemarau ini, kami bergegas. Masih banyak rumah yang harus kami kunjungi, beradu lalang dengan ratusan warga lainnya.

Apalagi masih menumpuk jajan yang musti kami icipi. Belum lagi menu-menu lezat seperti opor ayam, rendang daging atau telor balado bahkan bakso, serasa menanti kedatangan kami.

Tapi ini bukan Lebaran. Syawal telah jauh ditinggalkan, sekira 4 bulan di belakang. Senin legi 28 Oktober ini, tepat pula jatuh pada 29 Safar 1441 H.


Inilah Saparan. Sebuah tradisi yang terus dijaga hingga kini oleh warga Desa Sumogawe, Getasan Kabupaten Semarang.

Di sini, tak perlu menunggu lebaran untuk bersilaturahmi. Di tempat ini, semua makanan tersaji free tanpa harus menanti datangnya hari fitri.

“Saat Saparan, semua kolega, kerabat dan teman dekat kami undang hadir untuk memperpanjang silaturahmi dan kekerabatan,” Maman, warga Krajan Sumogawe yang menjadi tujuan pertama saya mulai berkisah.

Saparan bagi warga Sumogawe adalah lebaran ketiga setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Di saat inilah seluruh warga membuka pintu rumah lebar lebar-lebar, tak lupa karpet dan tikar juga digelar.


Aneka rupa jajan tersaji, menunggu disantap sembari berbasa-basi. Di ruang makan, menu-menu masakan berat menanti dicicipi, menahan gejolak perut agar segera diisi.

Tapi tunggu dulu. Tak terlalu bijak menyantap semua menu yang tersedia. Pasalnya, warga lain juga menyediakan menu serupa dan tak berkah jika semua sajian warga yang dikunjungi tak dirahapi.

“Saat open house seperti sekarang ini, semua warga Sumogawe berada di rumah. Yang kerja ya libur demi menunggu tamu-tamu yang akan berkunjung. Dan semua tamu, wajib makan di setiap rumah yang mereka kunjungi karena Saparan adalah wujud syukur warga atas nikmat Illahi,” imbuh Maman seraya mempersilahkan rekan-rekan kerjanya di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Salatiga menyikat habis semua sajian.


Sebelumnya, seluruh warga telah berkumpul di tetua kampung. Bersama mereka menggelar kenduri dan merti bumi, memberi sesaji dari daging ternak dan hasil bumi.

Kirab budaya seluruh tua muda bahkan anak-anak menjadi penanda, betapa rasa syukur adalah segalanya. Pun mereka tak lupa berdoa, tilik kubur dan ziarah dikemas dalam nyadran, tepat sepekan sebelum Saparan.

“Kalau di Dusun Magersari, Saparan-nya jatuh pada setiap Rabu pon bulan yang sama. Jadi masing-masing Saparan di berbagai dukuh di Sumogawe tidak bareng. Kami jadi bisa saling berkunjung, bergantian silaturahmi antar warga dusun. Prosesinya juga sama, diawali dengan merti bumi dan kirab budaya,” ungkap Tiyo, warga Magersari.

Kyai Sumokerti dan Nyai Gawe, pasangan pendiri Desa Sumogawe, pasti bangga dengan polah tingkah cucu cicit mereka. Di tengah gejolak dan syahwat negeri yang rakyatnya mudah tersulut emosi, Sumogawe membawa pelita keharmonisan, persaudaraan dan kebersamaan.

Bahwa open house bukan sekedar milik mereka yang berlabel pejabat. Bahwa sebenarnya amatlah mudah membuat Nusantara ini bahagia, selama masing-masing manusianya memegang teguh aturan dan adat budaya.

Pesan persaudaraan dari lereng Merbabu ini, layak kita bawa ke penjuru negeri. Mengabarkan sekaligus menyebarkan virus arif lokalnya tradisi Saparan.

“Satu rumah lagi sepertinya masih mampu mas perutnya, tadi aku sengaja makan dikit-dikit kok biar muat banyak. Mumpung gratis lo,” rayu seorang rekan.

Tidak. Gumamku lirih bergeming.

Saya terlalu tidak sabar ingin segera mengabarkan tentang Saparan kepada dunia. Tentang semangat persaudaraan dan nguri budaya dari Sumogawe yang ternyata tak hanya dikenal atas produksi susu sapi perah dan Pokdarwis Ken Nyusu-nya.

Saya sangat bersemangat untuk Sumogawe...

Share:
Read More