Bola, Derita dan Kamu...

07.30 Ketika bangun dan aku menemukan kesusahan menggerakkan sendi-sendi di punggung bagian kanan dan kiri...

Bermain sepak bola adalah impian lama. Meski selama ini aku sudah bermain futsal, namun menaklukkan lawan di lapangan hijau berukuran max 120x90 meter, menjadi mimpi.
Dan awal Januari lalu, semuanya terwujud ketika Persatuan Wartawan Olahraga (SIWO) PWI Jateng melakukan seleksi untuk tim sepakbola yang akan diberangkat ke Porwanas 2016 di Bandung. Mengusung kekuatan teman-teman yang bisa bermain bola ditunjang dengan pelatih kenamaan Sartono Anwar, mulailah kita berlatih.
Sesuai passion, aku memilih posisi bertahan. Bukan tanpa alasan karena memang aku hanya menyeesuaikan dengan nafas Marlboro Ice Blast yang tak seberapa. Posisi ini kunilai lebih tidak banyak berlari sehingga lebih memungkinkanku menjaga daerah dengan fokus, aman, terkendali layaknya menjaga stabilitas nasional.
Bencana mulai muncul ketika sebagian rekan tim tidak lolos Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang menjadi salah satu syarat mutlak mengikuti Porwanas. Dua kiper tim dinyatakan tidak lolos.
Manajemen tim pun mulai membidik siapa-siapa yang pernah punya sejarah menjadi kiper dan memiliki legal formal layaknya Kartu Pers, Kartu PWI dan UKW. Namaku disebut...
Pun dengan semangat aku ikuti saran mereka menjadi tenaga kiper cadangan. Tapi bencana yang lebih besar menanti.
Latihan menjadi kiper tidak semudah latihan menjadi defender, pemain sayap atau penyerang. Jika tiga posisi ini lebih mengandalkan lari dan skill individu, tidak demikian dengan kiper.
Sebagai palang terakhir di bawah mistar, sosok kiper sangat vital. Ia tidak saja harus bisa sprint, namun juga melompat, menubruk bahkan mendekap erat. Untuk urusan mendekap, jangan disangsikan deh, mungkin saya jagonya...tapi untuk skill lainnya tersebut, ampun juuuuuuuuuuu...
Terbukti, dari latihan pertama, kepalaku sudah nggliyeng tak karuan. Latihan melompat menangkap bola, ternyata sangat berat. Belum lagi jika harus menjatuhkan diri agar bola aman.
Dan latihan kedua kemarin Minggu, menjadi yang super berat. Terlebih Minggu pagi aku mencoba peruntungan dengan mengikuti TC futsal untuk kepentingan Porwanas pula. Alhasil, langkah menjadi berat karena paha sudah dipaksa berlari sejak pagi.
Lebih-lebih, Agus kiper yang biasanya berangkat latihan, saat itu tidak datang sehingga aku sendirian berlatih di bawah mistar.

Bencana semakin terjadi...

Dari total waktu 24 menit latihan kata Pak Dadan pelatih kiperku, efektif hanya 15 menit waktu yang kumanfaatkan. Selebihnya, lebih banyak istirahat, ngos ngosan dan sharing tentang posisi ini. Maklum, terakhir ia adalah pelatih kiper tim bola dari Cilacap. PSCS klo gak salah namanya.

Bencana belum berakhir

Pagi ini, semua bencana tersebut di atas mulai kurasakan dampaknya. Badan njarem di seluruh sendi terutama yang berhubungan dengan otot lengan, kurasakan. Bahkan untuk ngolet saja, sakitnya bukan main. Bukan...bukan karena aku gak pernah olahraga tapi lebih karena materi latihan yang berbeda selama ini. Jika selama menjadi pemain bola n futsal lebih banyak menggunakan otot kaki dan paha untuk berlari, kini akau harus menggabungkannya dengan otot lengan, punggung dan cengkeraman erat.
Dan dalam beberapa hari mendatang, 'derita' ini akan kutanggung sendiri.

Ah seandainya bola itu adalah kamu, tentu aku sudah lebih semangat latihannya, nangkapnya, memeluknya terutama mengamankanmu dari serbuan lawan.
Share:

2 komentar:

  1. klo sepakbola harusnya dari sma dulu belajar dari aku broooo...

    BalasHapus
  2. Iyo, nyesel aku ra bal balan ket biyen Roed

    BalasHapus