, , , ,

Mendoan dan Dendam Masa Lalu



DALAM sebuah proses peliputan, kebetulan banget aku bertemu dengan seorang pembaca kartu tarot. Dan seperti biasanya, namanya wartawan (dan inilah yang aku suka dari profesi ini) selalu diberi kesempatan mencoba dibaca pula nasibnya. Dibaca nasibnya lo ya, catet, bukan diramal. Kalimat itu pula yang berkali kali diucapkan sang pembaca kartu (aku lupa namanya haha, la sudah 10 tahun lebih owk).
Kartupun dikocok. Total akan ada empat kartu yang akan dibaca olehnya, sesuai dengan hasil kocokan yang kulakukan. Tak perlu kuruntut satu persatu ya, tapi simpulannya aku memiliki dendam masa lalu. Ini terkait dengan banyak hal terutama persoalan ekonomi dimana kala itu banyak sarana hidupku yang pas-pasan. Sepatu yang cuma sepasang, tas sekolah yang cuma satu and only, seragam yang hanya dua pasang (dipakai 3 hari). Bahkan pas kelas 3 SMA, celanaku yang sobek hanya ditambal oleh ibuk, bukannya beli baru. Alasannya, sekolah tinggal 6 bulan, tanggung. Jawaban khas emak-emak ya.
Padahal secara ekonomi global, keluargaku tidaklah minim-minim banget. Ayah ibuku dua-duanya PNS. Yang tentu secara otomatis, ekonomi kami cukup terpandang, ya di atas rata-rata dikit lah dibanding tetangga-tetangga di desa yang rata-rata adalah petani atau buruh. Tapi sejak kecil, aku sudah dibiasakan prihatin (yang ini alasan khas ibu-ibu ya).
Saking prihatinnya, saat kuliah di Semarang, aku hanya diberi uang saku sebesar Rp100 ribu per bulan. Itupun sudah termasuk untuk membayar kos Rp35 ribu per bulan. Jadi otomatis, sisa pembayaran koslah yang kugunakan untuk makan dan aktivitas kuliah lainnya. Bisa dibayangkan, bagaimana prihatinnya hidupku saat itu.
Dalam beberapa sesi, aku pernah disuruh membawa beras untuk dimasak sendiri di kos-kosan. Saran khas simbok-simbok inipun kuturuti. Dengan pertimbangan, nanti aku tinggal beli lauk dan sayurnya terpisah, pasti lebih irit. Begitu katanya.

Aku manut. Dan ketika uang saku menipis, aku hanya berani beli 3 buah mendoan goreng di tukang gorengan seharga Rp1.000. Perhitungannya, 1 untuk sarapan, satu untuk makan siang dan sisanya untuk makan malam. Agar agak berasa, aku minta cabe yang banyak kepada mang penjual.
Eit, ini belum selesai. Strategi makan harus diatur agar 1 unit mendoan mampu menopang sepiring penuh nasi. Cara yang kupilih adalah dengan membongkar tempe mendoan, memisahkannya dengan tepungnya dan memakannya secara bertahap. Tempe dulu bersama nasi lalu tepung bersama nasi. Untung saja saat nyeplus Lombok, tidak ada kucing lewat yang nyenggol mendoannya...bisa dibayangkan kan betapa pedasnya hidupku saat itu.

Hampir tiga bulan lamanya aku menerapkan system makan hemat semacam ini. Jadi tidak kaget lagi jika banyak gerai makanan menawarkan paket hemat dan sebagainya. Aku cuma bilang, wes tau.
Di sesi lain di hidupku, saat itu aku sudah bekerja dengan gaji yang sangat pas. Apalagi saat itu, aku harus membiayai sendiri kuliah ekstensiku demi meraih gelar sarjana. Sebelumnya, aku hanya menyelesaikan gelar diploma. Di sebuah jaringan radio ternama, aku mengabdikan diri selama 2 tahun. Jaringan dan nama radionya memang ternama, namun gajinya tidak sebanding dengan namanya, jadi lagi-lagi harus ada pola hemat makan yang kuterapkan termasuk salah satunya menjadi kontraktor (kontrak di kantor agar tidak mbayar uang kos).
Jadi seringnya, aku dan teman-teman kantor yang juga tinggal di kantor (ada 3 orang kala itu), membeli nasi bebek. Tapi ya jangan dibayangkan bebeknya adalah paha atau dada, tapi bagian yang paling istimewa alias paling murah, kepala. Hanya Rp2500 plus nasi, tentu ini menjadi pilihan paling pas untuk berhemat. Apalagi kepala bebek tahu sendiri kan, guede banget dengan lehernya yang jenjang kayak leher Nikita Mirzani. Anehnya, kebiasaan ini masih terbawa sampai sekarang, aku masih lebih suka pesan kepala bebek daripada paha atau dadanya. Mungkin karena inget Nikita kali ya.

Karena ‘pelitnya’ ibukku tadi, dalam beberapa hal aku terpaksa berbohong terutama jika ingin mendapatkan satu barang yang cukup mewah. Yang paling aku ingat adalah aku bohong bahwa aku harus beli kamera agar diterima jadi wartawan magang di Koran kampus. Beruntung bohongku termasuk lihai sehingga Yashica FR II akhirnya bisa kubawa pulang dengan harga Rp1.250.000. Bayangkan saja, uang saku Rp100 ribu aku bisa bohong 12 kali lipatnya, apa gak istimewa tuh hahaha.

Tapi, aku memang dididik untuk prihatin. Sikap ibu (ibuku bercerai dengan ayah biologisku sejak aku kecil, jadi sampai besar aku lebih dekat dengan ibu. Ayah dalam tulisan ini, adalah ayah sambung), banyak memenuhi rongga dan indra penghidupanku sampai saat ini. Didikan keras dalam agama terutama solat dan puasa, menjadi pegangan meski ya masih banyak bolongnya. Namun demikian, dengan bekal kamera dan uang saku mepet tadi, aku mencoba kreatif. Saat itu di kampus selalu penuh dengan kegiatan yang membutuhkan dokumentasi dan keahlianku memotret, tidak banyak saingannya. Jadilah untuk setiap kegiatan, aku patok harga Rp60 ribu per rol tapi minimal harus 2 rol, dan itu selalu masuk dalam anggaran setiap panitia. Jika kegiatan di FISIP, selalu akulah fotografernya. Alhasil dalam sebulan, aku sudah mulai dapat menabung. Tak main-main, aku nabung di bank paling keren di negeri ini, itu bank yang awalnya huruf N dan hanya 3 huruf dengan logo biru.
Padahal tuh bank, potongan en pajeknya luar biasa mahal. Jumlah setoran dan bunga, kayaknya tidak pernah seimbang. Alhasil tabunganku tidak berkembang, malah menipis. Ibupun mengeluh jika harus transfer uang Rp100 ribu tadi di bank ini, antreannya naudzubillah katanya, gak cucuk sama tenaganya.
Pernah pula saat setor, aku sudah masuk dengan gagah karena merasa sebagai mahasiswa, sudah mampu setor bank dari hasil keringat sendiri. Sialnya, engkoh-engkoh di depanku ini, duitnya setumpuk. Total hamper 20 menit untuk menghitung uangnya. Dan saat giliranku tiba, gak butuh 2 menit, rampung sudah. Silakan yang dibelakang, kata mbak teller mempersilakan antrian belakangku. Duh...
***
Kembali ke pembaca kartu tarot tadi, di akhir kartu atau kartu keempat, nampak gambar seorang wanita seperti memegang tongkat duduk bersila. Menurutnya, ini adalah wanita penyelamat hidupku dari dendam masa lalu terutama tentang keuanganku.
Wanita ini bisa jadi ibuku, istri, pacar, selingkuhan, budhe, bulik, tante atau siapapun tapi yang jelas berjenis kelamin perempuan. Ia sendiri tidak bisa bilang, siapa wanita itu. Tapi jika memang aku ingin selamat dunia akherat terutama agar keuanganku membaik, aku harus mendengarkan wanita ini karena dia adalah juru selamat keuangan dan hidup. Tapi kok agak-agak mirip dengan akuntan ya...muga-muga sih bukan akuntan khusus ngitungin berapa jumlah kedelai dalam satu mendoan. 


  

Share:
Read More
, , , , , ,

9 Hal Sepele Ini Bisa Membatalkan Pahala Puasamu, Hati-Hati!



Beberapa sikap ini seringkali kita lakukan tanpa disadari. Akibatnya cukup fatal, apalagi jika dilakukan selama Bulan Ramadhan. Padahal, apa yang kita lakukan ini, seringkali pula kita lakukan dalam keseharian. Jika tidak ingin pahala puasa menguap, simak hal-hal sepele apa saja yang bisa kita hindarkan agar puasa kita tidak hanya mendapat lapar dan dahaga seharian. Tentunya kita mau menuju Islam yang kaffah kan, yang sempurna. 
Tapi tenangggg, ini juga sering saya lakukan kok, jadi mari saling mengingatkan kayak tukang kredit ngejar-ngejar tagihan haha.

1. Pulang Mepet Waktu Berbuka
Adalah mengasyikkan pulang kerja atau main or dolan lalu pulang ke rumah kira-kira 5-10 menit sebelum adzan Magrib berkumandang. Jadi saat buka puasa tiba, kita sudah di home sweet home, berbuka bersama keluarga. Sayangnya, seringkali kita lupa saat berkendara dengan baik demi mengejar mepetnya waktu berbuka.
Banyak orang memilih berjalan zig zag, yak-yakan, serobot kiri kanan, memotong jalur orang lain. Akibatnya, banyak orang mengumpat. Seringkali pula, kita saling serobot beradu paling depan saat di lampu bangjo. Tujuannya tentu saja agar bisa langsung tancap gas saat traffic light menyala hijau. La untung cuma tancap gas, bukan nyungsep karena ngebut...
Sebaiknya jika memang ingin berbuka bersama keluarga, pulanglah lebih gasik gih, jangan mepet-mepet. Meski harus disadari pula, hal ini terkait langsung dengan faktor kebiasaan buruk warga berkendara serta kedisiplinan yang rendah. Sekali lagi, saya juga termasuk di dalamnya kok hehe

2.       Ghibah
Ini juga sulit lo dihindari. Kebiasaan buruk ngomongin teman, ngegosip bisa berujung kepada ghibah atau ngomongin keburukan orang.
Cukup wajar memang jika dalam setiap obrolan apalagi perbincangan yang menarik asyik, bertema tentang orang lain dan aktivitasnya. Tapi haru hati-hati, tema obrolan biasanya tidak akan jauh-jauh dari si A yang ternyata begini, si B yang nyatanya begitu dan sebagainya.

3.       Misuh
Sudah jadi rahasia umum, kita sering misuh (mengeluarkan umpatan saat menemui kenyataan yang tak sesuai dengan harapan). Misuh bahkan sudah menjadi bagian hidup sehari-hari. Tidak jarang, kebun binatang seisinya, bisa keluar lo untuk bukan binatang aslinya yang muncul, bisa dibrakot tuh...hauuummm.

4.     Ngabuburit yang Kebablasan
Menunggu waktu berbuka sembari ngabuburit, tentu mengasyikkan. Bersama warga yang lain berkumpul di satu tempat terbuka, menonton sesuatu hal sembari menunggu bedug, ngobrol bersama rekan, membuat waktu bergulir cepat.
Hati-hati, waspada jangan sampai waktu ngabuburit menjadi blunder karena pahala puasa seharian hangus. Padahal tinggal beberapa menit lagi menuju berbuka...

5.       Kalap Berburu Takjil
Ngabuburit yang selalu menjadi kebiasaan sebagai aktivitas paling asyik menunggu bedug dug dug... apalagi saat ini tempat-tempat favorit untuk ngabuburit, selalu dipenuhi dengan penjual makanan.
Dalam kondisi perut lapar, demi melihat makanan yang ada, semua seolah terasa nikmat. Semua muanya pengin dimakan. Namun saat sudah mengunyah satu dua makanan, perut sudah terasa penuh. Ini wajar karena perut kosong layaknya jebakan karena begitu diisi dikit sata, sudah berasa kenyang. Akibatnya, makanan yang sudah dibeli menjadi tidak termakan sia-sia...eman eman kan, mending dikirim ke rumah saya.

6.       Menunda Solat Magrib
Saat bedug Magrib berkumandang, kita selalu bergegas membatalkan puasa. Memang sih ada dalil hadist untuk menyegerakan berbuka. Tapi ya jangan salah, itu hanya untuk membatalkan puasa kita saja, bukan terus membabi buta menyantap semua hidangan yang ada. Apalagi waktu untuk menjalankan ibadah Solat Magrib itu sangat pendek, tidak lebih dari 60 menitan lo.
Bisa juga disiasati membatalkan puasa dulu dengan teh hangat atau semangkuk kolak pisang. Untuk makan besarnya, kita nomer duakan saja dulu setelah solat. Toh bukan hatinya yang kita duakan kok hehe

7.       Kekenyangan Usai berbuka
Menjadi rahasia umum juga, kita kalap saat berbuka. Semua makanan yang ada di meja, kita sikat habis tanpa sisa.
Bisa ditebak, perut kekenyangan. Akibatnya tentu saja jadi males ngapa-ngapain, terutama untuk Solat Tarawih. Ya meski ini adalah solat sunah, namun hanya ada di Bulan Ramadhan, eman-eman kan jika tidak dimanfaatkan apalagi pahalanya akan dilipatkan 1000 kali. Bayangkan jika pahalanya berbentuk 1.000 kali balikan sama mantan, kamu masih mau nolak?

8.       Bersedekah Namun Kurang Ikhlas
Kenapa kurang ikhlas dan bukan pakai kata tidak ikhlas? Saya yakin, semua orang yang sudah niat bersedekah, pasti ikhlas. Hanya kadar ikhlasnya yang mungkin berbeda.
Sedekah yang kurang ikhlas adalah semisal kita memberikan sesuatu namun ala kadarnya, bukan yang terbaik yang kita bisa. Misal kita sodakoh beras, namun dari kualitas yang biasa-biasa saja. Atau memberikan baju untuk berlebaran, namun dari kualitas yang biasa-biasa pula. Jika orang yang menerima sedekah kita saja enggan menggunakannya, mungkin pahalanya juga enggan mampir ke kita karena keikhlasan kita yang juga setengah-setengah.
Kamu gak mau juga kan klo cinta dia juga hanya setengah-setengah ke kita?

9.       Membayar Zakat Fitrah Mepet-Mepet
Untuk menyempurnakan puasa kita, diwajibkan untuk membayar zakat fitrah. Zakat inilah yang akan membersihkan dosa-dosa kecil kita di hadapan Allah. Tujuannya agar sesama yang kurang mampu, ikut merasakan kemenangan usai sebulan penuh berperang melawan hawa napsu.
Nah, waktu terbaik membayar zakat fitrah adalah sesaat sebelum adzan Solat Idul Fitri berkumandang. Lebih baik lagi jika dibayarkan di malam hari menjelang Idul Fitri jadi saat hari kemenangan tiba, fakir miskin dan penerima zakat lainnya (mustahik), bisa bersama-sama Muslim lainnya, menikmati kemenangan.

Nah itu tadi beberapa hal sepele yang mungkin akan mengurangi pahala puasa kita. Kebenaran semata milik Allah, namun ini juga self reminder kok bagi diri pribadi saya. Mungkin juga saya masih sering melakukannya, ya maklum lah...manusia hehe tempat salah dan lupa. Yang penting saling ngingetin ya gaes.

Share:
Read More

Hari Ini, Dua Tahun Yang Lalu

#Hari ini dua tahun yang lalu.

MASIH ingat betul, hari itu Hari Sabtu. Selepas menjemput Athier sekolah TK, kami lanjut berbelanja stick PS baru untuk mengganti yang rusak. Sudah lama Pasha minta diganti stick baru agar aktivitasnya bermain PS tidak terganggu.

Memang semenjak sakit, ia lebih banyak berbaring dan menghabiskan waktu di kamar ber-AC. Jika tidak jenuh, ia bermain Play Station Lego Movie kesukaannya.
Begitu sampai di rumah, segera saya kabarkan kabar gembira kedatangan stick baru ini. Tapi tanggapannya sungguh berbeda. Pasha mengeluh badannya tidak enak, tanpa menyentuh sedikitpun batang ajaib yang tidak lagi dihubungkan dengan kabel untuk memainkannya tersebut.
Beranjak ke keluhan kaki yang kesemutan, bersama istri  kami saling memijit kakinya bergantian. Tapi firasat mbak bojo lebih tajam, ia merasa ada sesuatu yang beda, meski entah apa.
Keluhan gak enak badan yang tak jua reda, memaksaku menyiapkan mobil dan menggendong kakak. Seperti biasa, kami akan ke rumah sakit. Sebuah kebiasaan baru yang selama 2 tahun masa sakitnya, ini adalah standart procedur yang kami terapkan jika Pasha mengalami keluhan...apapun.
Duduk di jok depan, kami berdua di mobil masih berbincang layaknya ayah-anak. Saya sendiri masih santai tanpa berpikir apapun. Toh kami masih bisa berbincang, kecepatan mobilpun berjalan biasa, tanpa ngebut.
Di RS, saya memasukkannya ke bagian rawat jalan, bukan IGD. Saya pikir, kami masih bisa berkomunikasi, Pasha juga memberikan sinyal positif. Tapi setelah pemeriksaan, dokter jaga meminta saya menandatangani agar mbarep saya ini dioper ke IGD. Wah serius nih sepertinya, tapi demi kebaikannya, saya setuju.

#Setahun sebelum hari ini dua tahun yang lalu.
SEPAGI itu saya sudah bangun. Usai Subuhan bersama Pasha karena kebetulan mamahnya sedang flu sehingga memilih pindah kamar bersama Athier, kami sempat berbincang sebentar.

Entah berapa menit setelahnya, saya lihat ia kejang. Saya coba bangunin, namun tak kunjung terjaga. Berlari ke kamar tengah, istri mengatakan jika ini adalah kondisi kejang dan harus segera ditolong. Tak urung ia masukkan jari tangannya ke mulut Pasha agar tidak terjadi gigitan lidah yang dapat berakibat fatal.

Saya sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi. Mengingat beberapa menit sebelumnya, kami masih berjamaah dan berbincang sesaat. Sigap istri menyuruh saya menyiapkan mobil. Badan Pasha sudah menegang. Saya bingung, saya tidak mungkin nyetir dengan menggendongnya, sementara istri tidak mau melihat Pasha dalam kondisi seperti itu.
Sesigap itu, kami meminta sopir tetangga untuk mengantar ke rumah sakit. Saya sendiri menggendong Pasha di jok belakang. Dalam pelukan saya, anak mbarep ini tidak bergerak, kaku. Tidak ada reaksi apapun dari tepukan, teriakan dan tetes air mata yang tidak saya sadari. Swear, baru kali saya menetekan air mata secara otomatis.
Perjalanan ngebut 5 menit ke RS menjadi perjalanan yang sangat panjang. Perlahan saya lihat mulut si sulung bergerak merot ke kanan akibat serangan stroke. Antara kaget dan khawatir luar biasa, saya terus panggil namanya, menepuk pipinya dan berharap ia tidak pergi secepat ini.
Terlintas, ia akan tetap hidup bersama kami, meski dengan kondisi bibir seperti itu. Tapi takdir berkata lain. Gusti yang mengecat warna lombok dan suket teki memutuskan hal yang berbeda. Pasha selamat tak kurang suatu apa dari serangan pertamanya ini. Ia kembali tetap ganteng, meski 15 menit pagi itu, kami merasa sudah kehilangannya.
Maka, tak akan pernah ada hal yang lebih buruk yang menimpa diri saya, demi menyaksikan 15 menit terburuk dalam hidup saya ini. Tak ada, saya sudah melewatinya.

#Sabtu 21 Mei 2016

SABTU, tapi jujur sebenarnya saya lupa tanggalnya. Di tengah perawatan di IGD, kami kembali berkomunikasi. Pasha meminta teh anget. Di tengah hujan yang cukup deras, saya berlari ke warung di seberang rumah sakit.

Alhamdulilah, hampir separuh teh anget itu disedotnya. Sesekali, ia minta tetap dikipasi karena badannya gerah, namun tak ada peluh yang menetes. Di sela itu pula, dokter 'memaksa' saya kembali menandatangani pernyataan bahwa Pasha harus masuk ICU, namun saya menolak dan memilih ruang perawatan High Nursing Depandency (HND) dengan alasan agar kami selalu dapat di sebelahnya, berbincang dan mengambilkan semua kebutuhannya. Tentu saja dengan sepersetujuan mbak bojo (meski setelahnya, saya sangat menyesali keputusan bodoh ini).
Toh selama ini, Pasha dan kami sekeluarga sudah akrab dengan HND dan suster-susternya. Toh sudah dua tahun terakhir ini, ia sering bolak-balik masuk HND. Pernah pula siang hari ia keluar RS, namun malamnya, ia sudah kembali masuk dirawat di HND lagi...
Usai pemasangan infus yang sangat butuh perjuangan, Pasha seolah tak mau anteng. Ia terus bergerak. Tidak nyaman sepertinya. Mungkin karena infus dan selangnya, pikir saya.
Sedikit tegas, saya minta ia untuk tenang. Saya khawatir, jarum infusnya akan terlepas yang justru akan membuat proses penyembuhan semakin lama. Akan semakin panjang pula malam yang akan saya habiskan di rumah sakit menungguinya :(
Pun sepanjang perjalanan ke HND, ia tak bisa tenang. Terus bergerak. Gelisah. Saya masih tak sadar dengan apa yang akan terjadi.
Menyenangkan ketika di dalam HND, ia meminta kembali minum teh yang masih saya bawa. Ah, anak lanang saya memang jagoan. Seperti biasa, ia tak pernah mengeluh. Dua tahun perjuangan yang tak pernah sekalipun kau warnai dengan kata sambat. Sekarang tidurlah, mamahmu sudah siap menggantikan ayah.
"Pulanglah, nanti habis Magrib ke sini lagi. Makan dulu, mandi dan bersiap pakai baju tidur," perintah mbak bojo seperti biasa setiap kami aplusan menjaga Pasha di RS. Apalagi, kini sudah ada Gibran, anak ketiga kami yang masih berusia 3 minggu. Jadi ia tak bisa berlama-lama menunggu Pasha di RS.
Tanpa berpikir apapun, saya menuju warung penyet lengganan di dekat rumah yang hanya berjarak tak lebih 10 menit dari RS. Memesan paha bebek, belum jua duduk dengan sempurna, HP berdering. Di seberang, Erick (pengasuh Pasha) mengatakan si kakak sudah tidak bernafas.

Innalilahi...saya menjerit. Seluruh pengunjung warung mendongak menatap termasuk penjualnya. Sepersekian detik menenangkan diri, saya bilang pesanan saya batalkan sembari berlari. Saya pacu motor dengan pikiran tak karuan. Toh beberapa menit yang lalu, ia masih minta minum, masih saya pamiti untuk aplusan jaga dengan mamahnya.

Di luar ruang HND, mamahnya sudah menangis. Ia bahkan tidak sempat berbincang sedikitpun dengan anak mbarepnya. Kita pikir saat aplusan jaga, ia tertidur.
Dari balik jendela kecil, saya mengintip. Beberapa perawat nampak sibuk memasang beberapa alat yang sangat asing. Istri bercerita, sepeninggal kepergian saya, Pasha gagal nafas sehingga harus dibantu alat pernafasan. Saya bahkan belum solat Magrib...
Dan detik ini menuju jam berikutnya, adalah waktu doa terdalam. Dalam sesenggukan kami berpelukan. Kami masih sempat melihat Pasha digeser ke ruang ICU di seberang HND. Setelahnya, kami tak bisa lagi melongok ke dalam ruangan. Tiga jam yang sangat lama...menunggu semua berakhir.
Dan 21.40 menjadi penanda. Semua upaya sudah dilakukan, hanya Allah yang menggariskan. Kepada-Nya lah kita berasal, kepada-Nya pula kita kembali.
Innalilahi wainalihi rojiun Pasha al Farabi Bagus Damar, merdekalah dari fiokromositoma-mu, bahagialah di surga selayaknya taman surga yang kau gambar kala itu.

... dan hari ini, dua tahun yang lalu.


Share:
Read More
, , , ,

Ronde Jago, Kuliner 3 Generasi Yang Wajib Kamu Kunjungi Jika ke Salatiga

Ronde Jago gusHid
Ronde Jago dengan logo Ayam Jago yang fenomenal

PERNAH makan wedang ronde kan? Pastilah. Nah klo ronde yang satu ini sangat beda, tidak saja dibuat dari sembilan ramuan berbeda, namun juga sudah bertahan sampai tiga generasi.
Dapat ditemui di Jalan Jend Sudirman 9 Salatiga, kamu bisa mendapatkannya dengan ancer-ancer ruko dekat Pos Polisi. Jika memang harus mengantri, bersabarlah. Hanya orang sabar yang aku sayang hehe.
Memang klo lewat di jalan utama di Kota Salatiga ini, akan banyak dijumpai pedagang ronde yang menjajakan minuman hangat ini dengan angkringan. Namun demi Ronde Jago, pastikan semua angkringan ronde yang pernah kamu coba, tidak akan ada apa-apanya.
Jika ronde biasa hanya terdiri isi kuah jahe panas, bola-bola ronde berisi gula kacang, agar-agar, kolang-kaling dan kacang yang digoreng, penyajian Ronde Jago sangat berbeda. Di sini memang masih pakai kacang namun bukan digoreng namun direbus.
Ronde Jago gusHid
Meracik 9 ramuan

Selain itu, sembilan ramuan pelengkap lainnya akan semakin membuat suasana minum kita semakin hot. Bahan lain yang ada di mangkok ronde sekoteng adalah manisan kulit jeruk, sagu delima, manisan tangkweh serta rumput laut yang khusus didatangkan dari Surabaya.
Dan memang karena Salatiga kotanya sejuk cenderung dingin, sangat pas jika menyantap Ronde Jago dalam kondisi panas. Namun jika menghendaki ditambah es, boleh kok, gak dilarang apalagi dituntut pidana hehe
Ronde Jago gusHid
Ronde panas lebih nikmat, yang es juga seger 

Kabarnya, warung di belakang ruko-ruko yang dibangun baru ini, sudah buka sejak 1964. Bahkan jauh sebelum saya lahir lo wewkekwek.
Jadi mungkin demi mempertahankan ke-otentikan-nya, pemilik sengaja tidak memindahkan kedainya meski tertutup ruko-ruko lain di depannya. Meski demikian, jangan ditanya jumlah antriannya.
Pernah saat musim Lebaran, saya harus mengantri sampai kurang lebih 45 menit. Tapi itu sangat worth it dengan semua sajian, kehangatan, original dan keotentikan Ronde Jago yang tidak dapat ditemui di tempat lain.
Jika hari biasa, warungnya buka dari jam 14.00 dan tutup jam 21.00 namun khusus di akhir pekan buka sampai 21.30. Jadi masih bisa sedikit berlama-lama atau setidaknya tidak takut kehabisan stock gaes.
Oh ya, di sini juga ada menu wedang kacang tanah yang juga tidak kalah nikmat. Tapi klo aku sih lebih suka dan selalu milih wedang ronde sekoteng, entah mengapa...mungkin karena susah ke lain hati kali ya.


Sembari menyruput wedang, nikmati pula jajanan pendamping. Tahu bacem, tape ketan, lumpia dan sosis pisang yang biasa aku menyebutnya dengan gethuk pisang. Sayang dikunjungan akhir pekan lalu sebelum menulis ini, tidak bisa kutemui si belahan hati gethuk pisang itu huhu...mungkin ia sudah dipinang lelaki lain :(
Sementara klo laper, ada juga menu tambahan seperti mie kopyok dan batagor. Dan sembari menunggu pesanan datang, menjelajahlah tembok di sekeliling warung yang penuh dengan ucapan sukses dan bukti kehadiran para pesohor negeri ini.
Absensi para pesohor negeri :D
Seiring dengan semakin banyaknya pengunjung, pemilik membuka pula kios di sebelah warung lama agar pengunjung tidak menumpuk menunggu di satu tempat. Selain itu, ada juga di Transmart Telogorejo di Jalan Ahmad Dahlan, jadi warga Semarang tidak perlu jauh-jauh ke Salatiga untuk memburu si Ronde Jago.
OK gaes...silakan berburu Ronde Jago, mau yang di Tlogorejo atau yang asli di Salatiga. Jangan lupa ajak-ajak aku ya klo kesana...bayari san lo ya hehehe cuma Rp12 ribu kok per porsi



Mbak-mbaknya siap membantu semua pesenan gaes

Gelas gelas dari bahan seng yang unik, bekas tempat meracik ramuan wedang rondenya

Share:
Read More
, , , , ,

Sop Buntut Pasar Jatingaleh: Warisan Kuliner Tiga Generasi

Sop Buntut Pasar Jatingaleh
Penampakan Sop Buntut Pasar Jatingaleh yang menggoda iman
SEBAGAI kota dengan usia cukup panjang, Semarang tentu memiliki banyak sejarah. Berbagai peninggalan jaman old, menjadi saksi sejarah panjang perjuangan Semarang menjadi semakin hebat. Salah satunya adalah peninggalan kuliner Sop Buntut di Pasar Jatingaleh yang sudah berjalan 3 generasi.
Ya,  sop buntut ini lahir di era tahun 1950-an. Generasi pertamanya adalah nenek dari yang mengelola warung sekarang ini. Secara turun temurun, warisan resep diturunkan dari generasi ke generasi.
Pak Abdurrahman, generasi kedua yang masih hidup dan kebetulan ditemui di warung mengaku kini warung dikelolanya anaknya. Sejak istrinya meninggal di tahun 2010, resep masakan diberikan kepada anak lelakinya sebagai generasi ketiga.
Mengaku menghabiskan rerata 10-12Kg buntut sapi muda setiap harinya, warungnya dibuka sejak pukul 07.00. Tapi jangan kesini di atas jam 15.00 lo gaes atau kamu hanya akan menemukan sisa-sisa tulang buntut sapinya saja hahaha
Dengan kuah bening, sup ini tidak menggunakan sayur atau potongan wortel dan kentang layaknya sop semarangan. Semua full berisi potongan buntut empuk beserta kuah.
Kuah bening inilah yang memiliki kekuatan besar dalam menstimulir lidah kita untuk kemudian mencecap kelezatan citarasanya lalu mengirim sinyal ke otak yang memberi komando ke mulut lalu bilang...lezzaaaattt. Seiring itu pula, garis komando otak memberi perintah ke ibu jari, untuk mengacungkannya ke atas. Tidak hanya satu, tapi langsung dua.


Sop Buntut Pasar Jatingaleh
Makan bareng bos teman (teman yang tukang mbayar, saya bagian makan)
Tapi kalu soal bumbunya apa saja, jangan ditanya ya gaes. Itu jelas rahasia si empunya. Tapi dari penelisikan saya, jelas kaldu sapi mendominasi lalu merica yang membuat hangat badan.
Cuma kalu masih kurang pedes, bisa minta tambahan gerusan lombok rawit yang warnanya harus hijau. Soalnya kalau pakai rawit setan, rasa nikmat dan segar kuahnya jadi berubah....yak e lo ya, soale selama ini, aku slalu pake rawit ijo owk hahaha
Nah menariknya, buntut muda ini direbus lebih dulu sampai dua atau tiga jam. Cara merebusnya tidak diperkenankan pakai kompor gas atau minyak, harus dengan bara arang. Pasalnya jika menggunakan selain arang, citarasa yang diperoleh akan berbeda. Ini tenin lo gaes (saking tenanannya).
Di saat merebus tulang buntut tadilah, Pak Abdurrahman dan anaknya akan menyiapkan bumbu. Jadi ketika buntutnya sudah empuk, barulah bumbu dan kaldu dimasak berbarengan lagi dengan buntutnya. Ya tapi ya buntutnya sudah dipotongi kecil-kecil lo, tidak disajikan memanjang utuh gitu wkewkekwek
Oh ya satu lagi resep nikmat sop buntut ini. Jadi saat buntut dipotongi dan dicuci, sekalian pula dibersihkan dari lemak yang menempel. Dengan demikian saat dimasak atau disajikan, tidak muncul lemak atau minyak tambahan di kuah yang terlihat 'pating klenthrek'.
Nah kalau tertarik mencoba (dan memang wajib dicoba), datang saja ke Pasar Jatingaleh di bawah underpass. Setelah parkir, cari lorong paling selatan. Ancer-ancer lorongnya dekat dengan WC umum di pojok yang ada gantungan sangkar burung serta penjual makanan burung :D.
Oh ya (lagi), harga per porsi sop buntut lengkap dengan nasi Rp35 ribu ya gaes, itu juga sudah lengkap dengan kenyang dan nikmatnya lo...
Sop Buntut Pasar Jatingaleh
Lorong paling selatan di Pasar Jatingaleh bukan Pasar Zimbabwe lo gaes

Sop Buntut Pasar Jatingaleh
Tampak depan

Sop Buntut Pasar Jatingaleh
Penjualnya malu hihi

Share:
Read More