, , , , , ,

Luluh Dalam Dekap Kota Poros Tengahnya Jawa

JALANAN Kota Pekalongan siang itu cukup terik. Jarum pendek yang melintas di angka 1, menjadi penahan langkah untuk menyusur setiap jalan. Namun kenangan akanmu, tak cukup kuat menahanku untuk tidak melangkah, menapak seluruh jejak yang pernah kita toreh bersama, di sini...di Lapangan Jetayu ini.
Ingatkah kau saat pertama membawaku ke kotamu? Kau gandeng tanganku sejak sampai di halaman stasiun hingga kita naik motor berdua lalu mengitari lapangan di depan Museum Batik ini. Saat itu usai parkir, setengah berlari ke sisi selatan kau ajak aku melangkahi kotak-kotak lebar trotoar.
“Lihat,” sergahmu seraya menarikku, “Itu tugu Nol Kilometer. Ini penanda poros tengahnya Pulau Jawa lo, dibangun oleh Daendels saat ia membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan di tahun 1808.”
Tak peduli denganku yang masih terbengong, ocehanmu terus berlanjut. Bertulis MYLPALL, tugu setinggi paha orang dewasa ini juga merupakan penanda pembangunan jalan raya pos (Grote pos Weeg). Bahwa tugu ini pulalah yang menjadi titik tengah jalan sepanjang kurang lebih 1.100 Km itu. Jakarta membentang sejauh 400 Km ke barat dan Surabaya 420 Km ke arah timur, logis kupikir penjelasanmu.
Seiring itu pula, mimik wajahmu berubah. Ada rona duka di balik tatapmu. Lalu kau berkata tentang kesedihan, tentang bagaimana anak-anak muda di zaman ini yang abai akan sejarah besar masa lampau, tentang Pekalongan yang pernah jaya di kala itu. Tak kusangka, ternyata kau memiliki pemikiran yang mendalam. Aku tak salah memilih, gumamku.
Belum selesai kekagetanku dengan perubahan sikapmu, tanganku kembali kau gaet. Kembali menyusur kotak-kotak lebar ini, kali ini kau gandeng aku ke arah barat, menyeberang jalan menjumpai sebuah gedung kuno berwarna putih dengan garis orange yang dominan.
“Ini adalah Gedung Kantor Pos Kota Pekalongan yang dibangun tahun 1920. Ini dibangun untuk menggantikan jalur pos dimana kala itu pengiriman pos dilakukan dengan naik kuda dari Jakarta lalu berganti kuda di sini sebelum ke Semarang. Itu sejak tahun 1746,” tuturmu menerawang.
Kutebak, kau sedang membayangkan banyak kuda dikawal sepasukan VOC yang mengirim barang atau surat. Entahlah.
Belum sempat kulanjutkan lamunanku, kembali kau seret lembut tangan kiriku. Permintaanku untuk memotret bahkan belum kau penuhi. Tergesa kau ajak aku meninggalkan halaman Kantor Pos menuju ke utara. Tanpa berkata, kau terus merangsekku untuk menghentikan langkah di depan bangunan kuno bertulis Batik TV.
Sekilas kulirik matamu. Ada sesuatu yang tak bisa kutangkap. Sebuah luka atau duka, namun tak kau lukis dengan indah, hanya sekilas aku membacanya, itupun tidak tuntas karena kau keburu berkata-kata.
“Dulu gedung ini digunakan sebagai kantor yayasan pendidikan MULO (setingkat SMP) di masa pemerintahan Belanda. Usai kemerdekaan, sempat pula dijadikan kantor beberapa dinas milik pemerintah dan sekarang jadi kantor dan studionya Batik TV,” kalimatmu terasa semakin datar, namun lagi-lagi tak dapat kutangkap apa yang kau sembunyikan.
“Lihat sebelah utaranya!” tukasmu. “Yang sekarang jadi GOR Jetayu itu dulunya tempat berkumpul kaum Freemansonry di Pekalongan. Lalu berubah menjadi Societet usai Indonesia merdeka.”
Lagi-lagi aku tak mampu mencerna kalimatmu. Anganku terlalu sibuk dengan Freemansonry yang menurutku keren banget, Kota Pekalongan yang sebesar ini telah memiliki pengikut organisasi sekuler, bahkan di kota yang dalam pahamku adalah kota berbasis muslim.
Tak jua tuntas pemikiranku, tiba-tiba kau gamit lenganku. Warna kulit di bawah lengan baju yang belang hitam putih, tersibak pelan. Sedikit malu, kuturunkan lengan bajuku, tapi kamu tak mau tau. Tetap kau pegang erat lengan lalu sedikit menyenderkan kepala, kau mengajakku berjalan ke arah timur. “Kita akan ngobrol di pabrik limun,” bisikmu mengetahui keraguanku.
Namun kau tetap tak berkata-kata. Hanya genggaman tangan di lenganku dan bahasa tubuh yang kurasakan ada sesuatu yang kau tutupi. Entah apa, aku tak jua dapat menerka.
Dan ketika memasuki tempat yang kau bilang pabrik limun, tapi bagiku lebih mirip old vintage cafe, kau segera memesan minuman berwarna-warni di dalam botol itu. “Mau rasa apa?”
Kujawab apa saja. Bagiku, gak penting rasa minuman itu selama ada dirimu bersamaku, bisikku dalam hati. Entah kau mengetahuinya atau tidak.
Masih dengan mata yang syahdu, kau kembali berceloteh usai minuman dingin terhidang. Di kursi tua beralas rotan itu, kau kisahkan tentang Limun Oriental yang sudah dibuat sejak 1920 oleh keluarga Nyoo Giok Lien.
Kuberanikan diri menatap lekat dua matamu, ingin kubaca apa sebenarnya yang kau rasa. Tapi kau buru-buru berpaling seraya melanjutkan, “Mereknya Tjap Nyonya Shiluette, ada tujuh rasa berbeda.” Ah, kau benar-benar cantik dengan mata binarmu. Mata yang membuatku bahagia dan menggerakkan seluruh sendi untuk mencarimu di kota ini. Tapi itu tak lama, kau hindari tatapku, lalu kembali melamun jauh.
Sekejap itu pula, kau raih telfon genggammu, melihat jam atau mungkin ada pesan yang masuk. “Aku harus pergi sekarang juga. Maaf aku tak bisa mengantarmu. Hati-hati di jalan.” Aku terlongo. Janji untuk ngobrol di sini, tak lebih dari tukar tatap mata, tak lebih.
Hanya kalimat itu yang terakhir kuingat di ujung perjumpaan kita. Kembali kuingat kala aku sudah duduk sendiri di pabrik limun ini, usai menapak seluruh tilas perjalanan kita berdua waktu itu. Kubayangkan kau duduk di depanku, bercerita tentang kotamu, tentang kita atau tentang Indonesia yang ingin kita jelajah bersama.
Tapi semua berbeda. Pesan yang masuk di telfon genggamku sesaat sebelum masuk ke kereta yang akan mengantarku pulang usai kebersamaan terakhir kita, menyudahi semua cita yang kita rangkai berdua. Pesan yang singkat, sesingkat bahagiaku bersamamu.
“Maaf, aku tak bisa meneruskan ini semua. Terima kasih atas selama ini. Kamu lebih bahagia tanpaku.
Dariku...Non.” 
...dan kini ketika aku kembali ke kotamu, samar terdengar lantun Segenap hatiku luluh lantak, Mengiringi dukaku yang kehilanganmu, Sungguh ku tak mampu tuk meredam kepedihan hatiku Untuk merelakan kepergianmu.
Langkahkupun semakin gontai, lunglai. Aku tak sanggup menyusur semua kenangan akan kotamu sendirian...aku luluh.
Ceria anak-anak bermain bola, tak mampu usir hati yang luluh :D




Share:

13 komentar:

  1. Jangan sedih to, dateng ke Pekalongan tu gaboleh sedih wkwkw eh akhirnya nyetok limun oriental dan ngrasain nyantai di kedai sederhananya ya mas. Berkesempatan ngliat proses pembuatam di pabriknya gak mas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya ini kan hanya gaya bercerita, bs dibuat sedih or hepi.
      Kbtln pas sdh kelar produksinya owk...syem

      Hapus
    2. Gita. Aku mbok diajak muter kyak yg mas wahid critain hahah

      Hapus
  2. Balasan
    1. Knapa dgn pekalongan?
      Knapa mendesah?
      😂😂

      Hapus
  3. Lanjutkan cara menulis kek gini mas... aku suka deh berasa baca novel hehe lumayan kan bisa sekaligus curcol #eh

    BalasHapus
  4. Mantep iki, novel tenan mas, suk tak melu2 ahh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ojo..abott tur blereng. Ben aku wae wekwekwekwe

      Hapus
  5. Usually, I never comment on blogs but your article is so convincing that I never stop myself to say something about it. You’re doing a great job Man. Best article I have ever read

    Keep it up!

    BalasHapus