, , , , , , ,

Oudestad: Harmonisasi Kulineri Diantara ‘Gedung-Gedung Tinggi’

Oudestad: makan n nongkrong asyik di depan gedung-gedung tua di Kota Lama

KOTA Lama di sudut utara Semarang sudah menjadi ikon. Tidak saja karena kawasan ini penuh dengan gedung-gedung tua bersejarah yang masuk dalam Bangunan Cagar Budaya (BCB).
Berbekal itu pula, kawasan seluas total 40 hektar itu kini dalam perjalanannya diakui dunia melalui Unesco menjadi World Heritage 2020. Berbagai upaya dilakukan Pemkot Semarang dan Badan Promosi Kawasan Kota Lama (BPK2L) untuk menata, memperbaiki sekaligus mengelola kawasan yang instagramable banget ini.
Sudah sejak lama saya mengidamkan bisa ngopi santai atau makan cemilan bahkan mie ayam di sela naungan gedung-gedung pencakar langit (200 tahun lalu tapi ya). Tidak saja bayangan indah dapat makan enak, namun juga makan di antara kepungan gedung-gedung bersejarah.
Bagi saya pribadi, memajukan meramaikan Kota Lama sebagai destinasi wisata unggulan di Semarang, mutlak adanya. Semutlak aku mencintaimu yang tak bisa lagi diganggu-ganggu hehe
Dan gayung bersambut. BPK2L menggandeng Kadin serta BPR MAA mewujudkan mimpi saya dan mungkin mimpi-mimpi ribuan pengunjung Kota Lama lainnya, dapat berburu kuliner dan menikmatinya di bawah temaram bulan dalam kepungan gedung-gedung bersejarah.
Ketua Kadin Arnaz Agung Andrasamara yang sahabat saya (ngaku-ngaku sahabat haha)

Sayapun merasakan aura kembali ke era VOC. Suasana makan yang temaram, ditunjang dengan obrolan hangat bersama rekan, semakin membuat hati tentram.
Penginnya (saya lagi-lagi membayangkan), hidangan makan di tengah Jalan Sendowo yang disulap jadi kuliner jalanan, dilayani oleh nonik-nonik Belanda. Lalu ada hilir mudik kalangan pribumi atau menir Belanda menuntun sepeda.
Ah memang bayangan saya terlalu muluk, meski bisa saja diwujudkan oleh penyelenggara. Sehingga setidaknya, tidak hanya kata Oudestad saja yang terasa membawa kita ke era Belanda kala itu, namun juga ditunjang dengan tatapan sejarah dua gedung milik PT Phapros dan PT Perkebunan sebagai latarnya.
Gak lagi muncul kesan angker to nda klo kayak gini

Kuliner jalanan sendiri di Semarang bukanlah hal baru. Beberapa tahun sebelumnya hingga saat ini, di Pecinan sudah ada Pasar Semawis di Gang Warung. Bahkan pendahulunya yakni Kya Kya Kembang Jepon, sudah lebih dulu tamat ceritanya.
Dan tentu saja kita semua berharap Oudestad terus berkembang besar. Tidak saja mampu memancing wisatawan dan warga local untuk berdatangan dan memburu kuliner, namun juga demi tujuan yang lebih besar, menuju pengakuan sebagai Kota Warisan Budaya dunia.
Dengan semakin banyaknya atraksi di Kota Lama, kita optimis kok, kawasan ini akan mendapat restu Unesco. Namun tentunya kita semua sebagai warga harus ikut berjuang, setidaknya ikut meramaikan, menambah daya tarik hingga memunculkan event yang unik, kreatif dan inovatif.


Makan di tengah gedung tua, ditambah pemandangan bening nan kreatif, fashion show.

Oudestad tentu saja merupakan oase di tengah tantangan tersebut. Sebuah mata air pencerahan lahirnya destinasi wisata baru untuk memperkuat ikoniknya Kota Lama.
Oudestad tentunya menjadi sebuah kesegaran di antara gedung-gedung tua yang sudah mulai nampak muda dengan perawatan dan sentuhan ‘magis’ keinginan kuat membawa Kota Lama lahir kembali dan menjadi pusat perhatian dunia.
Siapa sih yang gak kepingin melihat Semarang jadi centre of focus, jadi tujuan wisata yang nantinya memiliki efek domino meningkatnya ekonomi warga? Hayo ngacung yang gak pengin (habis ngacung terus mau diapain?)!!

Semoga, semua niatan apik ini mendapat jalan mudah semudah membuka kulit durian demi menikmati legitnya daging buah. Aamiin ...


Share:
Read More
, , , ,

Pasar Papringan dan The Power of Pemberdayaan (Bagian 4 – Famtrip Dinkop UMKM Jateng)


Pengunjung ramai berjubel di bawah rimbunpohon bambu

PERTAMA kali mendengar kehadiran Pasar Papringan, saya merasa jatuh cinta. Padahal baru melihat berbagai makanan tradisional yang diupload di berbagai sosmed oleh teman-teman yang sudah kesana.
Bagi saya pribadi, makanan tradisional sendiri bukanlah hal yang istimewa. Pasalnya, saya juga orang desa yang besar di sebuah desa bernama Kesongo di Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang. Namun meski orang kabupaten, secara de facto, desa saya lebih dekat ke Kota Salatiga sehingga SMP dan SMA saya habis di sini.
Menariknya, desa saya berbatasan langsung dengan Rawa Pening. Jadi komplit ada sawah, bukit hingga perahu dan danau yang dipenuhi oleh eceng gondok.
Karena itulah saya bilang, makanan tradisional bukanlah sesuatu yang istimewa. Latar belakang wong deso saya, masih melekat kuat hingga saat ini.
Tapi demi melihat eksistensi Pasar Papringan, terlebih gambar-gambar yang ditampilkan ada makanan tradisional yang nyaris punah dan sudah susah ditemui dewasa ini, animo saya bangkit. Saya men-declare harus mengunjungi pasar yang konon semuanya ‘dihias’ dengan ornament dari bamboo ini.

Gayung yang bersambut saat mendapat tawaran dari Dinkop UMKM Jateng untuk nge-trip dan salah satu agendanya mengunjungi Pasar Papringan. Antusiasme tak terbendung membuat saya tak mau menunggu jemputan dari tempat parkir di pinggir dan memilih berjalan kaki mendahului rombongan meski jelas tertulis jarak masih terbentang 1,6 Km. Jarak dan berjalan kaki jelas gak ada masalah bagi wong ndeso yang suka ngetrip ini (agak sok-sokan).
Tapi dasar niat baik, baru berjalan 500 meter, ada seorang warga yang menawari saya membonceng sepeda motornya. Dari dirinyalah saya banyak mendengar sisi lain pasar ini yang intinya ada pada kata pemberdayaan.
Jadi, sesuai perkembangan dan animo warga, sebagian warga di luar Dusun Ngadiprono Desa Ngudimulyo Kecamatan kedu Kabupaten Temanggung ini, sudah mulai ‘mencium’ aroma rupiah. Alhasil, mereka juga mulai meminta untuk dilibatkan sebagai pedagang di pasar tiban yang hanya ada pada Pon dan Wage ini sehingga jika dihitung dari kalender Masehi, akan jatuh setiap hari Minggu pada dua pekan sekali.
Namun permintaan tersebut ditolak karena salah satunya space yang masih terbatas. Lebih dari itu, kurasi pada setiap makanan yang dihadirkan sangatlah ketat dimana kuncinya adalah tidak menggunakan bungkus plastik, tidak menggunakan MSG (karena micin kita lemot mikir) serta tentunya harus tradisional dan tidak mudah ditemui di tempat lain.
Mendengar penuturan sekilas itu saja, saya sudah semakin terpesona lalu makin jatuh cinta. Begitu memasuki pos penukaran, tentu saja tidak saya lewatkan untuk mendapatkan mata uang ‘Pring’ serta mulai menyorotkan lensa saya sembari tentu saja memencet shutter-nya hehe.
Tentu saja stan pertama yang saya tuju adalah kuliner, apalagi saya tidak sarapan sejak keluar dari guest house sementara waktu sudah menunjuk pukul 09.31. Mendapati aneka bubur, bubur jangan (sayur) adalah pilihan pertama ditambah dengan gorengan bakwan, lalu lanjut ke penjual makanan lainnya yang tentu saja sudah kuno eh tradisional ala ndeso.
Eh eh…saya tidakmau cerita tentang semua isi stan kuliner di sini, biar kalian saja yang langsung ke sini, jajan semua makanannya dengan koin pring yang eksotis sehingga bisa dijadikan gantungan kunci hihi. Lebih dari semua makanan yang ada, Pasar Papringan sudah menjadi gantungan hidup warga di dusun ini.
Menurut penuturan salah satu pedagang, sehari-hari ia hanyalah petani atau mencari rumput. Dengan berjualan bubur, ia bisa mendapatkan uang Rp800 ribu setiap kali pasar dibuka.
Artinya, kehadiran pasar tematis ini telah mampu mengangkat derajad warga sekaligus nguri-uri melestarikan agar makanan tradisional yang langka, tidak punah. Lebih dari itu, dengan memberdayakan warga yang notabene bukan pedagang, maka pasar ini akan tetap ada sampai kapanpun. Karena jika murni pedagang yang berjualan di sini, ada kemungkinan ia akan hengkang jika suatu ketika pasar mulai sepi dan pindah ke pasar yang lebih ramai.
Namun dengan pemberdayaan warga local, maka pasar akan tetap ramai. Pasalnya warga merasa memiliki pasar ini sehingga tanpa keberadaan Pasar Papringan, mereka tidak akan bisa mendapatkan tambahan uang untuk kehidupan mereka.



 
Ketua Komunitas Mata Air Imam Abdul Rofik (29) menyebut, konsep membuat sebuah pasar di bawah rimbunan vegetasi tanaman bambu ini sebenarnya terinspirasi oleh pasar papringan yang sebelumnya pernah digelar di Dusun Kelingan Desa Caruban Kecamatan Kandangan beberapa waktu lalu.
Diselenggarakan di atas lahan bambu seluas 2.500 meter persegi, pasar ini hanya akan dibuka setiap Minggu Wage dan Pon saja, mulai pukul 6.00 sampai 12.00 WIB. Tak hanya sebagai upaya konservasi alam, terutama vegetasi tanaman bambu, pasar papringan juga ditujukan untuk mengangkat segala kearifan lokal masyarakat sekaligus merangsang pertumbuhan ekonomi warga setempat.
“Dulu tempat ini hanya digunakan warga setempat sebagai lokasi pembuangan sampah. Nah, bermula dari rasa kepedulian, akhirnya kami sepakat untuk menyulapnya menjadi pasar papringan,” jelasnya.
Di dalam pasar ini, lanjut Imam, terdapat 42 lapak dagangan yang dijalankan mayoritas oleh warga di dusun tersebut mulai olahan kuliner khas, hasil pertanian, hingga kerajinan produksi lokal masyarakat.
Jangan lupa tukar rupiahmu dengan Pring

100 meter menuju hatimu eh ...

Bule-pun kalap nemu tape hehe
Share:
Read More
, , ,

'Terjebak' Kenikmatan Kopi Posong (Bagian3 - Famtrip DInkop UMKM Jateng)


Kopi Posong yang 'menjebak' lidah saya untuk jatuh cinta padanya
SEJAK lama, saya adalah Coffeemix minded, bahkan sejak jaman kuliah. Beberapa tester kopi yang saya coba setiap ada kesempatan, belum mampu menggoyahkan iman saya. Paling banter kalau pesan kopi di cafe, hanya berani capucino yang terasa light di lidah karena ada susunya.

Namun demi menjajal Kopi Posong bermerek 2 Heart yang dibudidayakan Pak Tuhar di Desa Tlahab Temanggung, iman saya goyah. Kopinya yang pahit dibingkai tekstur rasa asam sedikit manis di lidah, membuat saya nambah di gelas kedua.

Mengambil pola tanam tumpangsari di sela tanaman tembakau, Tuhar dan rekan-rekannya menyebut cara ini sebagai pola tanam Tlahab. Seperti diketahui, sudah sejak lama Temanggung dikenal sebagai penghasil tembakau berkualitas di Jateng. Namun masa panen yang cukup lama, harus diisi dengan ekstensifikasi salah satunya dengan membudidayakan tanaman kopi ini.

Berada di ketinggian 900 dpl, kopi jenis arabica ini sangat khas rasanya. Pasalnya, pola tanam Tlahab yang dilakukan, mau tidak mau telah mempengaruhi rasa biji kopinya.

Bagi saya, rasanya memang sedikit dekat rasa tembakau. Alhasil, cocok banget jika kopi ini diminum berbarengan dengan acara merokok apalagi saat itu rokok saya adalah kretek seiring dengan radang tenggorokan yang dihasilkan rokok item biru bermerek maraiboros itu.

"Kami berprinsip, petik merah adalah harga mati," tegas Tuhar sembari menghimbau anggotanya untuk tidak sekali-kali memetik biji kopi yang masih berwarna hijau atau kuning demi menjaga kualitas rasa.

Alhasil adalah wajar jika Kopi Posong berhasil menjadi terbaik ketiga di festival kopi nusantara di Jakarta 2014 lalu. Rasanya yang sangat fantastis seolah adalah oase di padang pasir.

Tak heran pula jika produser Filosofi Kopi 2, menyebut Kopi Posong dalam salah satu scene-nya. Sebuah prestasi yang sedemikian menonjol layaknya benjut segede bakpao di jidat.

So tunggu apalagi...jangan tunggu sampai Filosofi Kopi ketiga dirilis lo gaes untuk mencoba kopi juoss ini. Dan harus diakui, sungguh sulit keluar dari 'jebakan' kenikmatan Kopi Posong ini...


Minum kopinya sambil foto-foto di Taman Wisata Alam Posong boleh juga lo gaes


Share:
Read More
, , , ,

Pisang Aroma dan Pemberdayaan Warga (bagian 2- Famtrip Dinkop UMKM Jateng)

MENGUNJUNGI sentra pengolahan pisang aroma di Dusun Sarangan, Desa Gesing Kandangan Temanggung, sungguh menarik. Tidak saja karena produknya yang cukup khas, namun bagaimana pengelola memberdayakan rekan-rekan difabel yang tuna wicara, sangat menyentuh hati.
Adonan untuk kulit digoreng dengan tangan kosong lo gaes

Awal mula, dibuatlah adonan dari tepung untuk dibuat kulit semacam kulit lumpia. Menariknya, cara pembuatannya langsung menggunakan tangan dan bukan pakai alat, jadi adonan langsung dioleskan di wajan panas. Kalau kamu, pasti wes melepuh gaes...tenin.
Setelah itu di bagian berikutnya, pisang dipotong kecil memanjang dan digulung setelah ditaburi sedikit gula pasir. Bagian berikutnya adalah menggoreng pisang aroma tersebut.
Menurut owner usaha Sri Mulyati, pihaknya memproduksi 100-125 sisir pisang setiap hari. Dua produk utamanya adalah ceriping pisang dan pisang aroma yang berasal dari jenis rojo nongko, jadi puasstii uenaak gaes.
"Di sini memang banyak terdapat pisang karena Kandangan punya banyak potensi. Daripada dijual biasa yang harganya tidak seberapa, kita coba olah menjadi produk yang lebih memiliki nilai jual," tuturnya sembari menyebut pengiriman hingga ke Bali dan Sumatera.
KPK Mawar yang menaungi usaha ini, imbuhnya, bahkan sudah 17 tahun terakhir memproduksi dan memberdayakan masyarakat sekitar. Sebuah usaha rumahan yang menghidupi ratusan warga puluhan keluarga. Sebuah usaha yang mulia nih hehe...


Padahal di awal-awal usahanya, ia hanya mengeluarkan modal sekitar Rp300 ribu. Tapi kini omset usahanya sudah mencapai Rp500 juta per bulan.
Lebih-lebih, bahan baku pisang diakui tidak pernah ada matinya. Mau kapan saja, pisang akan selalu mudah didapatkan, dimanapun kita berada (Selain di luar angkasa tentu saja).
Memulai usaha tahun 2001, Ibu Sri mengawalinya dengan berkeliling menjajakan dagangan. Setelah modal dinilai cukup, ia memberanikan diri membuka usaha dan memperkerjakan beberapa orang untuk membantunya.
Hasilnya? Kita akan dengan mudah menemukan produk Pisang Aroma ini di berbagai pusat oleh-oleh di banyak kota. Jadi, saya tak perlu membawa oleh-oleh pisang aroma ini ke kamu ya? hahaha

Setelah digoreng ini, boleh lo dicipi hihi
Share:
Read More
, ,

Famtrip Diskop Jateng (teaser)

PERTAMA mendapat undangan untuk gabung dalam famtrip bersama Dinas Koperasi Prov Jateng, benak saya terpapar Dieng. Apalagi jelas tertulis dalam iteniary, salah satu jadwal kami nantinya akan berburu sunrise di Puncak Sikunir.
Harus saya akui, Dieng adalah salah satu destinasi yang ingin saya 'taklukkan' layaknya hati wanita yang saya cintai haha. Dan ketika ada kesempatan tersebut, tanpa berpikir lama, saya langsung mengiyakan.
Harap-harap cemas menunggu hari H tiba, saat yang ditunggupun menjadi nyata meski harus bangun pagi-pagi apalagi Parahita Satiti dan Pungky Prayitno, dua blogger handal berencana mampir rumah untuk menumpang mandi. La bayangin aja, dua blogger handal se Asia Tenggara bagian barat laut ini mau mampir rumah dan mandi dengan air yang sama yang kugunakan setiap harinya.
Tapi jadwal kedatangan mereka di Semarang yang sekitar jam 05.00, membuat jadwal tidur saya terganggu lebar hahaha...
Usai sambutan dari Kadinkop UMKM Prov Jateng Ema Rachmawati, kami berduapuluh empat berada dalam 1 bus. Menariknya, ada tiga wanita berambut pirang yang ikut dalam rombongan ini. Mereka adalah Serena Turci (Italia) dan duo Jerman yakni Freya Guddas dan Leefke Maria Hinderlich. Ada pula Midori Okamoto dari Jepang yang sudah menikah dengan orang Lombok dan duo Malayan Nur Dayana dan Nur Hafsana. Ah makin berwarna saja trip kali ini.
Dan mengenal semakin banyak teman dari berbagai latar belakang, berbagai karakter dan prestasi nge-blog mereka masing-masing, sungguh menjadi satu hal yang saya inginkan. Layaknya saya yang sangat menginginkan pergi dan foto-foto di Old Trafford...

Wefie pake Hp Pungky yang paling jago buat berselfie...saya nampak ganteng deh

Tetap ceria dimanapun berada bahkan ketika di atas mobil bak terbuka

Kami di Candi Arjuna

Lihat...kayaknya hanya saya yang kakean gaya hahaha


... dan tulisan tentang hasil kunjungan kami, ada di bagian berikutnya.
Share:
Read More
, , , ,

Mengunjungi Saudara Kembar Semarang-Palembang



Bawa keranjang membeli belimbing
Selamat datang di Palembang bersama Citilink

Semarang

Ah, tentu tidak ada yang meragukan sapaan pantun semacam itu saat naik pesawat. Memang tiada lain dan bukan, itulah Citilink yang selalu menyapa penumpangnya sesaat setelah mereka duduk rapi di kabin.

Tapi mengapa Palembang? Ya karena mulai Minggu (29/10) kemarin, operator penerbangan terbaik ini mulai membuka rute baru Semarang-Palembang. Dan asyiknya, saya bersama pengurus Badan Promosi Pariwisata Kota Semarang (BP2KS), Ketua TP PKK Kota Semarang Krisseptiana Hendrar Prihadi, Kadisbudpar Masdiana Safitri dan jajarannya, Ketua Kadin Arnas Agung Andrarasmara, Asperapi Jateng yang diwakili Alamsyah Djaynurdin, perwakilan UMKM bu Ratna dan Ketua Drone Semarang Community Widhi Renova berkesempatan menjalan terbang perdana rute tersebut.

Istimewa tentu saja. Karena kami berkesempatan mencoba rute baru sekaligus melakukan famtrip serta kunjungan dan kerjasama dengan Badan Promosi Pariwisata Kota Palembang (BP2KP). Dan terbukti, sejak pertama sampai di Bandara Ahmad Yani-pun, sambutan istimewa sudah kami dapatkan.

Disambut langsung oleh Dirut Citylink Juliandra Nurtjahjo dan Ariwibowo Setio Yuliawan (Distrik Sales Manager Semarang) yang juga mempersilahkan kami untuk singgah di lounge sekaligus menunggu waktu penerbangan. Pun demikian sesaat kami duduk di dalam pesawat, sapa akrab melalui microphone disampaikan pramugari layaknya kami tamu kebesaran sehingga seluruh penumpang ikut mengenal kami.

Istimewanya lagi, penerbangan perdana ini sudah mencapai hampir 90 load factor, atau hampir semua kursi duduk terisi. Padahal ini penerbangan perdana lo men…bayangin prospek ke depannya, pasti rute ini semakin ramai.

Palembang Hari Pertama

Dan sekali lagi saat menjejakkan roda pesawat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, sambutan istimewa lagi-lagi diberikan. Badan pesawat langsung disiram air oleh mobil damkar sebagai ucapan sambutan.

Tidak itu saja. Pilot Capt Bobby Naijimi yang membawa kami selamat di penerbangan pertama ini, menjadi orang pertama yang menerima pengalungan bunga disambung bu Tia lalu bu Benita sebagai Ketua BP2KS.
Pendaratan perdana Citilink rute Semarang-Palembang di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II
Usai berfoto bersama di landasan, perjalanan langsung dilanjutkan ke pusat produksi pempek- Beringin. Kabarnya, versi istri saya, ini adalah pempek paling enak. Saya sendiri tidak merasa terlalu istimewa karena bagi saya semua pempek rasanya sama, apalagi sejak pagi saya belum sarapan aka belum kemasukan nasi hehe.

Next destination, rombongan yang berjumlah 20 orang menuju Fikri Collection, pengusaha songket yang konon terbaik di kota ini. Terbukti sih, harga dan kualitas kain di sini nomer wahid, bahkan ada kain yang ditawarkan dengan harga Rp4 juta, sebuah harga yang fantastis bagi saya. Alhasil, saya cuma rela melihat dan foto-foto saja di sana haha.
Kain yang itu 4 juta sob, gemeter aku menyentuhnya.

Beranjak dari sini, dari jadwal yang disampaikan sebenarnya kami harus menuju Hotel Arista berbintang 5 terbaik in town. Namun demi melihat kemacetan kota ini akibat adanya pembangunan LRT (Light Rapid Train) dari bandara hingga Jakabaring, jadwal diubah sehingga kami langsung makan malam di Kampung Kapitan di sisi Sungai Musi. Akibatnya memang luar biasa karena kemacetan terjadi di sana-sini, imbas wajar dari sebuah pembangunan demi persiapan menuju tuan rumah Asian Games 2018 mendatang.

Sangat menarik makan di sini. Kami harus melintas menggunakan perahu dari dermaga di seberang sungai dimana ini sangat menghemat waktu karena jarak tempuhnya hanya sekitar 5 menit. Sayangnya, bu Tia merasa enggan naik perahu sehingga memilih tetap menggunakan untuk menuju resto di sisi Jembatan Ampera tersebut.

Kesempatan menunggu bu Tia dan hidangan siap, kami gunakan waktu untuk berfoto ria dengan latar belakang Jembatan Ampera. Sekilas, jembatan ini mirip jembatan Golden Gate di San Fransisco. Apalagi saat malam mulai menjelang, tata lampu yang apik membuatnya semakin terlihat megah, membuat foto-foto kami juga semakin indah.
Golden Gate eh Ampera Bridge

BP2KS
Jadi jujur, selain kehadiran LRT, jembatan ini juga membuat saya iri akan Palembang. Selebihnya, saya pikir Semarang dan Palembang memiliki banyak kesamaan di antaranya merupakan jalur sutra perdagangan Cina, pernah disinggahi Cheng Ho serta banyak budaya akulturasi di kedua kota tersebut.

Palembang Hari Kedua

Nyenyak tidur saya selain karena nyamannya kamar Hotel Arista yang katanya merupakan langganan tempat nginap Presiden Jokowi setiap ke Palembang, terganggu dengan dering telepon dan sahut bersahut pesan di WA yang meminta semua anggota grup berkumpul di lobi. Jam 09.00, rencananya rombongan kami akan diterima Ibu Ketua PKK Palembang sekaligus istri pak wali Hj Selviana Harnojoyo.

Sayangnya, tidak ada smoking area di resto hotel sehingga aktivitas rutin saya nyeruput kopi dan udud di pagi hari, cukup terganggu. Pasrah bersama rombongan menuju rumah dinas walikota, alhamdulilah saya menemukan kopi di sana dan tentu saja…udud di pojokan hahaha.

Diterima dengan hangat oleh bu Selvi dan jajaran PKK, dilakukan pula penandatanganan naskah kerjasama BP2KS dan BP2KP yang dilakukan Benita Eka Arijani dengan sekretaris BP2KP Sholahuddin Arsyad. Berharap, kerjasama ini segera terealisir sehingga kedua kota semakin dapat menikmati ‘potongan kue’ wisatawan manca dan domestic yang ke Indonesia.

Suguhan pempek dan tekwan, menjadi pelengkap pertemuan. Lagi-lagi, semuanya langsung saya sikat bersama-sama Distrik Sales Manajer Citilink Palembang Bachtiar Setyawan.

Berlanjut dengan agenda makan siang di Riverside, resto ini letaknya berseberangan dengan resto Kampung Kapitan. Jadi keduanya sama-sama berlatar belakang Jembatan Ampera, namun di sisi yang berbeda. Tapi tetap sama kok untuk ditaklukkan fotonya (halah nggaya).

Kunjungan terakhir kami adalah ke Jakabaring Sport Centre yang nantinya akan menjadi venue utama Asian Games di 18-8-18 mendatang. Di area seluas 300 hektar lebih ini, telah disediakan 12 venue olahraga termasuk mess atlet.

Mengunjungi Stadion Jakabaring yang memang keren, diteruskan menengok danau buatan di depan venue menembak, bersama Presdir Jakabaring Sport City Esti Adnan. Namun kami tak bisa berlama-lama karena pesawat sudah menunggu di bandara. Begitupun tulisan ini tak bisa berpanjang-panjang lagi karena kemacetan sudah melanda sehingga sebagian dari kami harus nekat menyingkirkan beton pembatas agar bisa memutar demi mengejar waktu boarding.

Alhasil, kini kami sudah di rumah masing-masing dengan berbagai kenangan dan persiapan kerjasama yang lebih spesifik. Perjuangan belum berakhir gaes, pramugari Citilink yang caem, Sheila, sudah berujar…

Pergi ke Palembang membeli belimbing, sekeranjang buah berwarna putih.
Selamat datang di Semarang bersama Citilink, sekian dan terima kasih.
Share:
Read More