Nasi Ayam Mak Pini, Masakan 2 Generasi



SAAT blusukan ke daerah Pecinan, pastikan anda mampir di tempat yang satu ini. Tentu saja untuk menikmati citarasa masakan yang disajikan oleh pengelola warung makan yang sangat sederhana ini.
Meski hanya tertutup layar hijau bertulis Nasi Ayam Mak Pini, namun jangan ragukan soal kualitas rasanya. Ratusan porsi nasi sedikit gurih dengan campuran sayur dan daging ayam, habis disantap pelanggan setiap hari.
Berada di Jalan Gang Pinggir atau samping Pos Polisi Sebandaran, dengan mudah warung ini dapat dijumpai setiap orang. Buka mulai pukul 06.00 hingga sekira pukul 10.00 atau hingga habis, Mak Pini dengan setia melayani pelanggannya.
Paduan nasi ayam dengan sayur jipan, potongan krecek atau rambak, tahu bacem, telor ayam rebus dan suwiran daging ayam, terasa pas di lidah. Rasa gurih dan asin, menyatu dan lumer di mulut.
Terlebih kontur nasi yang ditim sehingga lebih empuk dan memunculkan aroma harum, semakin menggugah selera makan. Bumbu yang terasa meresap sesap hingga ke seluruh sayuran yang dihidangkan, akan membuat anda meminta tambah porsi kedua.
“Sudah sejak tahun 1980-an saya jualan di sini dan alhamdulilah sudah banyak pelanggannya,” tutur Mak Pini (58), mengungkap perjalanan kisahnya.
Bahkan seiring dengan semakin banyaknya tuntutan pelanggan untuk terus buka hingga malam hari, iapun kini membuka cabang. Berada di seberang Paragon mall, juga di emperan toko, Nasi Ayam Mak Pini dikelola oleh anaknya.
Tidak berbeda tentu saja, bahkan serupa karena proses masak dilakukan sendiri oleh Mak Pini.  Begitupun dengan harga per porsi yang juga tidak berbeda.
“Cukup Rp5 ribu per porsi dan untuk berbagai macam sate seperti sate usus, sate empela dan jantung cuma Rp1500 per tusuk,” imbuhnya.
Tak percaya dan ingin mencoba? Cobalah kunjungi warung sederhana Mak Pini di kawasan Pecinan setiap pagi atau di seberang Paragon Mall di Jalan Pemuda pada malam hari dan temukan citarasa kuliner yang makjleb di lidah.
Share:
Read More

Membangkitkan ‘Sembogo’ Pariwisata Semarang


Beberapa wisatawan asing asyik memotret dan memberi makan kera (feeding monkey) di Taman Wisata Goa Kreo dan Waduk Jatibarang.


SEORANG rekan sesama pecinta kuliner tiba-tiba bercerita bahwa warung bakso cabang langganan kami, rasanya tidak nikmat lagi. Padahal, ia terlanjur mempromosikan warung tersebut kepada keluarga dan koleganya yang lain.

Terlebih, letak warung cabang tersebut, berada lebih dekat dengan tempat tinggal mereka di kawasan Semarang atas. Alhasil sebenarnya mereka tidak perlu jauh-jauh turun ke pusat kota untuk menikmati sajian kuliner tersebut di warung aslinya.
Lalu muncullah diskusi kami mengapa warung cabang tersebut tak seenak aslinya. Mulai dari analisa kemungkinan bumbu yang dikurangi, sudah dikelola oleh generasi kedua bahkan mungkin sudah oleh karyawannya hingga pada satu kata, sembogo.
Dalam analisa rekan tersebut, warung cabang tadi tidak dikelola secara sembogo, atau tidak sepenuhnya menggunakan rasa atau perasaan atau dalam bahasa saya adalah passion. Alhasil, ia mengelola tempat makan yang sebenarnya di tempat aslinya sangat ramai dipenuhi pengunjung tersebut, tidak dengan segenap jiwa dan cintanya.
Ini didukung dengan fakta hampir di semua warung cabang, tidak terasa nikmat senikmat warung pertama. Meski tidak bisa digeneralisasi, namun memang kebanyakan warung cabang, memiliki citarasa (taste) yang berbeda dengan di tempat asli ia berasal.
Sembogo Pariwisata
Senada, berbicara mengenai kepariwisataan, kita juga melihat bahwa dunia pariwisata kita dalam skala yang lebih kecil di Kota Semarang, tidak bisa cetar membahana layaknya Solo atau Jogja. Memang harus disadari bahwa Semarang kurang memiliki akar budaya yang kuat seperti di dua kota tersebut.
Budaya keraton, peninggalan purbakala hingga adat istiadat serta geografis Semarang sebagai kota urban yang lebih banyak disinggahi pendatang daripada warga asli, menjadi salah satu penyebabnya. Namun kita tidak akan berbicara lebih jauh mengenai akar dan kondisi sosial masyarakat.
Bagaimanapun, Semarang memiliki citarasa pariwisata yang berbeda dengan di dua kota tersebut. Jikapun destinasinya sama, kita harus membuat ‘taste’-nya berbeda karena kita tidak akan dapat menyamai ‘makom’ Solo dan Jogja yang sudah memiliki akar kuat sebagai kota tujuan wisata.
Yang ingin saya sampaikan adalah berkaitan dengan sembogo di atas. Adanya rasa, perasaan dan jiwa tulus dalam mengelola industri pariwisata di kota inilah yang menjadi latar belakang mengapa sektor jasa yang satu ini belum mampu menjadi tulang punggung pendulang PAD yang tinggi di Semarang.
Ketiadaan sembogo dalam pengelolaan pariwisata dapat dimaklumi. Mengingat keberadaan pengelolanya, dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, rata-rata bukanlah mereka yang memiliki latar belakang seni dan budaya atau passion mereka memang bukan di bidang ini.
Visi memajukan industri wisata bermula dari penugasan di dinas ini, bukan murni karena pilihan pribadi. Dari sinilah ketiadaan sembogo pariwisata bermula sehingga dalam perjalanannya mengelola program wisata, even hingga atraksi budaya, nyaris serupa sama dari tahun ke tahun.
Jikalau saja masing-masing individu di industri ini mau sedikit meluangkan olah rasa, taste dan ketulusannya, bukan niscaya sektor pariwisata kita berkembang pesat. Tentu saja ini tidak hanya berlaku bagi dinas semata namun juga para pelaku usaha dunia pariwisata yang datang bukan karena keterpaksaan namun ketulusan sehingga muncul rasa cinta yang mendalam dalam menjalankan ‘ibadah’ memajukan pariwisata Semarang.
Terlepas dari itu, insan-insan pariwisata, tentunya juga harus menyadari betapa penting sektor pariwisata dalam menunjang PAD. Tak heran jika Menpar Arief Yahya berusaha mengundang 20 juta wisatawan asing datang ke Indonesia di tahun 2017 ini yang tentu saja diharapkan mereka ‘harus’ mampir ke Semarang untuk menambah pundi-pundi pendapatan pelaku usaha di sini.
Lalu, dapatkah kita membangkitkan rasa cinta, ketulusan dan segenap jiwa sembogo demi memajukan pariwisata Semarang? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing.
Salam sembogo.

*saat saya tersadar sebagai Koordinator Pegiat Wisata Kota Semarang
* 12 menit menuju Sabtu

Share:
Read More