, ,

Surat Terbuka untuk Menteri Pendidikan: Kami Menemukan Sekolah yang Memerdekakan Proses Belajar


Surat Terbuka untuk Menteri Pendidikan


Bapak Nadiem Makariem
di Tempat

Sebelumnya, perkenalkan nama saya gus Wahid. Saya yakin Bapak tidak tahu atau kenal saya karena memang kita belum kenalan. Meski sehari-hari saya bekerja sebagai wartawan, tentu tidak semua wartawan bapak kenal, apalagi saya tinggal di Semarang.
Dan memanglah tidak penting siapa saya, bagaimana keseharian saya, bagaimana saya menjalani hidup atau kebiasaan saya yang malas mandi klo hari sudah sore. Tidak penting Bapak.
Yang jelas, saat ini saya bersama istri dan anak saya sedang mengikuti kelas observasi di PKBM Maha Karya Gangga (MKG) di Singaraja, Bali. Di sini, selama 2 pekan, saya dan 24 orangtua lainnya mengikutsertakan anak-anaknya untuk belajar bagaimana membangun karakter dan attitude anak-anak.
Sepanjang itu, kami disatukan dalam ‘penantian’ menunggu anak pulang sekolah. Di sela itu, kami berbincang, berdiskusi tapi bukan di ruang AC seperti anggota dewan yang melakukannya sembari terkantuk namun tetap dapat honor rapat utuh.
Kami berdikusi di selasar, di ruang tunggu, lesehan di taman rindang atau yang lebih mantab laksana orang rapat adalah di joglo yang cukup lebar. Dan demi melihat proses, sejarah dan juga eksistensi sekolah yang diinisiasi Ayah Edy ini, kami bersepakat bahwa di sekolah ini tidak hanya anak yang belajar, namun orang tua juga.
Ini selaras dengan pemberitahuan besar di dekat gerbang masuk, bahwa orang tua yang sudah melangkah masuk, berarti sudah siap bekerjasama. Bahwa pendidikan anak bukan semata tanggungjawab guru dan sekolah namun juga orang tua.
Lihat bagaimana anak-anak berdisiplin melepas sepatu dan sandal mereka di rak sebelum masuk ruangan. Rapi berjajar seperti antrean orang ambil pensiunan.
Lalu bagaimana mereka mengeksplorasi diri mereka sendiri demi menemukan bakat terbaik. Kembali bermain lalu mengembalikan bahan mainan mereka ke rak, rapi swear. Bahkan kami orang tua, harus berkaca pada mereka.
Dan bahwa mendidik anak haruslah dimulai dari orang tua, adalah nyata adanya. Bahwa keinginan melihat anak berubah menjadi lebih baik tanpa dimulai perubahan dari orang tuanya adalah naif, kami baru percaya.
Bahwa guru-guru dibebaskan berkreasi membentuk kurikulum sendiri. Lalu sembari menemukan bakat anak-anak yang nanti akan difokuskan bagaimana pola mendidik anak tersebut untuk kemudian juga berkreasi mewujudkan minat dan bakatnya.
Bukan sekedar dibebani dengan tugas bernama PeeR. Lalu dibuat peringkat bertajuk ranking di akhir masa menjelang penerimaan rapor.
Kisah bagaimana guru-guru di MKG menemukan kurikulum baru, sangat menginpsirasi. Cerita bagaimana seorang siswa meminum sabun pencuci tangan yang beraroma strawberry karena dipikirnya itu adalah jus stroberi, membuat guru semakin kreatif lalu berinovasi.
Sehari kemudian, lahirlah kurikulum bagaimana membuat sabun pencuci tangan. Atau bagaimana MKG menemukan bakat dan minat siswanya melalui banyak percobaan, sehingga lahirlah engineer, scientist, artist atau bahkan berminat menjadi pialang lelang.


Bapak Menteri…
Bahwa di sini, di Singaraja ini kami menemukan hakekat menjadi orang tua. Bahwa ternyata, pola mendidik anak kami selama ini, 90% berasal dari turunan orangtua kami yang juga 90%-nya turunan dari orang tua orang tuanya kami. Begitu terus turun temurun.
Di bawah bimbingan Ayah Edy pula kami bersepakat memutus rantai pendidikan turun temurun tersebut. Kami bertekad menciptakan pola hubungan orang tua anak yang lebih dinamis, tanpa tekanan, tiada pola sebagai ordinat dan sub ordinat meski tentunya di beberapa hal memang tetap harus ada batasan antara anak dan ortu, kami sepakat itu.
Mas Nadiem…kalau boleh saya panggil demikian karena sekiranya usia kita tidak jauh berbeda.
Kami, setidaknya saya sendiri, berandai-andai jika sekolah semacam inilah yang akan didapatkan banyak anak-anak Indonesia di masa sekarang dan mendatang. Sekolah dengan pembebasan kurikulum, sekolah yang benar-benar bertanggungjawab luar dan dalam terhadap anak didiknya, sekolah yang menjalin komunikasi intens tidak hanya saat penerimaan rapor dan juga sekolah yang tidak membebani siswanya dengan kewajiban seragam, upacara, hingga PeeR.
Sekolah yang membebaskan. Sekolah yang memberikan batas kreativitas hingga ke langit ke tujuh belas tanpa embel-embel tugas.
Sekolah yang memacu kreativitas, mempertemukan mereka dengan bakat dan mengawinkannya bersama minat. Lalu mengolahnya menjadi kerja dan karsa yang akan menjadi bekal kehidupan mereka kelak.

Mas Nadiem,
Tidak perlu jauh-jauh belajar ke Jepang untuk menemukan model sekolah karakter yang tepat untuk anak-anak Indonesia. Cukup ke Singaraja mas.
Cobalah searching Maha Karya Gangga, tapi ah kalau soal teknologi semacam ini, jenengan pasti sudah sangat paham karena maklum pemilik start up ternama negeri ini. Jadi saya tidak perlu berpromosi dan karena memang saya tidak sedang berpromosi.
Apa yang Mas Nadiem sampaikan dalam pidato yang begitu viral membahana kala Hari Guru Nasional beberapa waktu lalu, bahkan sudah dipraktikkan di MKG sejak 4 tahun lalu. Bahwa apa yang Mas idamkan, sudah terwujud di sini, di sebuah sekolah kecil dengan siswa harian yang benar-benar bisa dihitung dengan jari.
Swear, bisa dihitung dengan jari kita yang berjumlah 10 ini. Siswanya hanya ada 8 dan itupun terbagi dalam berbagai kelas, bukan per kelas jumlahnya 8 siswa lo, bukan. Tapi kelas 1-6, total anak didiknya memang hanya 8 itupun pernah ada sejarah ada 1 siswa dikeluarkan karena orang tuanya sulit untuk diajak bekerjasama mendidik.
Miris memang mengetahui begitu sedikit orang tua yang benar-benar mau berubah demi melihat kecemerlangan anak-anak mereka di masa mendatang. Tapi saya memaklumi karena memang belum banyak sekolah semacam ini, wajar kalau mereka belum mengetahui bahwa ada sekolah yang memerdekan belajar siswanya.
Jikalau sudah tahu, pastilah mereka berbondong-bondong ke sini atau memasukkan anaknya di model sekolah serupa. Tapi ya itu, sekolahnya baru hanya satu, di Singaraja ini.
Jadi mari kita bayangkan jika ada ribuan bahkan jutaan sekolah berbasis karakter seperti yang diinisiasi Ayah Edy ini terdapat di berbagai sudut negeri Indonesia. Niscaya, generasi emas yang usianya sudah matang produktif kala nanti, sudah terbekali dengan karakter dan kemampuan diri mumpuni
Tinggal nantinya mereka dipilihkan perguruan tinggi yang paling tepat menampung minat, bakat dan kemampuan terbaik mereka yang telah sangat terasah sebelumnya. Kita tinggal menyalurkannya ke jalur yang tepat.
Iya sih generasi sekarangpun sudah sangat berbakat meski ‘mungkin’ pola pendidikannya belum seperti ini. Tapi mari bayangkan, jika hasilnya sekarang saja ini sudah sangat baik lalu jika dipadukan dengan pola pendidikan yang lebih baik seperti yang Ayah Edy idamkan -dan sekarang sudah terwujud di MKG-, pasti hasilnya akan lebih dan lebih baik lagi.

Mas Nadiem yang juga Menteri Pendidikan (maaf saya tidak komplit menyebutnya bersama Kebudayaan),
Bahwa jenengan tidak memiliki banyak waktu, paling banter 5 tahun untuk menjabat jabatan tersebut, kita semua tahu. Namun angin perubahan yang ingin jenengan bawa, sudah sangat diidamkan jutaan rakyat Indonesia.
Jikapun nanti usai periode Presiden Jokowi -yang juga idola saya- habis, dan jenengan sudah tidak lagi menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, setidaknya sudah ada ‘peninggalan’ jejak positif bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berikutnya. Jika memang sudah bagus, niscaya menteri berikutnya tidak akan berani mengotak-atik karena masyarakat sudah sangat paham pola pendidikan yang sebenar-benarnya.
Terakhir Mas Nadiem, semoga jenengan sehat selalu agar dapat selalu memikirkan pola pendidikan terbaik di negeri ini. Agar para siswa tidak sekedar lulus sekolah lalu mencari pekerjaan, namun juga kreatif seperti pendiri sekaligus CEO Gojek Nadiem Anwar Makarim itu.
Dan untuk Ayah Edy yang saat ini tengah dalam proses penyembuhan penyakit diabetes, semoga jenengan diberi kekuatan untuk sembuh dan sehat serta terus memberikan pendidikan semacam ini. Kami butuh bimbingan panjenengan untuk dapat menemukan bakat dan minat terbaik anak, kami juga butuh bimbingan agar dapat menjadi orang tua yang semakin baik untuk anak-anak kami.

Salam sehat dan positif dari saya yang sedang belajar jadi orang tua
Gus Wahid

Share:

3 komentar:

  1. Keren Mas tulisannya, moga kedengaran sama Pak Menteri😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. matur suwun terima kasih...virus positif harus disebarkan, jika memang baik, kenapa tidak sistem pendidikan negara kita mengadopsi dr Maha Karya Gangga.

      Hapus
  2. Terima kasih Guswah atas tulisan suratnya. Saya juga sangat mendukung agar dibuat sekolah semacam MKG minimal di setiap propinsi di Indonesia. Apalagi kalau bisa disubsidi pemerintah seperti sekolah umum yang ada. Alangkah hebatnya anak-anak Indonesia nantinya. Semoga Tuhan memberkati kita semua. Swaha.

    BalasHapus