Mengunjungi Miniatur Masjid Botol






BUKAN persoalan mudah membuat bangunan masjid dari botol bekas air mineral. Meski hanya berbentuk miniatur selebar 3x3 meter, namun tetap saja butuh pengorbanan dan kerja keras.
“Total butuh sekitar 3.500 botol bekas air mineral untuk menyusun masjid, lengkap dengan menara dan kubahnya,” terang General Manager Star Hotel Benk Mintosih kepada Wawasan, Selasa (30/5).
Menurutnya, diperlukan waktu sekitar 1 bulan untuk mempersiapkan pembangunan miniature masjid ini. Mulai dari pengumpulan botol bekas, menyusun kerangka hingga pekerjaan utama menempel dan merangkai botol.
Dan tepat memasuki Bulan Ramadan ini, miniatur masjid berwarna bening dengan semburat warna biru, sudah dapat dinikmati pengunjung di lobi Hotel Star. Beberapa bahkan menyempatkan diri untuk berswafoto di depannya.
“Kami akan selalu menghadirkan program kreatif baru setiap tahunnya di bulan puasa dimana di tahun lalu kami melakukan tadarus 30 juzz bagi para tamu,” tukasnya.
PR Star Hotel Ai Sotya menambahkan bahwa seluruh botol air mineral diperoleh dari hasil limbah yang didapat dari tiap-tiap kamar. Seluruh botol bekas dikumpulkan hingga ribuan jumlahnya.
Itupun, akunya, jumlahnya masih kurang karena masih butuh sekitar 1.500 botol lagi untuk menyusun kubah masjid. Alhasil, pihaknya terpaksa bekerjasama dengan pemulung untuk mengumpulkan botol bekas lainnya.
 “Sayangnya kalau botol dari pemulung, kami harus mencucinya lebih dulu jadi butuh waktu dan proses lebih lama dan harus satu merek agar bentuknya sama,” tuturnya.  
Ditambahkan, saat waktu berbuka puasa tiba, dari dalam miniature masjid juga dikumandangkan adzan magrib secara live. Secara bergantian, karyawan hotel mengumandangkan adzan sebagai taanda waktu berbuka tiba.
Photo: Gholib @devanocturno

Share:
Read More

Kisah Pilu Pengamen Buta di Jalan Sisingamangaraja







MAHFUD namanya. Umur dari pengakuannya adalah 48 tahun dan menderita tuna netra sejak lahir. Saya biasa menemuinya di bawah lampu bangjo ujung Jalan Sisingamangaraja.
Rumahnya di Jalan Singgalang, hanya sejengkal jalan dari rumah saya di Jalan Sinabung. Setiap pagi dan siang, saat berangkat dan pulang mengamen, Mahfud diantar jemput istrinya yang menuntunnya pulang, meski sesekali saya lihat ia berjalan sendiri mengandalkan ‘tongkat saktinya’.
“Sekarang maksimal cuma sampai jam 09.00 mas daripada digaruk Satpol PP dan ketipung saya di sita. Padahal ketipung itu bagus, harganya mahal. Saya beli Rp2,8 juta hasil dari mengamen,” ujarnya pilu saat saya temui mengamen di sudut Warung Ayam Goreng Priangan Jalan Sisingamangaraja, Sabtu (27/5) malam.


Dari tuturnya, ia kapok berurusan dengan aparat penegak Perda Kota Semarang tersebut sehingga menambah jam kerja di malam hari. Satu, karena alasan ketipungnya pernah disita. Dan saat mendatangi kantor Satpol PP, ketipungnya diaku sudah tidak ada.
Tidak hanya sekali, ia mendatangi kantor mereka hingga beberapa kali. Namun jawabannya selalu sama, sudah tidak ada. Mahfud-pun mengalah dengan membeli kembali ketipung namun dengan harga yang lebih murah, Rp480 ribu.
Pun bukan berarti membelinya bukan tanpa perjuangan, keringat dan darah. Harga segitu baginya, tentu sebuah usaha menyisihkan uang makan ia, istri dan anaknya selama beberapa pekan.
Alasan kedua Mahfud tak ingin berurusan dengan Satpol adalah ia pernah digaruk dan dimasukkan Panti Rehabilitasi Among Jiwo, sebuah panti yang dikhususkan bagi gepeng dan anjal (gelandangan, pengemis dan anak jalanan). Sayangnya, ia ditempatkan dalam satu ruangan bersama orang gila.
“Badan saya habis digebuki oleh orang gila itu. Sementara saya tidak bisa melihat. Saat berusaha kabur dan menemukan sebuah pintu, ternyata itu pintu menuju ruangan sebelah. Remuk rasanya digebuki orang gila. Saya kapok tidak mau berurusan dengan Satpol PP lagi,” tuturnya haru.
Tapi bukan Mahfud jika menyerah. Di tengah haru dan pilu getirnya kehidupan, ia menyisakan ruang untuk berkarya. Tiga buah lagu dengan iringan ketipung diciptakannya, setidaknya untuk menghibur dirinya sendiri dan mungkin orang lain yang bersedia mendengarnya.
Balada Lampu Merah adalah karyanya yang diilhami dari kerasnya mencari nafkah di bawah terik dan uluran tangan pengendara yang menunggu lampu hijau tanda jalan. Balada Tuna Netra, sudah bisa ditebak adalah bagaimana sedulur-sedulur kita ini menjalani hidup dalam warna yang semaunya gelap.
Dan Sajadah Malam Panjang berkisah tentang cerita getirnya dipukuli orang gila di Panti Among Jiwa. Sebuah tindakan non manusiawi lainnya dari aparat penegak perda yang lupa untuk tidak mencampurkan orang waras apalagi yang menyandang difabel dengan orang yang kurang waras.
Jauh dari dalam hati, saya ingin mengadukan ini kepada orang nomor satu di Semarang. Ingin saya sampaikan, dimana letak nurani mereka yang sudah menyita alat nafkah orang buta, dimana hati mereka yang menempatkan penyandang netra dengan orang gila dalam satu ruangan yang membuatnya keluar dari panti dengan gelar tambahan, bonyok dan lebam.
Gustiii…seperti inikah keadilan negeri ini? Seperti inikah perilaku mereka yang berkuasa namun hanya berani kepada ‘orang kecil’ bahkan ‘sangat kecil’?
Mahfud dan Mahfud-Mahfud lain mungkin seperti sampah, mengamen di sudut-sudut jalan, mengotori pemandangan, merusak estetika kota. Tapi adakah pilihan yang lebih baik bagi mereka? Setidaknya wahai aparat penegak Perda Kota Semarang, tetap gunakan nurani dalam tupoksimu menjaga ketertiban kota. Manfaatkan logika dan akal sehat yang diberikan Gusti Allah kepada kita yang ‘normal’ ini, dan bukan untuk bertindak di luar batas manusia.
Dan semoga Ramadhan tahun ini, semakin menjadikan kita insan yang lebih baik. Aamiin…


#Ramadhanmenulis
#BaladaMahfud
Share:
Read More

Dugderan dan Tradisi Menjelang Ramadhan



 
Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat bersama garwa (istri)

RIBUAN warga memadati rute prosesi dudgeran dari halaman Balaikota Semarang menuju Masjid Agung Semarang (Masjid Kauman), Kamis (25/5).
Mereka menyemut sepanjang Jalan Pemuda untuk menyaksikan iring-iringan kemeriahan prosesi Dugder yang menjadi penanda tradisi tahunan Kota Semarang menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Dibuka langsung oleh Walikota Hendrar Prihadi yang tambil dengan busana khas Semarangan dan mengambil peran sebagai Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat.
Karnaval sendiri diikuti pasukan marching band PIP, pasukan Muhammadiyah, NU, Kementerian Agama, siswa-siswi SMA/SMK, perguruan tinggi, hotel dan perusahaan, organisasi kepemudaan, komunitas seniman dan kontingen dari 16 kecamatan se-Kota Semarang. Setelah itu, dengan menaiki kereta kencana, Hendi bersama istri diikuti iringan bendi hias yang dinaiki Ketua DPRD Supriyadi dan seluruh pimpinan SKPD.
Rombongan melewati Jalan Pemuda menuju Masjid Kauman Semarang dan berakhir di Jalan Kolonel Sugiyono (sebelah timur Hotel Dibya Puri). Sesampainya di perempatan jalan menuju Masjid Kauman rombongan disambut dengan berbagai kesenian dari Masjid Kauman dan penyandang difabel.
Prosesi utama karnaval dugder dimulai dengan penyerahan suhuf halaqoh dari alim ulama Masjid Kauman kepada Kanjeng Bupati Arya Purbaningrat  untuk dibacakan kepada seluruh warga Kota Semarang. Setelah pembacaan, dilanjutkan dengan pemukulan bedug yang disertai suara meriam yang menjadi asal mula kata Dugderan.
Sebelum meninggalkan prosesi Masjid Kauman, Walikota membagikan roti ganjel rel serta air khataman Al-Quran kepada para pengunjung. Makna dari ganjel rel adalah bahwa manusia menjelang puasa ini harus bisa menata hati, hal-hal yang merasa ngganjel (perbuatan jelek) harus direlakan dan ditinggalkan.
Selain itu, supaya hati bersih maka diberi minuman air bersih yaitu air khataman Al-Quran. Selanjutnya, Walikota beserta rombongan menuju Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) melalui Jalan Kartini dimana sesampainya di Jalan Jolotundo disambut dengan berbagai kesenian dari Kecamatan Semarang Timur, Genuk, Gayamsari, Drumband AMNI serta kesenian lain yang berasal dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan juga MAJT.
Acara utama di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) adalah penyerahan suhuf halaqoh yang dibawa Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat dari Masjid Kauman diserahkan kepada Sekda Prov Jateng Sri Puryono yang bertindak sebagai Raden Mas Tumenggung Probohadikusuma untuk diumumkan kepada seluruh warga Jawa Tengah.
Kepada wartawan, Hendi menyebut tema karnaval Dugder tahun ini adalah “Dugderan Meneguhkan Tekad Meraih Semarang Hebat”. Tema ini mengandung arti agar seluruh warga Kota Semarang menyatukan hati meneguhkan tekad untuk bersama-sama membangun Kota Semarang menuju Semarang Hebat serta masyarakat yang semakin sejahtera.
Adapun eksistensi Dugderan sebagai warisan budaya sejak tahun 1881 selalu berhasil menyedot animo masyarakat tak hanya dari warga Kota Semarang, melainkan hingga wisatawan nasional dan asing. Kegiatan dugderan ini, menurut Walikota juga menunjukkan secara jelas rasa guyub rukun dan kesatuan warga.

 
Salah satu penampilan peserta karnaval Dugderan 2017
Mainan Dugder 
Tidak itu saja, kehadiran Dugderan setiap menjelang puasa juga membawa kenangan bagi warga. Di masa kecil, masih lekat dalam ingatan, bagaimana kami dibelikan mainan warak atau macan dari tanah liat sebagai celengan.
Paling banyak dijual adalah mainan masak-masakan dari gerabah untuk anak-anak cewek. Dan yang paling fenomenal adalah kapal othok-othok yang dipajang di dalam baskom berisi air dimana kapal didisplay berjalan memutari lingkar baskom dengan suaranya yang cempreng…thok thok thookk.
Paling asyik beli mainannya saat para penjual sudah mau pulang kampung atau kami biasa bilang saat boboran. Karena saat itu, semua harga akan dibanting oleh penjualnya bahkan bisa sampai 50% lo. Sekali lagi yang dibanting harganya, bukan mainan gerabahnya lo.

Ini Ramadhanku, mana Ramadhanmu.

#RamadhanMenulis
#RamadhandiSemarang
#Dugder
#Dugderan




Pedagang mainan gerabah yang hanya muncul saat Dugderan di Semarang

Share:
Read More

Loenpia Jazz Pengungkit Kebangkitan Musik Semarang



 
BANYAK orang menganggap jika Kota Semarang selalu tertinggal jika ada even bertaraf nasional. Hampir selalu acara-acara besar, nyaris tidak hinggap di kota ini.
Namun kehadiran Loenpia Jazz yang digawangi anak-anak muda kreatif kota ini, membuktikan anggapan tersebut salah. Terlebih, even jazz terbesar di Semarang ini sudah gelar untuk kali kelima dan setiap kali pagelarannya selalu dibanjiri belasan ribu anak muda.
Dan penampilan Monita Tahalea menjadi pamungkas gelaran Sabtu (20/5) di TBRS. Lagu-lagu jazz-nya yang ringan nampak sangat menghibur di Panggung Raden Saleh.
Tembang miliknya seperti Ingatlah, Kekasih Sejati, Lagu Teman Hidup dan Sebatas Mimpi seolah memunculkan medan magnet yang membuat penggemarnya tak beranjak. Bahkan di lagu Memulai Kembali, ia berhasil mengajak seluruh penonton bernyanyi bersamanya.
Begitu pula penyanyi gaek Andre Hehanusa yang hadir membawa hit lawasnya macam KKEB, Kuta Bali dan Bidadari. Selain itu, Loenpia Jazz 2017 juga diramaikan dengan penampilan Yura Yunita, Ubay, Edwin Putro Trio serta deretan kelompok jazz seperti MLD Jazz Project, Youniverse, Absurdnation, Komunitas Jazz Kemayoran, Komunitas Rompok Bolong Malang, dan Solo Jazz Society.
Menariknya, di gelaran ini tampil pula grup kasidahan asli Semarang Nasida Ria yang sudah sedemikian dikenal lewat lagu-lagunya, seperti Jilbab Putih dan Perdamaian. Bagus Arminanto selaku panitia Loenpia Jazz 2017 menjelaskan pemilihan lokasi even tersebut di TBRS Semarang karena dianggap merepresentasikan dunia kesenian di Kota Semarang.
“Misinya, memang mengembalikan exciting TBRS dengan aktivitas-aktivitas yang menarik. Makanya, kami juga gelar wayang orang dari Ngesti Pandhowo bersamaan even ini,” tukasnya.
Yang jelas, TBRS telah menjadi wadah budaya yang representatif bagi kegiatan berkesenian di Semarang, sebagaimana ikon-ikon budaya yang berada di Solo dan Yogyakarta. Begitu pula penyelenggaraan sebelumnya, Loenpia Jazz juga digelar di Pecinan, Kota Lama dan juga di Maerakaca.
“Dalam setiap penyelenggaraan Loenpia Jazz, kami ingin membuat warga Semarang melek dengan venue yang ada. Makanya, kami pilih venue-venue ikonik,” pungkasnya. Nurul Wakhid
 




Penyanyi jazz cantik Monita Tahalea saat tampil di panggung Raden Saleh dalam gelaran Loenpia Jazz 2017 di TBRS, Sabtu (20/5). Foto: Nurul Wakhid
Share:
Read More