, , , ,

Mendoan dan Dendam Masa Lalu



DALAM sebuah proses peliputan, kebetulan banget aku bertemu dengan seorang pembaca kartu tarot. Dan seperti biasanya, namanya wartawan (dan inilah yang aku suka dari profesi ini) selalu diberi kesempatan mencoba dibaca pula nasibnya. Dibaca nasibnya lo ya, catet, bukan diramal. Kalimat itu pula yang berkali kali diucapkan sang pembaca kartu (aku lupa namanya haha, la sudah 10 tahun lebih owk).
Kartupun dikocok. Total akan ada empat kartu yang akan dibaca olehnya, sesuai dengan hasil kocokan yang kulakukan. Tak perlu kuruntut satu persatu ya, tapi simpulannya aku memiliki dendam masa lalu. Ini terkait dengan banyak hal terutama persoalan ekonomi dimana kala itu banyak sarana hidupku yang pas-pasan. Sepatu yang cuma sepasang, tas sekolah yang cuma satu and only, seragam yang hanya dua pasang (dipakai 3 hari). Bahkan pas kelas 3 SMA, celanaku yang sobek hanya ditambal oleh ibuk, bukannya beli baru. Alasannya, sekolah tinggal 6 bulan, tanggung. Jawaban khas emak-emak ya.
Padahal secara ekonomi global, keluargaku tidaklah minim-minim banget. Ayah ibuku dua-duanya PNS. Yang tentu secara otomatis, ekonomi kami cukup terpandang, ya di atas rata-rata dikit lah dibanding tetangga-tetangga di desa yang rata-rata adalah petani atau buruh. Tapi sejak kecil, aku sudah dibiasakan prihatin (yang ini alasan khas ibu-ibu ya).
Saking prihatinnya, saat kuliah di Semarang, aku hanya diberi uang saku sebesar Rp100 ribu per bulan. Itupun sudah termasuk untuk membayar kos Rp35 ribu per bulan. Jadi otomatis, sisa pembayaran koslah yang kugunakan untuk makan dan aktivitas kuliah lainnya. Bisa dibayangkan, bagaimana prihatinnya hidupku saat itu.
Dalam beberapa sesi, aku pernah disuruh membawa beras untuk dimasak sendiri di kos-kosan. Saran khas simbok-simbok inipun kuturuti. Dengan pertimbangan, nanti aku tinggal beli lauk dan sayurnya terpisah, pasti lebih irit. Begitu katanya.

Aku manut. Dan ketika uang saku menipis, aku hanya berani beli 3 buah mendoan goreng di tukang gorengan seharga Rp1.000. Perhitungannya, 1 untuk sarapan, satu untuk makan siang dan sisanya untuk makan malam. Agar agak berasa, aku minta cabe yang banyak kepada mang penjual.
Eit, ini belum selesai. Strategi makan harus diatur agar 1 unit mendoan mampu menopang sepiring penuh nasi. Cara yang kupilih adalah dengan membongkar tempe mendoan, memisahkannya dengan tepungnya dan memakannya secara bertahap. Tempe dulu bersama nasi lalu tepung bersama nasi. Untung saja saat nyeplus Lombok, tidak ada kucing lewat yang nyenggol mendoannya...bisa dibayangkan kan betapa pedasnya hidupku saat itu.

Hampir tiga bulan lamanya aku menerapkan system makan hemat semacam ini. Jadi tidak kaget lagi jika banyak gerai makanan menawarkan paket hemat dan sebagainya. Aku cuma bilang, wes tau.
Di sesi lain di hidupku, saat itu aku sudah bekerja dengan gaji yang sangat pas. Apalagi saat itu, aku harus membiayai sendiri kuliah ekstensiku demi meraih gelar sarjana. Sebelumnya, aku hanya menyelesaikan gelar diploma. Di sebuah jaringan radio ternama, aku mengabdikan diri selama 2 tahun. Jaringan dan nama radionya memang ternama, namun gajinya tidak sebanding dengan namanya, jadi lagi-lagi harus ada pola hemat makan yang kuterapkan termasuk salah satunya menjadi kontraktor (kontrak di kantor agar tidak mbayar uang kos).
Jadi seringnya, aku dan teman-teman kantor yang juga tinggal di kantor (ada 3 orang kala itu), membeli nasi bebek. Tapi ya jangan dibayangkan bebeknya adalah paha atau dada, tapi bagian yang paling istimewa alias paling murah, kepala. Hanya Rp2500 plus nasi, tentu ini menjadi pilihan paling pas untuk berhemat. Apalagi kepala bebek tahu sendiri kan, guede banget dengan lehernya yang jenjang kayak leher Nikita Mirzani. Anehnya, kebiasaan ini masih terbawa sampai sekarang, aku masih lebih suka pesan kepala bebek daripada paha atau dadanya. Mungkin karena inget Nikita kali ya.

Karena ‘pelitnya’ ibukku tadi, dalam beberapa hal aku terpaksa berbohong terutama jika ingin mendapatkan satu barang yang cukup mewah. Yang paling aku ingat adalah aku bohong bahwa aku harus beli kamera agar diterima jadi wartawan magang di Koran kampus. Beruntung bohongku termasuk lihai sehingga Yashica FR II akhirnya bisa kubawa pulang dengan harga Rp1.250.000. Bayangkan saja, uang saku Rp100 ribu aku bisa bohong 12 kali lipatnya, apa gak istimewa tuh hahaha.

Tapi, aku memang dididik untuk prihatin. Sikap ibu (ibuku bercerai dengan ayah biologisku sejak aku kecil, jadi sampai besar aku lebih dekat dengan ibu. Ayah dalam tulisan ini, adalah ayah sambung), banyak memenuhi rongga dan indra penghidupanku sampai saat ini. Didikan keras dalam agama terutama solat dan puasa, menjadi pegangan meski ya masih banyak bolongnya. Namun demikian, dengan bekal kamera dan uang saku mepet tadi, aku mencoba kreatif. Saat itu di kampus selalu penuh dengan kegiatan yang membutuhkan dokumentasi dan keahlianku memotret, tidak banyak saingannya. Jadilah untuk setiap kegiatan, aku patok harga Rp60 ribu per rol tapi minimal harus 2 rol, dan itu selalu masuk dalam anggaran setiap panitia. Jika kegiatan di FISIP, selalu akulah fotografernya. Alhasil dalam sebulan, aku sudah mulai dapat menabung. Tak main-main, aku nabung di bank paling keren di negeri ini, itu bank yang awalnya huruf N dan hanya 3 huruf dengan logo biru.
Padahal tuh bank, potongan en pajeknya luar biasa mahal. Jumlah setoran dan bunga, kayaknya tidak pernah seimbang. Alhasil tabunganku tidak berkembang, malah menipis. Ibupun mengeluh jika harus transfer uang Rp100 ribu tadi di bank ini, antreannya naudzubillah katanya, gak cucuk sama tenaganya.
Pernah pula saat setor, aku sudah masuk dengan gagah karena merasa sebagai mahasiswa, sudah mampu setor bank dari hasil keringat sendiri. Sialnya, engkoh-engkoh di depanku ini, duitnya setumpuk. Total hamper 20 menit untuk menghitung uangnya. Dan saat giliranku tiba, gak butuh 2 menit, rampung sudah. Silakan yang dibelakang, kata mbak teller mempersilakan antrian belakangku. Duh...
***
Kembali ke pembaca kartu tarot tadi, di akhir kartu atau kartu keempat, nampak gambar seorang wanita seperti memegang tongkat duduk bersila. Menurutnya, ini adalah wanita penyelamat hidupku dari dendam masa lalu terutama tentang keuanganku.
Wanita ini bisa jadi ibuku, istri, pacar, selingkuhan, budhe, bulik, tante atau siapapun tapi yang jelas berjenis kelamin perempuan. Ia sendiri tidak bisa bilang, siapa wanita itu. Tapi jika memang aku ingin selamat dunia akherat terutama agar keuanganku membaik, aku harus mendengarkan wanita ini karena dia adalah juru selamat keuangan dan hidup. Tapi kok agak-agak mirip dengan akuntan ya...muga-muga sih bukan akuntan khusus ngitungin berapa jumlah kedelai dalam satu mendoan. 


  

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar