SEJUJURNYA
saya sudah harus melakukan pengakuan. Berat memang di awal untuk jujur, namun
demi kebaikan dan pelanggaran prinsip, saya harus sampaikan kebenarannya.
Kebenaran yang dibawa
kenyataan bahwa saya telah berselingkuh. Iya saya menduakan prinsip hidup yang
selama ini saya pegang, saya pertahankan selama ini.
Niche
tourism yang saya usung, harus saya sandingkan dengan
pendidikan dan pola asuh anak. Bukan sok-sokan, namun inilah masa depan. Masa
dimana anak-anak kita kelak akan mengambil alih kemudi bangsa, membawanya ke
arah yang jauh semakin baik.
Dan semua, bermula dari
sini…
Baca juga: Surat Terbuka Untuk Menteri Pendidikan
*
Ketika keputusan istri
bahwa 23 Des-3 Jan kita akan ke Bali, tentu girang bukan kepalang. Di benak
saya terselip agenda-agenda terselubung untuk mengeksplor Pulau Dewata hingga
ke sudut-sudut yang jarang terjamah.
Adrenalin melonjak
terutama pada keputusan untuk membawa sendiri kendaraan, ya jalur darat.
Menyusur Tol Trans jawa, pastinya banyak pengalaman baru yang akan kami
dapatkan.
So exited, terutama
adegan dimana kami nanti akan menyeberang menggunakan feri dari Ketapang ke
Gilimanuk, sebuah pengalaman baru. Tak terperi suka cita hati.
Persiapan dilakukan.
Mulai ganti ban baru dan mengisinya dengan nitrogen agar ban lebih adem,
menservis kendaraan hingga mengelap stir agar kinclong, done.
Cek sini sana, jangan
sampai jersey MU ketinggalan, sudah dilakukan. Tibalah pada saat keberangkatan.
Bahwa kemudi akan saya
pegang sendiri tanpa sopir, bahwa seluruh perjalanan yang menggunakan tol akan
tetap berada di jalurnya tanpa keluar tol sampai di ujung Probolinggo timur,
sudah di-setting termasuk mengecek
lama perjalanan melalui GPS, 9 jam 54 menit katanya. Dan bahwa perjalanan akan
dilakukan dengan santai, sukacita dan semampu tenaga yang tersisa. Artinya,
jika memang terasa capek, ya mandeg untuk berisitirahat meski tujuan antara
kami sebenarnya adalah sebuah hotel bernama Illira di Banyuwangi.
Sabtu 20 Desember pukul
10.00, kami merambat keluar pagar rumah, tentu saja setelah sebelumnya mandi
keramas dan memakai sepatu tanpa menyisir rambut. Jalur tol Semarang-Solo,
mudah dilahap karena sudah pernah melintasinya di belakang kemudi.
Lalu mulailah
petualangan baru dimana jalur tol Solo-Surabaya adalah baru bagi saya. Jalur
yang lurus, mulus kayak bakpao beku kelamaan di freezer membuat kondisi nglangut apalagi anak-anak
sudah molor, mobil sepi selain suara-suara dari pemutar CD dan memory flash disk yang sebelumnya sudah saya
isi ratusan lagu, menjadi teman setia, sayang tanpa suara penyiar.
Kini yang mendominasi
hanya suara istri yang memang dilahirkan cerewet kayak beo minta makan. Yang
hati-hatilah, yang jangan ngerem mendadaklah, yang ngasih peringatan awas meski
mobil di depan masih 100 meter jauhnya atau teriakan kagetnya agar ban mobil
tidak melindas kotoran burung. Aw…
Sebuah rest area di Ngawi menjadi pilihan untuk
rehat. Kebetulan sesaat lagi memasuki Dhuhur, sekalian kami akan makan, solat
dan ngrokok sebat.
Terkapar di Banyuwangi
Rencana tinggal
rencana. Waktu istirahat sejam yang dialokasikan belum berasa cukup. Syaraf
kompulsif dan kinestetis di hamstring
kanan belum memberi lampu hijau seperti di Perempatan Kaligarang yang hanya 30
detik. Alhasil, sebat lagi menjadi pilihan.
Hampir dua jam kami
disini, Surabaya menjadi pilihan berikutnya meski kami hanya akan melintas di
Tol Waru lalu lanjut ke selatan ke arah Malang dan berbelok ke timur ke arah
Pobolinggo.
Etape ini dilalui
dengan mulus, tak ada driver lain yang mengikuti kecepatan kami. Kecepatan 60-80 Km/jam tentu tak sebanding dengan mereka yang melaju jauh dari angka
tersebut. Tak apa…
Pit
stop
berikutnya ada di salah satu rest area
di daerah Pasuruan untuk solat Asyar. Tak lama, tak ada acara menyesap
tembakau, langsung gas.
Nyaris Digebukin Massa
Saya sedikit khawatir
kami tidak menyelesaikan etape tol ini dengan sempurna. Namun ternyata
sebaliknya, sebelum gelap kami sudah berada di jalan raya Situbondo-Banyuwangi
yang sebenarnya merupakan etape terberat dari perjalanan panjang ini.
Bagaimana tidak? Dua
lajur kendaraan yang tak seberapa lebar, harus kami bagi rata dengan bus, truk,
sepeda motor, sepeda hingga pejalan kaki bercelana pendek yang lupa harus
berjalan di pedestrian karena memang jalur itu tak memiliki trotoar.
Memasuki kota kecil
Besuki, perasaan tak enak menghinggapi. Massa dan pengguna jalan yang
berduyun-duyun, menyadarkan bahwa ini malam Minggu, ramai sekali jalanan.
Perlahan melintas,
tibalah di dekat jembatan yang cukup menanjak sehingga saya tak bisa melihat
kondisi kendaraan di depan jauh. Pedal gas sedikit saya tekan agar daya dorong
bertambah.
Fatal. Ternyata di
ujung jembatan, sudah ada antrean kendaraan berhenti karena traffic light. Sempat
memang menginjak rem menghindari benturan dengan kendaraan di depan. Sekejap itu
pula mata melirik spion dan nampak seorang pengendara motor tanpa helm sekilas sedikit
ngebut untuk menaiki tanjakan di jembatan, tak sigap dengan kondisi kendaraan
berhenti di depannya.
Bruk
dug…dug tanpa derrr.
Sosok pengendara tadi menghilang dari spion. Saya percaya, ia nyungsep di bawah
bumper belakang. Saya mematung. Terlalu banyak massa untuk keluar mobil, bahkan
di bawah lampu merah, saya tak keluar. Detik-detik menegangkan yang berjalan sangat lamban.
Sembari menunggu nyala
hijau, saya bersiap jika ada orang yang menghampiri untuk meminta
pertanggungjawaban. Jika ia ramah, saya akan balas keramahannya, mungkin saya
jabat tangannya, saya tawarkan rokok kepadanya.
Namun jika sebaliknya,
sayapun sudah bersiap. Berpura-pura membawa senjata di dalam tas pinggang ini,
adalah solusi terakhir jika massa nekad membela pengendara sepeda motor
tersebut.
Dua detik, 5 detik…1
menit tak ada reaksi apapun. Warga yang nongkrong di pinggir jembatan, hanya
sibuk menolong pengendara yang jatuh tanpa meneriaki saya. Saya putuskan tetap
di kendaraan, lalu jalan pelan-pelan karena di pertigaan alun-alun Besuki,
ramai sekali massa hilir mudik menonton pasar malam sepertinya.
Pasrah dengan kondisi
bumper, saya putuskan tetap berjalan pelan. Hingga 5 menit kemudian tetap tidak
ada yang mengejar, saya putuskan menekan pedal gas, bukan untuk kabur, tapi
memang kerumunan pengendara motor di pertigaan telah kami lewati.
Aman pikir saya, tapi entah
dengan kondisi bumper belakang. Mungkin
sudah penyok seperti kembang gula yang kempes terkena sisa ludah gigitan
pertama.
Etape Penghabisan
Maksud hati mengisi BBM
di salah satu SPBU di Situbondo tepatnya sebelum memasuki Alas Baluran, meski
ternyata masih sangat jauh, berubah menjadi agenda merem. Kantuk tak tertahan
membuat kami harus lebih bersabar untuk kembali jalan.
Ketaktersediaan air
untuk wudlu di SPBU memunculkan keputusan kami akan melakukan jamak ta’khir
Maghrib dan Isya jika sudah sampai di Banyuwangi, perkiraan saya hanya tinggal
dua jam saja dan pada kenyataannya salah besar.
Selama empat jam
berikutnya, perjalanan menjadi sangat tidak terkendali. Kebugaran yang sudah
menurun drastis membuat laju kendaraan tak bisa lebih dari 60 Km/jam. Bahkan
ketika sudah melintasi Taman Nasional Baluran yang dalam perkiraan saya hanya
sekitar 30 menit waktu tempuh ke hotel, molor lekat menjadi satu jam lebih.
Saya sudah habis…kecepatan turun hanya sekitar 20-40 Km/jam.
Dan ketika memasuki
Illira hotel, jam sudah hampir berada di angka 00.00 dimana total perjalanan Semarang-Banyuwangi adalah 14 jam, sebuah rekor baru tercipta sebagai perjalanan terlama menempuh 524 Km dalam dunia persopiran.
Tanpa membuka sepatu dan
berganti baju, saya terkapar nyenyak di sofa kamar menyusun bergelung-gelung
noktah laksana membentuk pulau-pulau di lautan nusantara.
Saya lupa akan niat
menjamak solat bahkan untuk sekedar mencuci muka....ZzzZZZzzhhh.
Menyeberang
Belum sepenuhnya
terkumpul nyawa, belum genap urat betis dan paha beristirahat, jam 10.00 kami
memutuskan untuk segera menyeberang. Khawatir jumlah feri sangat terbatas
sehingga menunda perjalanan yang ternyata itu juga salah.
Puluhan kapal
pengangkut penumpang dan kendaraan berderet-deret di Ketapang. Di sisi
sebaliknya, Gilimanuk, menampakkan pemandangan serupa. Mobilpun tanpa antre
langsung nangkring di kapal, seperti halnya mie ayam yang nyungsep di lambung
saya. Anteng.
Kurang lebih 45 menit
perjalanan menempuh Selat Bali. Goyangan kapal dari ombak yang dihasilkan
ketika berpapasan menjadi sensasi tersendiri, sebuah pengalaman yang
mengajarkan bahwa hidup penuh dengan goncangan dari level 1-10. Namun laut yang
tenang pagi itu, hanya menyisakan goncangan halus meski juga sempat mererasakan
pening yang merambat.
Obrolan ringan dengan
beberapa anak muda pengendara motor dari Jogja, menyisakan semangat serupa yang
akan saya lakukan…jika masih seusia mereka. Angka umur saya sudah cukup
tinggi, kayaknya tak bakal lagi mampu motoran Jawa-Bali seperti mereka, tak apa…saya
malah mobilan yang meski tidak selalu berarti tidak capek, sama kok.
Pembunuh Ayam Tetangga
Tanpa rintangan
berarti, penyeberangan Selat Bali aman terkendali. Foto-foto di atas kapal,
tentu tak lupa selfie.
Dan inilah adegan bodoh
yang harus saya perankan. Di pos pemeriksaaan, saya benar-benar sadar bahwa
sepertinya saya tidak membawa STNK mobil yang ada hanya STNK Honda 70. Saya bahkan lupa, dimana terakhir
surat berharga itu berada. Atau jangan-jangan sudah di Pegadaian?
Orang rumahpun tak bisa
menemukannya. Beruntung polisi berpangkat Aipda itu baik. Demi melihat profesi
yang tertera di SIM A dengan foto berbaju merah tersenyum tanpa dosa, ia
memberi wejangan.
“Jikalau memang lama
berada di Bali, ada baiknya STNK-nya dikirimkan melalui pos ya. sekarang
silakan lanjutkan perjalanan tetap berhati-hati dan jangan melanggar
peraturan.”
Wejangnya penuh
kebapakan, bukan sekedar sebagai penegak peraturan. Padanya, saya berhutang
kebaikan. Padanya, saya belajar bagaimana memaafkan tanpa berarti melupakan
seperti sebuah adegan di masa lalu, ketika saya melempar tang ke arah ayam
tetangga saat sedang memperbaiki kompor sumbu minyak milik ibu.
Lemparan yang tepat di
kepala, seketika membuat ayam terhuyung, roboh setelah sebelumnya berkelojotan
sesaat. Saya pikir pingsan, ternyata langsung dijemput malaikan kematian. Saya
panik, lalu saya bawa ke sawah terdekat, beruntung tak ada darah.
Sorenya, ayam ditemukan
tetangga lain. Mereka berasumsi, ayam telah memakan pupuk urea yang digunakan
untuk menyuburkan padi. Misi berhasil, gumam saya.
Tapi urung, kejadian 30
tahun lalu itu membekas lekat di alam pikiran sadar. Saya sudah bersalah. Tak
ada yang tahu memang, tapi perasaan sebagai pembunuh, melekat erat sampai saat
ini. Saya pembunuh ayam tetangga.
Bali
Menginjakkan ban mobil
di tanah Dewata, antusias kami kembali melejit. Sebuah etape panjang telah
terlewati, kini kami sudah di sini, di pulau seberang timur Jawa. Makin lama,
bayangan besar gelap Jawa Dwipa mulai luruh.
Di depan kami sebuah
jalan lurus mulus diapit pepohonan rimbun menunggu. Itulah Taman Nasional Bali
Barat tempat monyet, rusa dan ratusan spesies burung tinggal.
Lurus menuju Singaraja,
decak kagum selalu mewarnai perjalanan etape terakhir ini. Bagaimana tidak?
Jalan aspal ini berada sejajar dengan garis pantai di sisi utara dan perbukitan
di sisi selatan, indah tak terperi. Saya suka.
Terbayang bagaimana
nanti akan banyak aktivitas di pinggir pantai, sunset, perahu-perahu tertambat
hingga barbyeku-an ditemani debur ombak. Aihh syahdu…Singaraja kami milikmu,
setidaknya sampai 2 pekan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar