KOTA
Semarang memang kaya dengan budaya akulturasi. Budaya peranakan ini bahkan
sudah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat, melebur dalam keseharian. Salah satunya adalah teng-tengan.
Selain
ikon warak ngendog, makanan lumpia ternyata masih ada satu lagi warisan budaya
hasil akulturasi. Namanya adalah lampion teng tengan yang mungkin sudah banyak
dilupakan warga.
Menurut
perajina teng-tengan Junarso dari Purwosari Perbalan, lampion ini hanya
diproduksi saat Bulan Ramadan. Awalnya lahir sekitar tahun 1942 yang digunakan
warga setempat untuk menuju tempat solat.
“Pada
saat itu wilayah Purwosari sangat gelap sehingga warga yang akan ke musola harus
membawa obor. Lalu agar anak-anak senang ke masjid atau musala, maka dibuatkan
obor yang bisa untuk mainan dan jadilah tengtengan ini,” terangnya.
Tentengan
sendiri bukan lampion seperti kebanyakan karena ia memiliki karakter khusus
yakni munculnya gambar-gambar dari balik nyala obor. Terbuat dari kerangka
bambu bersegi empat atau delapan, pada bagian dalam akan ditempel potongan
kertas berbagai motif seperti ikon kota, binatang hingga pesawat terbang.
Menariknya,
jika lilin yang berada di bagian tengah dinyalakan, udara panas akan memutar
bagian dalam itu, sehingga potongan kertas berbagai bentuk itu berputar dan
memberi bayangan pada sisi luar. Karenanya, lampion model tengtengan sangat
akrab di hati anak-anak terutama yang lahir pada tahun 1980-an.
“Harganya
hanya Rp15 ribu dimana dalam satu hari saya mampu membuat sekitar 100 buah atau
sesuai pesanan. Sudah cukup jarang sekarang yang memesan tengtengan ini,” tukas
Junarso.
Akulturasi
Budaya
Budayawan
Semarang Djawahir Muhammad menyebut bahwa tengtengan merupakan hasil akulturasi
budaya. Di sana ada budaya Arab, Jawa dan China dari sisi lampionnya.
Lampion
ini sendiri sering disebut sebagai dammar kurung atau dian kurung (lampu yang
dikurung kertas minyak) dimana nama tengtengan bisa merujuk pada dua hal.
Pertama, karena lampion Semarang
itu dibawa dengan ditenteng sehingga lama-lama pengucapan berubah menjadi
tengtengan
“Kedua, nama tengtengan merujuk pada kosa kata
ting yang berarti lampu dan sampai sekarang masih dilestarikan di Solo. Karena
berbeda maka disebut ting-tingan atau ting mainan. Lama-lama berubah menjadi
tengtengan,” ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar