HIDUP itu seperti rollercoaster, naik turun,
tidak selalu di atas namun juga tidak melulu di bawah. Kadang kencang, kadang
pelan, sesekali menegangkan, meski banyak juga yang membosankan.
Saya sepakat
itu. Bahkan hitungannya tidak lagi tahun, tapi bisa dalam kurun waktu beberapa
jam.
Seperti yang
saya alami dalam trip ke Ijen Banyuwangi, akhir Agustus lalu. Bahwa sehari
sebelumnya saya masih staycation di hotel bintang lima, dimanjakan dengan
fasilitasnya, nongkrong bersama kawan di cafe ternama, hidup saya mewah.
Ya untuk saat
itu, dua hari itu saja saya berada di kasta teratas kehidupan. Selebihnya ya karena
memang saya tidak mampu bergelimang kemewahan bintang lima, ya wajib disyukuri
ketika ada yang mentraktir menginap di situ.
Kehidupan saya
berputar cepat. Usai melepaskan diri dari rombongan, saya sudah langsung berada
di level terendah tatanan social kita.
Dari yang naik
bus umum dengan label ekonomi, hingga ojek menuju Paltuding seharga 200K. Itupun
awalnya masih saya tawar lo. Dan setelah tahu jarak tempuh yang sebenarnya,
saya cukup menyesal hanya memberi di nominal itu.
Bayangin saya,
turun bus di pertigaan Pos Gathak, Bondowoso, jarak ke Paltuding masih sekitar
58Km. Dengan posisi jam di angka 17.30, mau tak mau pilihannya hanya ngojek
atau nginap di sini karena saya terlanjur memilih jalur Bondowoso.
Jarak mungkin
sesuatu yang bisa ditempuh, iya. Tapi demi mengingat rute, jalur berkelok naik
turun, hutan dan senyap serta rasa cemas khawatir akan adanya tindak kriminal,
jelas jika saya jadi pengojeknya, sayapun tak mau hanya diberi bayaran 200K.
Bahkan 500K jika
mengendarai sepeda motor, saya masih akan menolak. Adoh tenan kas, adem san!! Ya maklum lah, jalurnya menuju titik
pendakian terdekat ke Ijen yakni Paltuding, jauh, berkelok dan menanjak sangat
dingin.
Pun ketika di
Paltuding, hidup saya sudah mulai berubah lagi. Batasan memulai pendakian jam
01.00 WIB, membuat semua wisatawan atau pendaki harus bersabar.
Mereka bisa
tinggal di hotel, homestay, tidur di dalam mobil jika bawa kendaraan pribadi atau
seperti saya menghabiskan waktu berbincang dengan pemilik warung dan beberapa
teman baru. Badan saya memang penat sejak perjalanan pagi sebelumnya dari Batu,
Malang yang total butuh waktu hampir 10 jam dengan angkutan umum.
Tapi rasa
penasaran, passion untuk melihat eternal blue fire, jauh mengingkari rasa capek. Bahwa sudah
sejak 20 tahun silam saya mendambakan memotret api biru abadi yang hanya ada dua di
dunia ini, tak terbendung. Kalau di Indonesia ada, ngapain juga harus ke Islandia kan?!
Bermula dari
sebuah majalan fotografi, tulisan dan foto blue fire terpampang. Fotomedia
namanya, sekarang sudah almarhum, menyebut destinasi di Banyuwangi adalah satu
dari list yang harus dikunjungi wisatawan terutama penghobi fotografi.
Pun ketika rekan
perjalanan saya dari pos I sudah menghilang karena terhambat dan berjalan lebih
lambat, saya terus menanjak sendirian di tengah keramaian. Ritme dan tempo
berjalan tak pernah saya ubah sebagai bentuk penghematan atas nafas yang
tersengal dan usia yang tak lagi bisa dibilang remaja. (Ya iyalah, anak saya
sudah 3 je)
Dua jam
berikutnya, hidup saya sudah kembali berputar. Pengalaman, tantangan dan
petualangan yang saya damba dua dekade terakhir, terpapar jelas, memuaskan
semua raga di tengah lelah dan kengerian medan menuju si api biru yang bahkan
sebenarnya tidak jauh beda dengan nyala api gas elpiji di rumah.
Ya memang bener
sih, blue fire tak beda dengan LPG. Yang bikin mereka tak serupa adalah, blue
fire ini muncul dari sela bebatuan di Kawah Ijen dimana untuk mendapatkan
fotonya saja, kita harus bersaing keras dengan kepulan asap belerang yang tak
segan membuat nafas sesak.
Lebih dari itu, api ini sudah menghilang jika sudha lebih dari jam 04.30. Ya wajar memang, nyala birunya sudah akan terbias matahari jika lebih dari waktu tersebut.
Aktivitas penambang belerangpun tak kalah indah diabadikan. Mereka yang berjuang demi hidup dengan pertaruhan kesehatan yang terus menerus terpapar asap belerang, taruhan nyawa melintas jalan setapak di tebing dengan membawa kurang lebih 150Kg belerang di pikulan kiri dan kanan, juga merupakan pilihan momen bagus untuk diabadikan.
Dan ketika hidup
adalah pilihan; memilih blue fire atau sunrise Ijen, pada akhirnya saya memilih
tidur di sela bebatuan. Terhindar dari asap belerang, keramaian serta heboh
ribuan manusia yang berfoto dengan latar belakang si api biru, saya memejam
barang sejam.
Saya baru ingat,
saya belum merem sekejappun sejak lepas dari hotel bintang lima di Batu, di
hotel yang juga diinapi Ibu Menkeu Sri Mulyani malam itu. Lebih lagi, saya tipe
yang tidak bisa merem di tempat yang tidak bisa selonjor atau dengan kata lain
harus tidur di tempat yang bisa dihinggapi dengan nyaman (baca: posisi tidur
mengkurep kalau bisa lengkap dengan memeluk guling dan lalu mengilerinya).
Dan lagi-lagi
hidup adalah pilihan, untuk terus berputar seperti rollercoaster atau berbaring
nyaman di dasar bebatuan Kawah Ijen. Saya harus ingat bahwa saya harus
pagi-pagi turun ke Banyuwangi jika memang hendak melanjutkan petualangan ke Baluran.
Di sana...petualangan
baru sudah menunggu.