, , , , , , ,

Oudestad: Harmonisasi Kulineri Diantara ‘Gedung-Gedung Tinggi’

Oudestad: makan n nongkrong asyik di depan gedung-gedung tua di Kota Lama

KOTA Lama di sudut utara Semarang sudah menjadi ikon. Tidak saja karena kawasan ini penuh dengan gedung-gedung tua bersejarah yang masuk dalam Bangunan Cagar Budaya (BCB).
Berbekal itu pula, kawasan seluas total 40 hektar itu kini dalam perjalanannya diakui dunia melalui Unesco menjadi World Heritage 2020. Berbagai upaya dilakukan Pemkot Semarang dan Badan Promosi Kawasan Kota Lama (BPK2L) untuk menata, memperbaiki sekaligus mengelola kawasan yang instagramable banget ini.
Sudah sejak lama saya mengidamkan bisa ngopi santai atau makan cemilan bahkan mie ayam di sela naungan gedung-gedung pencakar langit (200 tahun lalu tapi ya). Tidak saja bayangan indah dapat makan enak, namun juga makan di antara kepungan gedung-gedung bersejarah.
Bagi saya pribadi, memajukan meramaikan Kota Lama sebagai destinasi wisata unggulan di Semarang, mutlak adanya. Semutlak aku mencintaimu yang tak bisa lagi diganggu-ganggu hehe
Dan gayung bersambut. BPK2L menggandeng Kadin serta BPR MAA mewujudkan mimpi saya dan mungkin mimpi-mimpi ribuan pengunjung Kota Lama lainnya, dapat berburu kuliner dan menikmatinya di bawah temaram bulan dalam kepungan gedung-gedung bersejarah.
Ketua Kadin Arnaz Agung Andrasamara yang sahabat saya (ngaku-ngaku sahabat haha)

Sayapun merasakan aura kembali ke era VOC. Suasana makan yang temaram, ditunjang dengan obrolan hangat bersama rekan, semakin membuat hati tentram.
Penginnya (saya lagi-lagi membayangkan), hidangan makan di tengah Jalan Sendowo yang disulap jadi kuliner jalanan, dilayani oleh nonik-nonik Belanda. Lalu ada hilir mudik kalangan pribumi atau menir Belanda menuntun sepeda.
Ah memang bayangan saya terlalu muluk, meski bisa saja diwujudkan oleh penyelenggara. Sehingga setidaknya, tidak hanya kata Oudestad saja yang terasa membawa kita ke era Belanda kala itu, namun juga ditunjang dengan tatapan sejarah dua gedung milik PT Phapros dan PT Perkebunan sebagai latarnya.
Gak lagi muncul kesan angker to nda klo kayak gini

Kuliner jalanan sendiri di Semarang bukanlah hal baru. Beberapa tahun sebelumnya hingga saat ini, di Pecinan sudah ada Pasar Semawis di Gang Warung. Bahkan pendahulunya yakni Kya Kya Kembang Jepon, sudah lebih dulu tamat ceritanya.
Dan tentu saja kita semua berharap Oudestad terus berkembang besar. Tidak saja mampu memancing wisatawan dan warga local untuk berdatangan dan memburu kuliner, namun juga demi tujuan yang lebih besar, menuju pengakuan sebagai Kota Warisan Budaya dunia.
Dengan semakin banyaknya atraksi di Kota Lama, kita optimis kok, kawasan ini akan mendapat restu Unesco. Namun tentunya kita semua sebagai warga harus ikut berjuang, setidaknya ikut meramaikan, menambah daya tarik hingga memunculkan event yang unik, kreatif dan inovatif.


Makan di tengah gedung tua, ditambah pemandangan bening nan kreatif, fashion show.

Oudestad tentu saja merupakan oase di tengah tantangan tersebut. Sebuah mata air pencerahan lahirnya destinasi wisata baru untuk memperkuat ikoniknya Kota Lama.
Oudestad tentunya menjadi sebuah kesegaran di antara gedung-gedung tua yang sudah mulai nampak muda dengan perawatan dan sentuhan ‘magis’ keinginan kuat membawa Kota Lama lahir kembali dan menjadi pusat perhatian dunia.
Siapa sih yang gak kepingin melihat Semarang jadi centre of focus, jadi tujuan wisata yang nantinya memiliki efek domino meningkatnya ekonomi warga? Hayo ngacung yang gak pengin (habis ngacung terus mau diapain?)!!

Semoga, semua niatan apik ini mendapat jalan mudah semudah membuka kulit durian demi menikmati legitnya daging buah. Aamiin ...


Share:
Read More
, , , ,

Pasar Papringan dan The Power of Pemberdayaan (Bagian 4 – Famtrip Dinkop UMKM Jateng)


Pengunjung ramai berjubel di bawah rimbunpohon bambu

PERTAMA kali mendengar kehadiran Pasar Papringan, saya merasa jatuh cinta. Padahal baru melihat berbagai makanan tradisional yang diupload di berbagai sosmed oleh teman-teman yang sudah kesana.
Bagi saya pribadi, makanan tradisional sendiri bukanlah hal yang istimewa. Pasalnya, saya juga orang desa yang besar di sebuah desa bernama Kesongo di Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang. Namun meski orang kabupaten, secara de facto, desa saya lebih dekat ke Kota Salatiga sehingga SMP dan SMA saya habis di sini.
Menariknya, desa saya berbatasan langsung dengan Rawa Pening. Jadi komplit ada sawah, bukit hingga perahu dan danau yang dipenuhi oleh eceng gondok.
Karena itulah saya bilang, makanan tradisional bukanlah sesuatu yang istimewa. Latar belakang wong deso saya, masih melekat kuat hingga saat ini.
Tapi demi melihat eksistensi Pasar Papringan, terlebih gambar-gambar yang ditampilkan ada makanan tradisional yang nyaris punah dan sudah susah ditemui dewasa ini, animo saya bangkit. Saya men-declare harus mengunjungi pasar yang konon semuanya ‘dihias’ dengan ornament dari bamboo ini.

Gayung yang bersambut saat mendapat tawaran dari Dinkop UMKM Jateng untuk nge-trip dan salah satu agendanya mengunjungi Pasar Papringan. Antusiasme tak terbendung membuat saya tak mau menunggu jemputan dari tempat parkir di pinggir dan memilih berjalan kaki mendahului rombongan meski jelas tertulis jarak masih terbentang 1,6 Km. Jarak dan berjalan kaki jelas gak ada masalah bagi wong ndeso yang suka ngetrip ini (agak sok-sokan).
Tapi dasar niat baik, baru berjalan 500 meter, ada seorang warga yang menawari saya membonceng sepeda motornya. Dari dirinyalah saya banyak mendengar sisi lain pasar ini yang intinya ada pada kata pemberdayaan.
Jadi, sesuai perkembangan dan animo warga, sebagian warga di luar Dusun Ngadiprono Desa Ngudimulyo Kecamatan kedu Kabupaten Temanggung ini, sudah mulai ‘mencium’ aroma rupiah. Alhasil, mereka juga mulai meminta untuk dilibatkan sebagai pedagang di pasar tiban yang hanya ada pada Pon dan Wage ini sehingga jika dihitung dari kalender Masehi, akan jatuh setiap hari Minggu pada dua pekan sekali.
Namun permintaan tersebut ditolak karena salah satunya space yang masih terbatas. Lebih dari itu, kurasi pada setiap makanan yang dihadirkan sangatlah ketat dimana kuncinya adalah tidak menggunakan bungkus plastik, tidak menggunakan MSG (karena micin kita lemot mikir) serta tentunya harus tradisional dan tidak mudah ditemui di tempat lain.
Mendengar penuturan sekilas itu saja, saya sudah semakin terpesona lalu makin jatuh cinta. Begitu memasuki pos penukaran, tentu saja tidak saya lewatkan untuk mendapatkan mata uang ‘Pring’ serta mulai menyorotkan lensa saya sembari tentu saja memencet shutter-nya hehe.
Tentu saja stan pertama yang saya tuju adalah kuliner, apalagi saya tidak sarapan sejak keluar dari guest house sementara waktu sudah menunjuk pukul 09.31. Mendapati aneka bubur, bubur jangan (sayur) adalah pilihan pertama ditambah dengan gorengan bakwan, lalu lanjut ke penjual makanan lainnya yang tentu saja sudah kuno eh tradisional ala ndeso.
Eh eh…saya tidakmau cerita tentang semua isi stan kuliner di sini, biar kalian saja yang langsung ke sini, jajan semua makanannya dengan koin pring yang eksotis sehingga bisa dijadikan gantungan kunci hihi. Lebih dari semua makanan yang ada, Pasar Papringan sudah menjadi gantungan hidup warga di dusun ini.
Menurut penuturan salah satu pedagang, sehari-hari ia hanyalah petani atau mencari rumput. Dengan berjualan bubur, ia bisa mendapatkan uang Rp800 ribu setiap kali pasar dibuka.
Artinya, kehadiran pasar tematis ini telah mampu mengangkat derajad warga sekaligus nguri-uri melestarikan agar makanan tradisional yang langka, tidak punah. Lebih dari itu, dengan memberdayakan warga yang notabene bukan pedagang, maka pasar ini akan tetap ada sampai kapanpun. Karena jika murni pedagang yang berjualan di sini, ada kemungkinan ia akan hengkang jika suatu ketika pasar mulai sepi dan pindah ke pasar yang lebih ramai.
Namun dengan pemberdayaan warga local, maka pasar akan tetap ramai. Pasalnya warga merasa memiliki pasar ini sehingga tanpa keberadaan Pasar Papringan, mereka tidak akan bisa mendapatkan tambahan uang untuk kehidupan mereka.



 
Ketua Komunitas Mata Air Imam Abdul Rofik (29) menyebut, konsep membuat sebuah pasar di bawah rimbunan vegetasi tanaman bambu ini sebenarnya terinspirasi oleh pasar papringan yang sebelumnya pernah digelar di Dusun Kelingan Desa Caruban Kecamatan Kandangan beberapa waktu lalu.
Diselenggarakan di atas lahan bambu seluas 2.500 meter persegi, pasar ini hanya akan dibuka setiap Minggu Wage dan Pon saja, mulai pukul 6.00 sampai 12.00 WIB. Tak hanya sebagai upaya konservasi alam, terutama vegetasi tanaman bambu, pasar papringan juga ditujukan untuk mengangkat segala kearifan lokal masyarakat sekaligus merangsang pertumbuhan ekonomi warga setempat.
“Dulu tempat ini hanya digunakan warga setempat sebagai lokasi pembuangan sampah. Nah, bermula dari rasa kepedulian, akhirnya kami sepakat untuk menyulapnya menjadi pasar papringan,” jelasnya.
Di dalam pasar ini, lanjut Imam, terdapat 42 lapak dagangan yang dijalankan mayoritas oleh warga di dusun tersebut mulai olahan kuliner khas, hasil pertanian, hingga kerajinan produksi lokal masyarakat.
Jangan lupa tukar rupiahmu dengan Pring

100 meter menuju hatimu eh ...

Bule-pun kalap nemu tape hehe
Share:
Read More
, , ,

'Terjebak' Kenikmatan Kopi Posong (Bagian3 - Famtrip DInkop UMKM Jateng)


Kopi Posong yang 'menjebak' lidah saya untuk jatuh cinta padanya
SEJAK lama, saya adalah Coffeemix minded, bahkan sejak jaman kuliah. Beberapa tester kopi yang saya coba setiap ada kesempatan, belum mampu menggoyahkan iman saya. Paling banter kalau pesan kopi di cafe, hanya berani capucino yang terasa light di lidah karena ada susunya.

Namun demi menjajal Kopi Posong bermerek 2 Heart yang dibudidayakan Pak Tuhar di Desa Tlahab Temanggung, iman saya goyah. Kopinya yang pahit dibingkai tekstur rasa asam sedikit manis di lidah, membuat saya nambah di gelas kedua.

Mengambil pola tanam tumpangsari di sela tanaman tembakau, Tuhar dan rekan-rekannya menyebut cara ini sebagai pola tanam Tlahab. Seperti diketahui, sudah sejak lama Temanggung dikenal sebagai penghasil tembakau berkualitas di Jateng. Namun masa panen yang cukup lama, harus diisi dengan ekstensifikasi salah satunya dengan membudidayakan tanaman kopi ini.

Berada di ketinggian 900 dpl, kopi jenis arabica ini sangat khas rasanya. Pasalnya, pola tanam Tlahab yang dilakukan, mau tidak mau telah mempengaruhi rasa biji kopinya.

Bagi saya, rasanya memang sedikit dekat rasa tembakau. Alhasil, cocok banget jika kopi ini diminum berbarengan dengan acara merokok apalagi saat itu rokok saya adalah kretek seiring dengan radang tenggorokan yang dihasilkan rokok item biru bermerek maraiboros itu.

"Kami berprinsip, petik merah adalah harga mati," tegas Tuhar sembari menghimbau anggotanya untuk tidak sekali-kali memetik biji kopi yang masih berwarna hijau atau kuning demi menjaga kualitas rasa.

Alhasil adalah wajar jika Kopi Posong berhasil menjadi terbaik ketiga di festival kopi nusantara di Jakarta 2014 lalu. Rasanya yang sangat fantastis seolah adalah oase di padang pasir.

Tak heran pula jika produser Filosofi Kopi 2, menyebut Kopi Posong dalam salah satu scene-nya. Sebuah prestasi yang sedemikian menonjol layaknya benjut segede bakpao di jidat.

So tunggu apalagi...jangan tunggu sampai Filosofi Kopi ketiga dirilis lo gaes untuk mencoba kopi juoss ini. Dan harus diakui, sungguh sulit keluar dari 'jebakan' kenikmatan Kopi Posong ini...


Minum kopinya sambil foto-foto di Taman Wisata Alam Posong boleh juga lo gaes


Share:
Read More