, ,

Trip ke Malaysia Hari 1: Menyusuri KL hingga Menara Kembar

gus Wahid United



PANGGIL ia Gus. Entah siapa nama yang sebenarnya. Toh juga menurut Shakespeare, what is the name. Mungkin hanya untuk KTP dan pemesanan tiket saja nama diperlukan. Selebihnya, panggil ia Gus, tidak lebih.

Ia juga bukan anak kyai atau pembesar agama lainnya yang biasa menggunakan nama panggilan ini. Mungkin hanya sekedar gagah-gagahan, karena faktanya, ia nyaman dipanggil panggilan itu.

Kini lelaki muda itu telah duduk di baris 27K di pesawat yang akan membawanya ke Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Sebelah kirinya telah lebih dulu duduk seorang bapak-bapak yang dari gerak-geriknya, tidak ingin diajak berbincang. Padahal dalam hati, ia ingin ngobrol sepanjang perjalanan, melupakan beban harus naik pesawat, suatu hal yang sangat tidak disukainya.

“Permisi, saya di duduk dekat jendela,” seorang perempuan berjilbab membuyarkan lamunan kekhawatirannya. Bapak di sebelahnya sudah lebih dulu memiringkan lutut memberi jalan, kini gilirannya.

Usai memberi jalan, kembali diraihnya Dear Nathan karya Erisca Febriani. Sepertinya ia sudah tidak ingin berniat ngobrol dengan siapapun, buku yang dibawanya terlalu menarik untuk tidak dihabiskan selama hampir 2 jam penerbangan ini.

“Ceritanya mirip Dylan 1990, sangat mirip bahkan. Tipikal anak muda tahun 90-an gitu deh.” Tiba-tiba gadis di sebelahnya memecah keheningan di antara mereka. Keheningan yang canggung mengingat phobia yang dialami Gus.

“Suka baca novel?” gadis itu melanjutkan pertanyaan.

“Tidak juga. Hanya untuk membunuh waktu. Saya hanya ingin segera landing, jadi saya piker membaca buku dan menghabiskannya akan membunuh waktu terbang,” ujar Gus sedikit berdiplomasi menutupi rasa takutnya.

“Ohhh. Kalau memang suka baca novel, cob abaca karya-karya Tere Liye atau Ika Natasha. Atau yang lebih lama karya si Ayu Utami atau Dewi Lestari, sangat berbobot. BTW, ke KL untuk urusan kerja?” gadis itu nyerocos.

“Ehm saya mau travelling saja.”

“Lo mas ini bloger? Atau vloger?”

“Ya dua-duanya gitu deh. Tapi kali ini sepertinya saya hanya akan menulis dan memotret. Cukup banyak utang video yang belum saya edit. Rasanya seperti dikejar-kejar tukang tagih tiap kali inget. Hehehe,” Gus terkekeh sendiri mengingat banyaknya deadline yang mesti diselesaikannya.

“Oh begitu. Kapan-kapan boleh dong saya kunjungi blog-nya. Saya juga suka baca-baca blog travel dan wisata, apalagi yang ditulis dengan cara berbeda tidak seperti kebanyakan. Bosen kalau hanya blog yang cerita aku kesini naik ini itu, di sana ngapain aja dan sebagainya. Semoga cerita mas tidak seperti itu, anti mainstream.” Pengucapan anti mainstream dirasa Gus seperti sebuah penekanan yang harus lebih diperhatikan. Tapi ia cukup percaya diri, blognya bukan ecek-ecek, apalagi blog yang mainstream seperti kebanyakan. Ia berbeda. Bahkan dalam kesehariannya, ia sudah ciptakan beda itu mulai dari style hingga gaya menulis.

Penampilannya memang cukup unik. Celana pendek, topi dibalik, t-shirt yang selalu bergambar MU atau jersey, menjadi pembeda. Ia coba pertahakankan brand itu selama ini, brand tentang Gus yang bloger penyuka MU.

“Ini kartu nama saya, silakan jika mau intip-intip blog saya. Lengkap alamatnya disitu beserta media kit-nya,” tuturnya sembari mengulurkan kartu nama dengan logo lelaki mengenakan topi terbalik bergambar MU memunggungi siapapun pembaca kartu nama ini.

“OK mas makasih, saya Riyanti,” si gadis mengulurkan tangannya. “Silakan dilanjut membacanya, saya menonton video saja.”
gus Wahid United

Tak ada lagi perbincangan setelah itu selain uluran bantuan memberikan makan siang dari flight attendant. Bagi Gus sendiri, ini bukanlah makan siang yang diidamkannya. Namun dengan menikmatinya perlahan, setidaknya itu bisa membunuh rasa takut terbangnya. Ia mencoba menikmati apapun yang ada pesawat ini. Apapun.

*

PERJALANAN menuju KL dilanjutkannya dengan menggunakan KLIA Express. Tiket seharga 55 MYR, dipilihnya dengan harapan segera sampai di hotel. Bukan pilihan terbaik sebenarnya karena masih ada moda lain yang lebih murah seperti KLIA atau bus. Ia sendiri tak memiliki banyak uang.

gus Wahid United

Beberapa ratus MYR menjadi uang saku selama perjalannya 4 hari 3 malam di Negeri Jiran ini. Perjalanan inipun bukan yang diharapkannya mengingat banyaknya utang deadline tulisan dan video yang harus dikerjakannya.

Namun dua pekan sebelumnya, sebuah email dari seseorang yang tidak dikenalnya tiba-tiba memberikan tiket pesawat Jakarta-Kuala Lumpur PP, termasuk kode booking hotel yang setelahnya diketahui berbintang 5. Hotel Majestic, salah satu yang terbaik di sini. Hotel bernuansa heritage yang dibangun pada 1928.

Meski ragu menerima pemberian ini yang dikatakan oleh si pemilik email sebagai hadiah, entah hadiah atas apa, Gus akhirnya menerimanya. Toh tidak ada yang akan membahayakan nyawanya. Jikapun membahayakan, ia juga sudah pasrah atas hidupnya kepada Sang Pencipta. Sebuah kejadian besar dalam hidupnya, membuatnya tak lagi takut akan kematian, meski tetap saja ia memilih takut terbang. Takut ketinggian lebih tepatnya.

Menerima ‘hadiah’ sendiri bukan tanpa tantangan. Pasalnya, Gus tetap harus mengatur sendiri itinerary-nya selama di KL, mengatur sendiri uang saku yang diambilnya dari jumlah tabungannya yang tak seberapa, menata sendiri jadwal dan waktu yang pas untuk berkunjung ke destinasi pilihannya.

Turun di KL Central yang merupakan stasiun terpadu dari seluruh kereta baik MRT, LRT, Komuter dan juga monorel ini, ia berganti kereta menggunakan Komuter KTM ke Stasiun Kuala Lumpur. Hotelnya hanya berjarak 200 meter dari stasiun itu, cukup berjalan kaki.

Proses check in selesai dan benar adanya, seluruh hotel sudah dibayar oleh si pemberi hadiah. Hingga saat itu, ia hanya berpikir si pemberi hadiah melakukan semua ini karena ulang tahunnya di awal bulan. Ia tidak terlalu yakin, tulisan blognya dapat memenangkan lomba dengan hadiah sebesar ini. Entah. Ia sama sekali tidak merisaukannya, hanya menikmati semua perjalanan ini. Toh hidup kadang penuh dengan kejutan, manusia hanya menjalani.

*

RISAU berada di kamar usai perjalanan panjanga mencapai 1.470 KM dari kota tinggalnya di Semarang, Gus beranjak. Usai mandi, solat dan berganti pakaian, ia memutuskan pergi ke pusat kota. Pusat Kuliner di Jalan Alor menjadi tujuannya.

Ia menyempatkan diri mengambil foto Crystal Fountain di depan KL Pavilion Mall. Sebuah karya seni yang menggambarkan 3 mangkok tersusun di tengah air mancur. Konon, ini merupakan perpaduan 3 ras yang menyusun Bangsa Malaysia yakni Melayu, India dan China yang rukun demi kejayaan negeri.

Beranjak ke Jalan Alor, di sana, ia menemukan beberapa makanan halal yang pas di lidahnya. Sup tomyam dengan tambahan omelet, nasi putih dan es teh tarik menjadi pilihan yang pas untuk mengisi perut yang terakhir disapanya dengan makanan dari pramugari. Total 44 MYR dihabiskannya untuk makan malam yang cukup nikmat terutama karena berada di sentra kuliner, berada persis di tengah jalan.

Usai menyesap sebatang rokok, ia beranjak. Belum sempat meraih dompet dari saku, seorang pemuda mendekatinya. Dengan bahasa yang tidak terlalu dipahaminya, pemuda itu membuka berlembar-lembar kertas foto berusaha menunjukkan gambar-gambar dari sepertinya sebuah panti asuhan. Gus menangkap maksudnya, pemuda ini meminta sumbangan.

gus Wahid UnitedNamun sebuah kode dari pramusaji membatalkan niatnya merogoh kocek untuk membantu. Tidak lama berselang, seorang pemudi gantian melakukan hal serupa, Gus menolak dengan halus. Silih berganti, kini pengamen datang lalu peminta-minta.

“Gak beda ama di Semarang dan Jakarta, banyak sekali pengamen dan peminta-minta datang saat orang sedang makan. Podo wae iwk,” ujarnya lirih dalam hati dalam logat Semarangan yang kental.
Tak menunggu lama, ia beranjak ke Jalan Sultan Ismail untuk memburu MRL. Tujuannya adalah Menara Kembar Petronas yang menjadi landmark kota ini. Letih yang dideranya membuatnya memilih sedikit mengeluarkan uang namun berhemat tenaga daripada harus berjalan kaki 1,6 Km melintasi KLCC menuju menara.

gus Wahid UnitedTurun di Bukit Nanas, Gus menyusur Jalan Ampang, langsung menuju angle terbaik untuk mengambil gambar menara yang pernah heboh di film Entrapment. Malam cukup larut, namun pemburu Menara Kembar masih banyak, masing-masing sibuk dengan kamera HP-nya, berselfie. Gus memilih di pojokan, mencari angle yang menurutnya paling berbeda.






Sedikit awan biru menyembul di pucuk menara. Arak-arakan awan membuat frame lensanya semakin menarik. Gus puas, ia kembali ke hotel, beristirahat dan tidur. Petualangan berikutnya sudah menanti.  

 
Share:
Read More
,

7 Mitos Melegenda dari Sumur Jalatunda

gus Wahid

Mengunjungi Dieng, belum lengkap rasanya jika belum mampir ke Sumur Jalatunda. Di sini, akan disajikan sensasi sebuah sumur raksasa dengan kedalaman sekitar 100 meter. Dengan HTM hanya Rp5 ribu per orang yang dikelola Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banjarnegara, pengunjung sudah dapat menikmati pemandangan luar biasa yang beda dengan destinasi lainnya.
Meski demikian, Sumur Jalatunda memiliki mitos yang bisa dipercaya atau tidak sama sekali, semua bergantung pada pemahaman kita masing-masing. Dan berikut tujuh mitos terkait Sumur Jalatunda.
1. Hasil Hitung Tangga Tidak Akan Pernah Sama
Jika anda sudah sampai di pelataran parker Sumur Jalatunda, jangan lupa mulai menghitung berapa jumlah anak tangganya. Menurut mitos, jumlah hasil hitung masing-masing orang tidak akan pernah sama. Jikapun sama, ketika dihitung kembali saat turun, pasti akan berbeda.
Secara logika, hal ini mungkin terjadi karena kita tidak fokus hanya menghitung anak tangga. Pasalnya, para pengunjung semestinya lebih focus untuk berwisata, berfoto dan sebagainya. Mungkin hasilnya benar-benar akan sama, jika proses penghitungan dilakukan berbarengan, serentak, tanpa melakukan aktivitas lain selain menghitung anak tangga.
Saya sendiri berhasil menghitung jumlah anak tangga di angka 87. Sementara beberapa rekan menghitung di angka 86 dan 88. Cobalah menghitung jika ke sini, lalu kita bandingkan hasilnya.
gus Wahid

2. Permintaan Terkabul Jika Dapat Melempar Batu Mengenai Dinding Sumur
Saat sudah sampai di atas, di gardu pandang, anda dapat melempar batu ke dalam sumur. Konon, jika lemparan kita dapat sampai ke dinding sumur di seberang, permintaan kita akan terkabul.  Benarkah? Wallahualam.
Yang jelas, saat itu saya melempar menggunakan pecahan genteng, dan tidak pernah dapat mencapai bibir sumur di seberang. Boro-boro mendekati, lemparan saya bahkan sudah terjatuh ketika melewati tengah sungai.
Logikanya memang benar, karena gaya gravitasi bumi menarik semua benda di atasnya. Selain itu, jika mempercayai mitos yang satu ini, tentu dikhawatirkan akan menjadi musyrik karena tentunya segala permintaan dan doa hanya dipanjatkan kepada Allah SWT.
Tapi kalau sekedar ingin mencoba dan menguji lemparannya, ya boleh-boleh saja kok. :D
gus Wahid

3. Merupakan Jalan Penghubung ke Laut Selatan
Satu kisah lain menyatakan, Sumur Jalatunda merupakan jalan penghubung ke Kerajaan Laut Selatan. Entah penghubung dalam artian mistis ataupun logis.
Yang jelas, kita semua harus percaya bahwa seluruh air di daratan, memiliki kaitan erat dengan air di lautan. Toh semua aliran air nantinya akan bermuara di laut kan? Jika ternyata lautan yang dimaksudkan adalah Laut Selatan (Samudera Hindia), mungkin karena secara geografis, Dieng memang lebih dekat ke selatan daripada ke utara (Laut Jawa).
4. Berasal dari Legenda Roro Jongrang dan Bandung Bondowoso
Namanya juga legenda, boleh percaya boleh tidak. Namun kisah ini melekat erat dalam keseharian warga Dieng.
Alkisah, Roro Jongrang membuat syarat yang tidak mudah bagi Bandung Bondowoso yang ingin meminangnya, yakni harus membuat sumur yang besar dan dalam. Dengan kesaktiannya, Bandung berhasil memenuhi permintaan tersebut. Namun dengan kecerdikannya, Roro memperdaya Bandung dan meminta masuk ke dalam sumur, lalu sesaat setelah masuk, lubang sumur ditimbun batu agar Bandung Bondowoso mati dan tidak dapat kembali ke permukaan.
Legenda ini senada dengan kisah adanya putri cantik namun buruk hati. Ketika hendak dipinang seorang pengeran, ia membuat syarat serupa, membuat sumur dan lalu mengubur sang pangeran di dalam sumur ketika ia turun ke dasar untuk mengeceknya. Kisah ini juga masih beredar luas di kalangan warga Dieng, sampai saat ini.
gus Wahid

5. Berasal dari Kawah Purba
Sebuah cerita lain menyebut, Sumur Jalatunda dulunya merupakan kawah purba. Karena sudah tidak aktif, lubang kawah yang menganga ini akhirnya dipenuhi dengan air tampungan hujan dan jadilah seperti telaga yang sekarang ini dalam dalam ukuran seperti sumur raksasa.
Kemungkinan adanya kawah purba, sangat logis mengingat Kaldera Dieng juga dimungkinkan dari hasil letusan gunung api purba maha raksasa jutaan tahun silam. Keberadaan kawah-kawah purba dan sisanya ini dapat dibuktikan dengan banyaknya lahan berbentuk ceruk besar di Dieng, seperti halnya di lokasi Kompleks Candi Arjuna, Bukit Pangonan, Sumur Jalatunda dan belasan kawah-kawah yang masih aktif di Dieng hingga saat ini.
6. Jangan Membuang Sampah ke Dalam Sumur
Barang siapa yang membuang sampah ke dalam Sumur Jalatunda, niscaya ia akan mendapat tuah atau balak (bahaya). Ya tentu saja, karena membuang sampah adalah tindakan yang kurang terpuji. Namun budaya masyarakat yang sering membuang sampah di sembarang tempat, sulit dihapuskan.
Mungkin dengan adanya tuah tersebut, warga dan wisatawan dapat berpikir dua kali untuk membuang sampah sembarang. Karena memang lebih baik membuang sampah di tempat sampah dan membuang mantan di kenangan hehe.
gus Wahid

7. Suasana Mistis Berkabut Selimuti Area Sumur
Suasana ini dapat kita jumpai di sore hari, kala kabut mulai turun. Di saat seperti itulah, nuansa dan suasana mistis akan sangat terasa. Apalagi ditambah keberadaan gapura berbentuk cantik di sisi utara pintu masuk.
Kabut dan candi, seolah menjadi perangsang mistis paling OK di Sumur Jalatunda. Entah benar atau tidak benar, kalau bicara hal-hal mistis, memang di sekitar kitapun banyak makhluk gaib, tidak hanya di sekitar Sumur Jalatunda
gus Wahid

Nah demikian tadi 7 mitos yang kental menyelimuti keberadaan Sumur Jalatunda. Percaya atau tidak percaya, kembali pada individu masing-masing. Yang jelas, kawasan Dieng memang selalu eksotis untuk dieksplor.
Selamat piknik!!
Share:
Read More
, ,

Pertautan Rasa di Atas Perahu Kali Serayu



USAI perjalanan jiwanya di Bukit Pangonan, Keenan masih melanjutkan hari-harinya. Namun kali ini ia tak sendiri, gadis idamannya sudah berada di sisi, untuk meneruskan sisa hari.

Berbunga-bunga hatinya. Tak pernah secerah ini. Langit Dieng masih dinaungi mendung, meski sesekali tertembus sinar matahari.

“Aku pengin rafting di Kali Serayu. Mumpung kita masih di sini, daripada nanti kita harus balik hanya untuk rafting. Kamu mau nemenin kan Keen?” tanya Aneesa kepada Keenan, sesaat setelah mereka menuruni kaki Bukit Pangonan.

“Tapi sebelumnya, kita antar mama, papa dan kak Adheera ke BIZ dulu ya,” imbuh Aneesa seolah sudah yakin kalau Keenan bakal setuju dengan idenya.

“Iya, aku manut kamu saja baiknya gimana. Eh apa sih itu BIZ? Atau bis? Ah aku ngikut kamu aja,” Keenan pasrah.

“Nanti kujelaskan di dalam mobil saja. Kamu gak bawa motor kan ke sini? Yuk ikut saja,” sergah Aneesa seraya menggandeng tangan Keenan ke parkiran mobil, tepat di bawah Pangonan.

Tak sulit bagi Keenan menangkap penjelasan tentang BIZ dari Aneesa. Jauh di luar dugaannya, BIZ atau Serulingmas Banjarnegara Interactive Zoo adalah kebun binatang paling beken di sini. Tidak sekedar tempat wisata tentunya dengan melihat 41 koleksi satwa, namun juga sarana rekreasi dan edukasi warga.

Sebanyak 18 jenis mamalia, 18 jenis aves dan 5 jenis reptil, menjadi penghuni paling menarik di sini.

“Kak Adheera mesti suka banget. Dia paling seneng kalau diajak ke kebun binatang liat macan hhahha. Ia bisa berjam-jam hanya melihat macan di kandangnya. Ya kan kak? Nah sembari mama papa nemenin kak Dheera, kita main rafting dulu, kan cuma 2-3 jam saja,” yang disebut namanya hanya tersenyum simpul, meringis lebih tepatnya. Sementara Keenan masih menatap kagum wajah teduh Aneesa yang selalu berbinar-binar setiap kali berbincang. Ia tak banyak bicara, namun matanya menyiratkan segenap makna tentang cinta.

Dan kini, gerbang masuk BIZ laksana 2 gading raksasa yang ditangkupkan, sudah menunggu.
Memilih menggunakan sarana odong-odong, ternyata membuat Adheera makin gembira, meski raut wajahnya masih datar. Gangguan autism tak mudah membuat Adheera menunjukkan emosinya. Tapi Aneesa tahu, mana yang dapat membuat kakaknya gembira dan sebaliknya.

Berkeliling ke seluruh kandang, rombongan kecil ini berhenti di depan kandang macan. Di sisi kandang besi berukuran 10x10 meter yang seluruhnya terkelilingi pagar kawat, Adheera berhenti. Matanya tak lekat menatap dua ekor harimau benggala, Aji dan Upik yang sedang santai merebahkan diri. Entah apa yang dipikirkannya, namun matanya jelas menyiratkan binar.

“Ini saatnya kita kabur dulu. Kak Dheera bisa berjam-jam duduk di situ melihat macan kok. Biar gentian mama dan papa yang nemenin, kita arung jeram dulu. Boleh kan ma?” Aneesa menggelendot manja di bahu mamanya.

“Boleh selama kalian berhati-hati, jangan sombong, takabur karena itu alam. Tidak bisa diterka. Dengarkan seluruh petuah mas-mas yang jadi tour leader-nya,” mama berpesan.

“Bukan tour leader atau gaet ma, mereka itu pemandu atau guard dan juga rescue. Jadi mama tenang saja, setiap perahu ada 1 pemandu kok. Kalau tour leader itu ya kalau kita piknik itu lalu ngasih penjelasan dan sebagainya. Kita kan gak piknik tapi arung jeram, jadi gak butuh gaet hehe,” Aneesa menjelaskan.

“Iya, apalah itu namanya.”

“Mending kalian segera berangkat, langit di Wonosobo sudah mendung banget tuh. Kalau di sana hujan, papa yakin kalian gak akan bisa rafting karena sungainya jadi banjir. Hulu Kali Serayu di Wonosobo kan?” papa dengan bijak memberi petuah, memberi izin berdasar. Gaya khas seorang ayah.

“Iya iya pah mah,” ujar Aneesa.

“Om, tante, kami pamit dulu. Inshaallah kami baik-baik saja. Kak Dheera, baik-baik di situ ya, jangan sampai macannya takut diliat kakak lama-lama seperti itu,” Keenan mencoba mencairkan suasana, memecah kekikukannya.

“Udah ah, daaaggg, jalan dulu ya. Nanti tak certain, tak bagi foto-foto rafting deh,” sedikit berlari, Aneesa kembali menggandeng tangan Keenan. Yang digandeng hanya manut, mirip dokar yang ditarik kuda, pasrah kemana dibawa.
*

JARAK dari Serulingmas ke Pikas, tidak jauh, masih di tengah kota. Tidak lebih dari 15 menit. Tentu ini menjadi kelebihan tersendiri bagi Banjarnegara memiliki destinasi-destinasi terpadu dengan jarak tempuh minim, namun maksimum akses di pusat kota.

Tentu ini berimbas positif bagi warga. Tak perlu jauh-jauh berwisata, semua ada di pusat kota. Dan tentu saja akan membawa indeks bahagia yang berlipat ganda, sebahagia hati Keenan dan Aneesa, setelah mereka berada di atas perahu, bersiap pengarungan, berbeda dengan malam sebelumnya yang memilih berendam di air panas D'Qiano.

Arus siang itu tak begitu deras, biasa saja sebiasa arus di sungai terbesar di Banjarnegara ini. Matahari juga tak begitu cerah, tersaput awan di beberapa sisi. Tak begitu banyak rombongan lain yang ikut rafting, hanya enam perahu bersama rombongan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banjarnegara yang sebelumnya bersua di Bukit Pangonan dan berjalan bareng di Sumur Jalatunda.

Seluruh briefing keselamatan sudah diberikan. Tata cara mengayuh perahu, perintah-perintah yang mungkin disampaikan saat pengarungan, hingga tips agar tetap jika semisal terjatuh dan terbawa arus.

Di baris peserta, Aneesa lebih fokus mendengarkan sementara Keenan mengangguk-angguk seolah paham, sementara matanya lebih banyak mencuri tatap ke Aneesa di sisi kirinya yang kini telah mengenakan helm dan pelampung berwarna merah terang.


Keenan semakin kagum tatkala melihat Aneesa berbincang akrab dengan Mbah Roso, pemandu perahu karet mereka. Di sela aktivitasnya mengendalikan arah perahu mengarungi jeram, mereka nampak sudah mengenal satu sama lain. Gadisnya, pikir Keenan, memang istimewa, pintar, cantik dan mudah bergaul.

Sesekali di sela perbincangan mereka, perintah silih berganti disampaikan Mbah Roso. Guyonan, candaan dan tanya silih berganti, akrab membalut hati. Keenan semakin yakin, pilihan hatinya tidak salah.

"Awas jeram, boom masuk," Mbah Roso memberi perintah, memecah lamunan Keenan. "Yak, sekarang dayung maju lagi. Jeram Panjang sudah menanti di depan kita. Hati-hati dan bersiap ya. Kita sangat beruntung meski sedikit gerimis, tapi di Wonosobo tidak hujan jadi tidak banjir," lanjutnya.


Perahu melaju dengan kecepatan sedang, tak begitu kencang. Apalagi Jeram Panjang sudah menanti di depan. Keenan masih sempat melirik Aneesa yang duduk di kanan depan, tepat di sisinya ketika aba-aba dari Mbah Roso terdengar. "Boom masuk, boom masuk."

Aba-aba diberikan dengan segenap tenaga, namun tak cukup kuat mencegah Keenan untuk tak mengabaikannya. Ia masih sempat melirik Aneesa yang sudah lebih dulu jongkok di lantai, dan berucap "Ayo," namun terlambat.

Booom...perahu mereka menabrak batu besar, sesaat masuk di Jeram Panjang. Daya dorong arus kencang dan daya tolak batuan besar bertemu, membuat tubuh Keenan terpental keluar perahu, jatuh tertelungkup di dasar kali.

Sebercak warna merah segar memancar keluar di sela arus kali yang deras.

*
Gelap. Hanya itu yang diingatnya. Beberapa teguk air masuk melalui kerongkongannya yang terbuka. Benturan di kepala menyisakan nyeri yang membuat Keenan tersadar.

"Beruntung kamu hanya terbentur dan helmmu tidak terlapas. Kamu bai-baik saja kan Keen?" Aneesa terus berusaha menyadarkan lelaki di hadapannya ini. Wajahnya sendu, cemas berlebihan membuatnya kehilangan daya pikat, sorot matanya memudar, takut kenapa-napa.

"Ehmm aku dimana? Aku kenapa ini?" sesaat Keenan bingung

"Kamu di atas perahu rescue mas, kamu gak apa-apa. Cuma kaget terbentur tadi pas jatuh di Jeram Panjang, sempat pingsan. Tapi kamu baik-baik saja," tutur seorang pemandu.

"Keenan, kamu baik-baik kan? Jangan kenapa-napa ya. Aku takut kamu kenapa-napa," Aneesa nyerocos, kekhawatirannya sudah menurun beberapa detik usai Keenan tersadar.

"Iya mas, lain kali jangan melamun dan dengarkan komando dari pemandu ya. Kamu sering melamun atau jangan-jangan curi-curi pandang ke Mbak Neesa ya," Mbah Roso menimpali disahut teriakan gemas Aneesa sembari mendaratkan cubitan di perut Mbah Roso.


"Iya mas, mbak ini tadi panik banget pas mas kecemplung. Beruntung kami sebagai tim rescue cukup sigap. Kami memang selalu menempatkan diri di posisi depan sebelum perahu peserta masuk ke jeram. Kami berjaga. Makanya kami selalu duluan di depan kalian," pemandu lain yang sepertinya paling senior memberi pemahaman. Badge bertuliskan BannyuWoong Adventure, terpampang di lifejacket-nya. "Nah sekarang, mau dilanjutkan rafting-nya atau berhenti di sini saja?"

"Lanjut dong, kan belum sampai finish. Belum tuntas adrenalinnya mengarungi Serayu. Lanjut kan Keen? Kamu gak takut atau trauma kan? Ada mas-mas rescue ini kok. Tuh peralatannya lengkap, ada tali panjang juga yang siap dilempar jika kita terpental terlalu jauh. Ini aman kok," Aneesa mencoba meyakinkan.

Mengangguk pelan, Keenan bangkit. Dikencangkannya tali helm dan diperiksanya seluruh tali pelampung. Diraihnya dayung yang tergeletak di samping, sembari menempatkan ibu jari kanannya di bawah T-Grip. Tangan kirinya mantap menggandeng Aneesa, seolah ia tak ingin terlepas kedua-duanya.

"Aku siap. Kini kamu tak akan lagi dapat mengkhawatirkanku. Aku jauh lebih baik dan siap mengarungi apapun selama bersamamu. Kita akan baik-baik saja, berdua, bersama." **




* Catatan kedua Famtrip Bloger dan Media bersama Disbudpar Banjarnegara
** Tamat
- All photo by Bannyu Woong Adventure
Share:
Read More
,

Sempurna Cinta di Tanah Dhyang*


www.guswah.id

INI adalah kali keempat Keenan kembali ke Tanah Dhyang. Namun kali ini dengan misi yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Misi yang diendapnya berbulan-bulan, misi yang menjadikan jerawat batu ngendon persis di keningnya, merah, mirip bindi hanya saja ini di dahi laki-laki.

Keenan tersadar, Dieng memang istimewa, setidaknya baginya. Begitu pula yang dipikirkan jutaan orang yang pernah mengunjunginya, atau masih berangan-angan mencicipi hawa dingin, berwisata di tengah aura mistis alamnya.

Hampar kompleks Candi Arjuna, seolah tidak pernah habis untuk dieksplor. Begitu pula belasan kawah dan beberapa telaga yang menanti diunggah. Tapi kali ini, misinya beda. Keenan sedang mengejar cinta, cinta dari seorang dara yang juga pernah dijumpainya, mengantar pertemuan pertamanya di Tanah Dieng ini. Tanah yang disumpah Kyai Kaladete akan menemukan kesejahteraan pasca pengorbanannya memiliki rambut gimbal.

Aneesa namanya. Dia seorang gadis layaknya, tak ada yang istimewa, cantiknya sederhana saja. Tapi bagi Keenan, kesederhaaan itulah yang membuatnya terpikat, melabuhkan hati untuk kemudian memagutkan segenap rasa. Tapi rasa Keenan, bukanlah rasa yang mudah terungkapkan. Ia pendam rasanya selama 12 purnama, atau sejak pertama mengenal Aneesa.

Iapun bersumpah akan mengorbankan hari-harinya, hidup dan perjuangan demi cintanya. Terombang-ambing di bak truk yang membawanya melalui Karangkobar dari Banjarnegara, angannya beranjak. Jika biasanya ia ke Dieng melalui Wonosobo, jalur yang juga biasa digunakan wisatawan lainnya, kini ia harus menempuh jalan ini. Jalan yang luar biasa mengular, berkelak-kelok naik turun bukit, namun memiliki pemandangan yang sangat indah. Terbayar lunas perjuangan pertamanya.

Di Pasar Batur, Keenan harus bertukar bak truk dari yang semula mengangkut sayur, kali ini bersama dengan tumpukan karung-karung beraroma menyengat. Di ujung jalan masuk Candi Arjuna, barulah ia paham itu adalah pupuk kandang yang akan digunakan untuk menyuburkan tanaman kentang.

“Pantas baunya seperti mulut naga yang puasa tujuh bulan,” gerutunya dalam hati.

Di gerbang candi, Keenan ragu. Apakah akan meneruskan langkah, atau memutuskan ke lokasi lain. Namun keyakinan mengalahkan keraguan. Langkahnya mantab, demi cinta yang mungkin sudah menunggunya.

www.guswah.idTapi salah. Pelataran Arjuna sore itu hanya penuh sesak dengan ibu-ibu PKK yang sibuk ber-swafoto. Langit bitu, Arjuna ganteng, Sembadra yang seksi dan Semar yang gagah, menjadi pemuas latar foto yang tak lama lalu sudah berpindah terpampang di wallpaper emak-emak gaul itu.

“Mas, mas tolong fotoin dong. Latarnya Candi Arjuna tapi harus kelihatan bukit dan langitnya ya. Sebentar saya rapikan dulu kainnya biar lebih keren,” pinta seorang ibu berbaju hijau yang sepertinya bosan ber-swafoto sembari merapikan kain berwarna putih dengan corak hitam yang menjadi kain penutup wajib bagi siapapun yang masuk ke kompleks candi. Dan demi melihat kehadiran Keenan, segera ia mengajukan permintaan bantuan. Keenan-pun menurutinya sembari menebar pandangan, jangan di antara mereka terselip cinta yang sedang diburunya. Tapi ia salah. Tak ada seorangpun gadis di antara mereka. Beberapa ibu PKK memang mengajak anak gadisnya untuk tamasya, tapi mereka masih balita, belum pantas jadi cintanya.

Kekecewaannya sedikit terobati kala berjalan keluar dan menemukan Pendopo Soeharto-Whitlam. Dia teringat, bagaimana dulu di tahun 1974 Presiden RI Soeharto bertemu dengan PM Australia Gough Whitlam untuk membahas dukungan terhadap integrasi Timor Timur oleh RI. Meski hanya 15 menit dan di tempat terpencil kala itu, setidaknya Dieng telah kembali menjadi saksi sejarah. Mungkin pula kali ini waktu berpihak padanya, Dieng juga akan bersaksi atas cintanya.

Tak ditemukannya belahan hati di Arjuna, memaksanya bergegas ke selatan. Kawah Sikidang menjadi tujuan, toh harga tiketnya juga cuma Rp15 ribu untuk dua destinasi itu. Keenan yakin, cintanya berada di sana. Sebulan lalu ketika mengunjungi Dieng bersamanya, cintanya itu pernah berujar ingin memulai kehidupannya di masa mendatang di tanah ini. Baginya, itu adalah tanda untuk ‘menembakkan peluru cinta’.

“Entah mengapa, aku pengin sesuatu yang spesial di sini. Aku ingin Dieng menjadi saksi salah satu perjalanan besar di hidupku nanti lo,” ujar cintanya kala mereka berdua menghabiskan ujung hari di ujung jalan menuju Arjuna. Itu adalah bulan keduabelas sejak pertemuan pertama mereka, juga di Dieng ini, termasuk trip bersama mereka saat Dieng Culture Fest lalu.

Makanya Keenan tahu, kemana kira-kira kaki Aneesa akan melangkah usai mengunjungi Arjuna. Sikidang selalu menarik bagi Aneesa. Kawah yang berpindah-pindah, meletup dan mengeluarkan bau belerang yang sangat kuat, menarik bagi seorang Aneesa.

www.guswah.id“Kamu tahu gak Keen, kalau nanti suatu saat Kawah Sikidang ini tidak akan lagi berpindah tempat,” tanya Aneesa setelah sebelumnya menjelaskan asal muasal nama Sikidang. Bahwa Sikidang dapat diartikan sebagai kidang atau rusa, yang sukanya meloncat-loncat, begitu pula kawah ini yang selalu berpindah tempat, lincah kayak rusa.

“Tidak. Yang aku tahu, aku tidak akan berjalan di belakangmu kalau ke sini. Aku khawatir kamu kentut dan baunya tersamarkan oleh aroma belerang,” ujar Keenan sekenanya, disambung dengan langkah cepat Aneesa yang ingin mencubitnya gemas. Namun Keenan lebih dulu lari, disusul Aneesa sembari berteriak-teriak kecil, masih gemas ingin mencubit.

“Jadi, Kawah Sikidang ini tidak akan lagi berpindah tempat jika ia sudah bertemu dengan Kawah Sibanteng. Tapi entah kapan itu terjadi. Setidaknya, Sikidang sudah berpindah sebanyak 3 kali. Kemungkinan, ia akan bertemu Sibanteng di lokasi pertama Sikidang muncul,” Aneesa menerocos, menjejali dengan berbagai informasi. Tapi sebaliknya, Keenan seolah abai penjelasan itu, ia lebih sibuk memandang wajah Aneesa, gadis yang dipilihnya sejak pertemuan mereka 12 purnama lalu.

Kawah Sikidang masih sama dengan setahun pertama pertemuan mereka. Hanya saja kini lebih banyak pedagang berjajar memanjang hingga mendekati bibir kawah. Keenan memandang memutar, menyapu seluruh pengunjung. Tak jua ditemukannya gadis pujaannya. Kelebatnyapun tak nampak. Ia sedikit putus asa. Apalagi terang sebentar lagi memudar, berganti petang.

Keenan memutar otak, sepertinya ia harus menyerah kali ini. Masih ada esok, untuk mendapatkan cintanya, menautkan rasa yang mengendap dalam. Rasa yang harus diungkapkannya, apapun hasilnya. Waktunya dicukupkan untuk beristirahat, D’Qiano menjadi pilihan sekaligus tempat melepas penat.

“Di sana ada tempat berendam air panas. Aku bisa ngadem dan refresh di sana. Ya setidaknya melepas daki dan aroma busuk belerang dan pupuk kandang tadi siang,” ujarnya menghibur diri dalam hati.

*
SUDAH sejak adzan Subuh Keenan terbangun. Tidurnya tak terlalu nyenyak. Beban rasa di hatinya terlalu berat untuk tak segera diungkapkan.

Sejenak mengatur rencana, ia menduga Aneesa akan berburu sunrise. Sikunir menjadi alternatif pertama. Tapi ia menggeleng, trek 45 menit dan jalan cukup terjal tidak akan diambil mengingat sudah jam 05.00 lebih.
www.guswah.id

“Mungkin di Bukit Sipandu,” Keenan mencoba menerka kemana gadisnya bertujuan.

Bergegas usai solat dan mandi, ia ambil tas lengkap dengan kamera dan peralatannya. Semua skenario sudah disiapkan, mengambil momen paling istimewa demi pujaan hatinya.

Keenan bergeming. Langkah dan hatinya tidak bersepakat. Ia ingin ke Bukit Sigandu namun hatinya membisikkan kata agar ia memilih ke Bukit Pangonan dengan alasan waktu sudah mendekati 05.00, sehingga akan lebih cepat treking dan sampai puncaknya.

"Masih bisa dapat sunrise...waktu yang tepat untuk menyatakan cinta kepada Aneesa. Terlebih di sana ada savana yang pasti lebih romantis," bisik hatinya lirih. 

Masuk akal pikirnya. Bergegas ia percepat langkahnya, seolah tak ingin tertinggal sedikitpun. Di kaki bukit, tak dijumpainya seorangpun. Begitu pula di sepanjang jalan menanjak menuju puncak bukit. Hanya beberapa petani kentang yang sibuk menyiangi gulma. Dua pipa besar yang mengalirkan uap panas dari kawah-kawah di Dieng, ikut menemani jalur pendakiannya.

"Iya mas, tadi ada rombongan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banjarnegara yang naik ke puncak. Ya belasan orang lah," ujar seorang petani menjawab sapaan Keenan, sekaligus mengkroscek siapa tahu ada belahan jiwanya di antara mereka.

Masih terengah-engah ketika kakinya sampai di sisi hutan Lembah Sumurup. Terhampar di depannya, padang savana luas, mulai menghijau seiring hujan pasca kemarau panjang. Sisa-sisa padang yang terbakar, masih nampak coklat, meski mulai menghilang. Bekas kawah purba ini, telah beralih rupa menjadi telaga dan kini berganti dengan padang savana. Konon di sinilah pertama kali tanaman purwaceng yang legendaris itu ditemukan.  

Memandang berkeliling, mata Keenan nanar. Dari belasan orang yang nampak dari ketinggian ia berdiri, belum terlihat sosok yang diidamkannya. Sedikit merasa letih dan kecewa, ia memutuskan berbalik arah. Sesaat itu pula, seiring Keenan membalikkan badan, Aneesa muncul dari balik semak, tepat di belakangnya. Sama terkejutnya ekspresi keduanya.

Namun Keenan jauh lebih terkejut. Aneesa muncul sembari menggandeng mesra tangan seorang laki-laki yang jauh lebih ganteng, gagah dan wajahnya nyaris selalu tersenyum, meski ia sedikit merasa aneh dengan senyuman itu. Sesekali, lelaki itu bahkan menggelendot manja di bahu gadis yang dipilihnya untuk menghabiskan sisa umur bersama.

“Keenan? Kenapa kau sampai ada di sini, sendirian lagi? Sedang apa? Sama siapa? Ngapain?” berondongan pertanyaan Aneesa, belum mampu dijawabnya. Ia benar-benar lunglai, tak mampu berkata apa-apa. Bukan karena pertanyaan yang bertubi-tubi, namun lebih karena sosok lelaki itu. Surprise tak dinyana.

“Ehm...ehmm aku mencarimu. Aku mengejarmu sejak dari Semarang, ke Dieng dan Arjuna dan juga Sikidang,” jawab Keenan sekenanya. Matanya masih nanar bertanya-tanya, siapa lelaki ganteng yang menggenggam tangan Aneesa itu.

“Mengejar? Untuk apa? Aku kan tidak lari. Ah kau ada-ada saja,” Aneesa masih menjawab datar. 

“Oh iya, ini kenalin kakakku, namanya Adheera. Kami memang mau ke sini, namun harus berjalan pelan-pelan. Kakakku suka usil, jadi harus sabar. Aku pengin nunjukin ke kakak bahwa dunia itu indah, ia juga bisa belajar dari alam. Ya meski kemampuannya terbatas, tapi kakakku juga butuh piknik. Masak cuma adeknya saja yang travelling terus. Makanya ia kuajak naik Bukit Pangonan saja yang lebih landai. Dan meski agak lama, akhirnya kami sampai juga di sini. Indahnya ya puncak Pangonan ini,” penjelasan Aneesa bagai setetes kopi purwaceng, meletupkan gairah Keenan.

Dari penjelasan itu pula, ia baru tahu bahwa Adheera mengalami autism sejak umur 2 tahun. Dan nyaris sepanjang hidupnya, Aneesa memberikan perhatian penuh kepada sang kakak. Travelling, mendaki gunung serta memotret adalah hobi yang disalurkannya di sela kesibukannya mengasuh Adheera.

“Makanya kalau ngetrip, aku tak bisa lama-lama. Ada kakakku yang juga butuh perhatianku. Eh sudah ah, aku terus yang cerita. Kamu juga cerita, kenapa sampai di sini? Kenapa pula mengejarku, emang aku maling? Udah yuk, jalan ke bawah yuk, pengin motret savana nih,” ujar Aneesa kembali menggandeng tangan kakaknya.

Ingin rasanya Keenan menjawab. “Iya, kamu maling hatiku. Gak cuma separuh, tapi seutuhnya. Apa yang kamu lakukan, gerakmu, tingkahmu, budi pekerti dan segala kebaikan dirimu sudah mempesonaku. Seperti pesona Dieng yang tak pernah luntur sampai kapanpun, bersanding sempurna dengan keelokan sifatmu Neesa,” tapi itu hanya disimpannya dalam hati, sampai nanti benar-benar tiba waktu terbaik untuk mengungkapkannya.

Tapi setidaknya, kini telah terbuka jalan untuk hatinya berlabuh. Bahkan meski jauh dari pelabuhan, Keenan yakin akan menambatkan perahunya di sini, di hati Aneesa, di tengah cantik pesona Tanah Dhyang. Keenan makin yakin, memantapkan langkahnya ikut menggandeng tangan Adheera di seberang sisi Aneesa, bersama. **

guswah.id
Photo by @ikapuspita1
* Catatan pertama Famtrip Bloger dan Media bersama Disbudpar Banjarnegara
** Bersambung
Share:
Read More