, ,

Surat Terbuka untuk Menteri Pendidikan: Kami Menemukan Sekolah yang Memerdekakan Proses Belajar


Surat Terbuka untuk Menteri Pendidikan


Bapak Nadiem Makariem
di Tempat

Sebelumnya, perkenalkan nama saya gus Wahid. Saya yakin Bapak tidak tahu atau kenal saya karena memang kita belum kenalan. Meski sehari-hari saya bekerja sebagai wartawan, tentu tidak semua wartawan bapak kenal, apalagi saya tinggal di Semarang.
Dan memanglah tidak penting siapa saya, bagaimana keseharian saya, bagaimana saya menjalani hidup atau kebiasaan saya yang malas mandi klo hari sudah sore. Tidak penting Bapak.
Yang jelas, saat ini saya bersama istri dan anak saya sedang mengikuti kelas observasi di PKBM Maha Karya Gangga (MKG) di Singaraja, Bali. Di sini, selama 2 pekan, saya dan 24 orangtua lainnya mengikutsertakan anak-anaknya untuk belajar bagaimana membangun karakter dan attitude anak-anak.
Sepanjang itu, kami disatukan dalam ‘penantian’ menunggu anak pulang sekolah. Di sela itu, kami berbincang, berdiskusi tapi bukan di ruang AC seperti anggota dewan yang melakukannya sembari terkantuk namun tetap dapat honor rapat utuh.
Kami berdikusi di selasar, di ruang tunggu, lesehan di taman rindang atau yang lebih mantab laksana orang rapat adalah di joglo yang cukup lebar. Dan demi melihat proses, sejarah dan juga eksistensi sekolah yang diinisiasi Ayah Edy ini, kami bersepakat bahwa di sekolah ini tidak hanya anak yang belajar, namun orang tua juga.
Ini selaras dengan pemberitahuan besar di dekat gerbang masuk, bahwa orang tua yang sudah melangkah masuk, berarti sudah siap bekerjasama. Bahwa pendidikan anak bukan semata tanggungjawab guru dan sekolah namun juga orang tua.
Lihat bagaimana anak-anak berdisiplin melepas sepatu dan sandal mereka di rak sebelum masuk ruangan. Rapi berjajar seperti antrean orang ambil pensiunan.
Lalu bagaimana mereka mengeksplorasi diri mereka sendiri demi menemukan bakat terbaik. Kembali bermain lalu mengembalikan bahan mainan mereka ke rak, rapi swear. Bahkan kami orang tua, harus berkaca pada mereka.
Dan bahwa mendidik anak haruslah dimulai dari orang tua, adalah nyata adanya. Bahwa keinginan melihat anak berubah menjadi lebih baik tanpa dimulai perubahan dari orang tuanya adalah naif, kami baru percaya.
Bahwa guru-guru dibebaskan berkreasi membentuk kurikulum sendiri. Lalu sembari menemukan bakat anak-anak yang nanti akan difokuskan bagaimana pola mendidik anak tersebut untuk kemudian juga berkreasi mewujudkan minat dan bakatnya.
Bukan sekedar dibebani dengan tugas bernama PeeR. Lalu dibuat peringkat bertajuk ranking di akhir masa menjelang penerimaan rapor.
Kisah bagaimana guru-guru di MKG menemukan kurikulum baru, sangat menginpsirasi. Cerita bagaimana seorang siswa meminum sabun pencuci tangan yang beraroma strawberry karena dipikirnya itu adalah jus stroberi, membuat guru semakin kreatif lalu berinovasi.
Sehari kemudian, lahirlah kurikulum bagaimana membuat sabun pencuci tangan. Atau bagaimana MKG menemukan bakat dan minat siswanya melalui banyak percobaan, sehingga lahirlah engineer, scientist, artist atau bahkan berminat menjadi pialang lelang.


Bapak Menteri…
Bahwa di sini, di Singaraja ini kami menemukan hakekat menjadi orang tua. Bahwa ternyata, pola mendidik anak kami selama ini, 90% berasal dari turunan orangtua kami yang juga 90%-nya turunan dari orang tua orang tuanya kami. Begitu terus turun temurun.
Di bawah bimbingan Ayah Edy pula kami bersepakat memutus rantai pendidikan turun temurun tersebut. Kami bertekad menciptakan pola hubungan orang tua anak yang lebih dinamis, tanpa tekanan, tiada pola sebagai ordinat dan sub ordinat meski tentunya di beberapa hal memang tetap harus ada batasan antara anak dan ortu, kami sepakat itu.
Mas Nadiem…kalau boleh saya panggil demikian karena sekiranya usia kita tidak jauh berbeda.
Kami, setidaknya saya sendiri, berandai-andai jika sekolah semacam inilah yang akan didapatkan banyak anak-anak Indonesia di masa sekarang dan mendatang. Sekolah dengan pembebasan kurikulum, sekolah yang benar-benar bertanggungjawab luar dan dalam terhadap anak didiknya, sekolah yang menjalin komunikasi intens tidak hanya saat penerimaan rapor dan juga sekolah yang tidak membebani siswanya dengan kewajiban seragam, upacara, hingga PeeR.
Sekolah yang membebaskan. Sekolah yang memberikan batas kreativitas hingga ke langit ke tujuh belas tanpa embel-embel tugas.
Sekolah yang memacu kreativitas, mempertemukan mereka dengan bakat dan mengawinkannya bersama minat. Lalu mengolahnya menjadi kerja dan karsa yang akan menjadi bekal kehidupan mereka kelak.

Mas Nadiem,
Tidak perlu jauh-jauh belajar ke Jepang untuk menemukan model sekolah karakter yang tepat untuk anak-anak Indonesia. Cukup ke Singaraja mas.
Cobalah searching Maha Karya Gangga, tapi ah kalau soal teknologi semacam ini, jenengan pasti sudah sangat paham karena maklum pemilik start up ternama negeri ini. Jadi saya tidak perlu berpromosi dan karena memang saya tidak sedang berpromosi.
Apa yang Mas Nadiem sampaikan dalam pidato yang begitu viral membahana kala Hari Guru Nasional beberapa waktu lalu, bahkan sudah dipraktikkan di MKG sejak 4 tahun lalu. Bahwa apa yang Mas idamkan, sudah terwujud di sini, di sebuah sekolah kecil dengan siswa harian yang benar-benar bisa dihitung dengan jari.
Swear, bisa dihitung dengan jari kita yang berjumlah 10 ini. Siswanya hanya ada 8 dan itupun terbagi dalam berbagai kelas, bukan per kelas jumlahnya 8 siswa lo, bukan. Tapi kelas 1-6, total anak didiknya memang hanya 8 itupun pernah ada sejarah ada 1 siswa dikeluarkan karena orang tuanya sulit untuk diajak bekerjasama mendidik.
Miris memang mengetahui begitu sedikit orang tua yang benar-benar mau berubah demi melihat kecemerlangan anak-anak mereka di masa mendatang. Tapi saya memaklumi karena memang belum banyak sekolah semacam ini, wajar kalau mereka belum mengetahui bahwa ada sekolah yang memerdekan belajar siswanya.
Jikalau sudah tahu, pastilah mereka berbondong-bondong ke sini atau memasukkan anaknya di model sekolah serupa. Tapi ya itu, sekolahnya baru hanya satu, di Singaraja ini.
Jadi mari kita bayangkan jika ada ribuan bahkan jutaan sekolah berbasis karakter seperti yang diinisiasi Ayah Edy ini terdapat di berbagai sudut negeri Indonesia. Niscaya, generasi emas yang usianya sudah matang produktif kala nanti, sudah terbekali dengan karakter dan kemampuan diri mumpuni
Tinggal nantinya mereka dipilihkan perguruan tinggi yang paling tepat menampung minat, bakat dan kemampuan terbaik mereka yang telah sangat terasah sebelumnya. Kita tinggal menyalurkannya ke jalur yang tepat.
Iya sih generasi sekarangpun sudah sangat berbakat meski ‘mungkin’ pola pendidikannya belum seperti ini. Tapi mari bayangkan, jika hasilnya sekarang saja ini sudah sangat baik lalu jika dipadukan dengan pola pendidikan yang lebih baik seperti yang Ayah Edy idamkan -dan sekarang sudah terwujud di MKG-, pasti hasilnya akan lebih dan lebih baik lagi.

Mas Nadiem yang juga Menteri Pendidikan (maaf saya tidak komplit menyebutnya bersama Kebudayaan),
Bahwa jenengan tidak memiliki banyak waktu, paling banter 5 tahun untuk menjabat jabatan tersebut, kita semua tahu. Namun angin perubahan yang ingin jenengan bawa, sudah sangat diidamkan jutaan rakyat Indonesia.
Jikapun nanti usai periode Presiden Jokowi -yang juga idola saya- habis, dan jenengan sudah tidak lagi menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, setidaknya sudah ada ‘peninggalan’ jejak positif bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berikutnya. Jika memang sudah bagus, niscaya menteri berikutnya tidak akan berani mengotak-atik karena masyarakat sudah sangat paham pola pendidikan yang sebenar-benarnya.
Terakhir Mas Nadiem, semoga jenengan sehat selalu agar dapat selalu memikirkan pola pendidikan terbaik di negeri ini. Agar para siswa tidak sekedar lulus sekolah lalu mencari pekerjaan, namun juga kreatif seperti pendiri sekaligus CEO Gojek Nadiem Anwar Makarim itu.
Dan untuk Ayah Edy yang saat ini tengah dalam proses penyembuhan penyakit diabetes, semoga jenengan diberi kekuatan untuk sembuh dan sehat serta terus memberikan pendidikan semacam ini. Kami butuh bimbingan panjenengan untuk dapat menemukan bakat dan minat terbaik anak, kami juga butuh bimbingan agar dapat menjadi orang tua yang semakin baik untuk anak-anak kami.

Salam sehat dan positif dari saya yang sedang belajar jadi orang tua
Gus Wahid

Share:
Read More

Pecah Rekor Waktu Tempuh Tol Trans Jawa: Semarang-Banyuwangi 14 Jam




SEJUJURNYA saya sudah harus melakukan pengakuan. Berat memang di awal untuk jujur, namun demi kebaikan dan pelanggaran prinsip, saya harus sampaikan kebenarannya.

Kebenaran yang dibawa kenyataan bahwa saya telah berselingkuh. Iya saya menduakan prinsip hidup yang selama ini saya pegang, saya pertahankan selama ini.

Niche tourism yang saya usung, harus saya sandingkan dengan pendidikan dan pola asuh anak. Bukan sok-sokan, namun inilah masa depan. Masa dimana anak-anak kita kelak akan mengambil alih kemudi bangsa, membawanya ke arah yang jauh semakin baik.

Dan semua, bermula dari sini…


*

Ketika keputusan istri bahwa 23 Des-3 Jan kita akan ke Bali, tentu girang bukan kepalang. Di benak saya terselip agenda-agenda terselubung untuk mengeksplor Pulau Dewata hingga ke sudut-sudut yang jarang terjamah.

Adrenalin melonjak terutama pada keputusan untuk membawa sendiri kendaraan, ya jalur darat. Menyusur Tol Trans jawa, pastinya banyak pengalaman baru yang akan kami dapatkan.

So exited, terutama adegan dimana kami nanti akan menyeberang menggunakan feri dari Ketapang ke Gilimanuk, sebuah pengalaman baru. Tak terperi suka cita hati.

Persiapan dilakukan. Mulai ganti ban baru dan mengisinya dengan nitrogen agar ban lebih adem, menservis kendaraan hingga mengelap stir agar kinclong, done.

Cek sini sana, jangan sampai jersey MU ketinggalan, sudah dilakukan. Tibalah pada saat keberangkatan.

Bahwa kemudi akan saya pegang sendiri tanpa sopir, bahwa seluruh perjalanan yang menggunakan tol akan tetap berada di jalurnya tanpa keluar tol sampai di ujung Probolinggo timur, sudah di-setting termasuk mengecek lama perjalanan melalui GPS, 9 jam 54 menit katanya. Dan bahwa perjalanan akan dilakukan dengan santai, sukacita dan semampu tenaga yang tersisa. Artinya, jika memang terasa capek, ya mandeg untuk berisitirahat meski tujuan antara kami sebenarnya adalah sebuah hotel bernama Illira di Banyuwangi.

Sabtu 20 Desember pukul 10.00, kami merambat keluar pagar rumah, tentu saja setelah sebelumnya mandi keramas dan memakai sepatu tanpa menyisir rambut. Jalur tol Semarang-Solo, mudah dilahap karena sudah pernah melintasinya di belakang kemudi.

Lalu mulailah petualangan baru dimana jalur tol Solo-Surabaya adalah baru bagi saya. Jalur yang lurus, mulus kayak bakpao beku kelamaan di freezer membuat kondisi nglangut apalagi anak-anak sudah molor, mobil sepi selain suara-suara dari pemutar CD dan memory flash disk yang sebelumnya sudah saya isi ratusan lagu, menjadi teman setia, sayang tanpa suara penyiar.

Kini yang mendominasi hanya suara istri yang memang dilahirkan cerewet kayak beo minta makan. Yang hati-hatilah, yang jangan ngerem mendadaklah, yang ngasih peringatan awas meski mobil di depan masih 100 meter jauhnya atau teriakan kagetnya agar ban mobil tidak melindas kotoran burung. Aw


Sebuah rest area di Ngawi menjadi pilihan untuk rehat. Kebetulan sesaat lagi memasuki Dhuhur, sekalian kami akan makan, solat dan ngrokok sebat.

Terkapar di Banyuwangi

Rencana tinggal rencana. Waktu istirahat sejam yang dialokasikan belum berasa cukup. Syaraf kompulsif dan kinestetis di hamstring kanan belum memberi lampu hijau seperti di Perempatan Kaligarang yang hanya 30 detik. Alhasil, sebat lagi menjadi pilihan.

Hampir dua jam kami disini, Surabaya menjadi pilihan berikutnya meski kami hanya akan melintas di Tol Waru lalu lanjut ke selatan ke arah Malang dan berbelok ke timur ke arah Pobolinggo.

Etape ini dilalui dengan mulus, tak ada driver lain yang mengikuti kecepatan kami. Kecepatan 60-80 Km/jam tentu tak sebanding dengan mereka yang melaju jauh dari angka tersebut. Tak apa…

Pit stop berikutnya ada di salah satu rest area di daerah Pasuruan untuk solat Asyar. Tak lama, tak ada acara menyesap tembakau, langsung gas.


Nyaris Digebukin Massa

Saya sedikit khawatir kami tidak menyelesaikan etape tol ini dengan sempurna. Namun ternyata sebaliknya, sebelum gelap kami sudah berada di jalan raya Situbondo-Banyuwangi yang sebenarnya merupakan etape terberat dari perjalanan panjang ini.

Bagaimana tidak? Dua lajur kendaraan yang tak seberapa lebar, harus kami bagi rata dengan bus, truk, sepeda motor, sepeda hingga pejalan kaki bercelana pendek yang lupa harus berjalan di pedestrian karena memang jalur itu tak memiliki trotoar.

Memasuki kota kecil Besuki, perasaan tak enak menghinggapi. Massa dan pengguna jalan yang berduyun-duyun, menyadarkan bahwa ini malam Minggu, ramai sekali jalanan.

Perlahan melintas, tibalah di dekat jembatan yang cukup menanjak sehingga saya tak bisa melihat kondisi kendaraan di depan jauh. Pedal gas sedikit saya tekan agar daya dorong bertambah.

Fatal. Ternyata di ujung jembatan, sudah ada antrean kendaraan berhenti karena traffic light. Sempat memang menginjak rem menghindari benturan dengan kendaraan di depan. Sekejap itu pula mata melirik spion dan nampak seorang pengendara motor tanpa helm sekilas sedikit ngebut untuk menaiki tanjakan di jembatan, tak sigap dengan kondisi kendaraan berhenti di depannya.

Bruk dug…dug tanpa derrr. Sosok pengendara tadi menghilang dari spion. Saya percaya, ia nyungsep di bawah bumper belakang. Saya mematung. Terlalu banyak massa untuk keluar mobil, bahkan di bawah lampu merah, saya tak keluar. Detik-detik menegangkan yang berjalan sangat lamban.

Sembari menunggu nyala hijau, saya bersiap jika ada orang yang menghampiri untuk meminta pertanggungjawaban. Jika ia ramah, saya akan balas keramahannya, mungkin saya jabat tangannya, saya tawarkan rokok kepadanya.

Namun jika sebaliknya, sayapun sudah bersiap. Berpura-pura membawa senjata di dalam tas pinggang ini, adalah solusi terakhir jika massa nekad membela pengendara sepeda motor tersebut.

Dua detik, 5 detik…1 menit tak ada reaksi apapun. Warga yang nongkrong di pinggir jembatan, hanya sibuk menolong pengendara yang jatuh tanpa meneriaki saya. Saya putuskan tetap di kendaraan, lalu jalan pelan-pelan karena di pertigaan alun-alun Besuki, ramai sekali massa hilir mudik menonton pasar malam sepertinya.

Pasrah dengan kondisi bumper, saya putuskan tetap berjalan pelan. Hingga 5 menit kemudian tetap tidak ada yang mengejar, saya putuskan menekan pedal gas, bukan untuk kabur, tapi memang kerumunan pengendara motor di pertigaan telah kami lewati.

Aman pikir saya, tapi entah dengan kondisi bumper belakang. Mungkin sudah penyok seperti kembang gula yang kempes terkena sisa ludah gigitan pertama.

Etape Penghabisan

Maksud hati mengisi BBM di salah satu SPBU di Situbondo tepatnya sebelum memasuki Alas Baluran, meski ternyata masih sangat jauh, berubah menjadi agenda merem. Kantuk tak tertahan membuat kami harus lebih bersabar untuk kembali jalan.

Ketaktersediaan air untuk wudlu di SPBU memunculkan keputusan kami akan melakukan jamak ta’khir Maghrib dan Isya jika sudah sampai di Banyuwangi, perkiraan saya hanya tinggal dua jam saja dan pada kenyataannya salah besar.

Selama empat jam berikutnya, perjalanan menjadi sangat tidak terkendali. Kebugaran yang sudah menurun drastis membuat laju kendaraan tak bisa lebih dari 60 Km/jam. Bahkan ketika sudah melintasi Taman Nasional Baluran yang dalam perkiraan saya hanya sekitar 30 menit waktu tempuh ke hotel, molor lekat menjadi satu jam lebih. Saya sudah habis…kecepatan turun hanya sekitar 20-40 Km/jam.

Dan ketika memasuki Illira hotel, jam sudah hampir berada di angka 00.00 dimana total perjalanan Semarang-Banyuwangi adalah 14 jam, sebuah rekor baru tercipta sebagai perjalanan terlama  menempuh 524 Km dalam dunia persopiran. 

Tanpa membuka sepatu dan berganti baju, saya terkapar nyenyak di sofa kamar menyusun bergelung-gelung noktah laksana membentuk pulau-pulau di lautan nusantara.

Saya lupa akan niat menjamak solat bahkan untuk sekedar mencuci muka....ZzzZZZzzhhh.

Menyeberang

Belum sepenuhnya terkumpul nyawa, belum genap urat betis dan paha beristirahat, jam 10.00 kami memutuskan untuk segera menyeberang. Khawatir jumlah feri sangat terbatas sehingga menunda perjalanan yang ternyata itu juga salah.

Puluhan kapal pengangkut penumpang dan kendaraan berderet-deret di Ketapang. Di sisi sebaliknya, Gilimanuk, menampakkan pemandangan serupa. Mobilpun tanpa antre langsung nangkring di kapal, seperti halnya mie ayam yang nyungsep di lambung saya. Anteng.

Kurang lebih 45 menit perjalanan menempuh Selat Bali. Goyangan kapal dari ombak yang dihasilkan ketika berpapasan menjadi sensasi tersendiri, sebuah pengalaman yang mengajarkan bahwa hidup penuh dengan goncangan dari level 1-10. Namun laut yang tenang pagi itu, hanya menyisakan goncangan halus meski juga sempat mererasakan pening yang merambat.

Obrolan ringan dengan beberapa anak muda pengendara motor dari Jogja, menyisakan semangat serupa yang akan saya lakukan…jika masih seusia mereka. Angka umur saya sudah cukup tinggi, kayaknya tak bakal lagi mampu motoran Jawa-Bali seperti mereka, tak apa…saya malah mobilan yang meski tidak selalu berarti tidak capek, sama kok.

Pembunuh Ayam Tetangga

Tanpa rintangan berarti, penyeberangan Selat Bali aman terkendali. Foto-foto di atas kapal, tentu tak lupa selfie.

Dan inilah adegan bodoh yang harus saya perankan. Di pos pemeriksaaan, saya benar-benar sadar bahwa sepertinya saya tidak membawa STNK mobil yang ada hanya STNK Honda 70. Saya bahkan lupa, dimana terakhir surat berharga itu berada. Atau jangan-jangan sudah di Pegadaian?

Orang rumahpun tak bisa menemukannya. Beruntung polisi berpangkat Aipda itu baik. Demi melihat profesi yang tertera di SIM A dengan foto berbaju merah tersenyum tanpa dosa, ia memberi wejangan.

“Jikalau memang lama berada di Bali, ada baiknya STNK-nya dikirimkan melalui pos ya. sekarang silakan lanjutkan perjalanan tetap berhati-hati dan jangan melanggar peraturan.”

Wejangnya penuh kebapakan, bukan sekedar sebagai penegak peraturan. Padanya, saya berhutang kebaikan. Padanya, saya belajar bagaimana memaafkan tanpa berarti melupakan seperti sebuah adegan di masa lalu, ketika saya melempar tang ke arah ayam tetangga saat sedang memperbaiki kompor sumbu minyak milik ibu.

Lemparan yang tepat di kepala, seketika membuat ayam terhuyung, roboh setelah sebelumnya berkelojotan sesaat. Saya pikir pingsan, ternyata langsung dijemput malaikan kematian. Saya panik, lalu saya bawa ke sawah terdekat, beruntung tak ada darah.

Sorenya, ayam ditemukan tetangga lain. Mereka berasumsi, ayam telah memakan pupuk urea yang digunakan untuk menyuburkan padi. Misi berhasil, gumam saya.

Tapi urung, kejadian 30 tahun lalu itu membekas lekat di alam pikiran sadar. Saya sudah bersalah. Tak ada yang tahu memang, tapi perasaan sebagai pembunuh, melekat erat sampai saat ini. Saya pembunuh ayam tetangga.

Bali

Menginjakkan ban mobil di tanah Dewata, antusias kami kembali melejit. Sebuah etape panjang telah terlewati, kini kami sudah di sini, di pulau seberang timur Jawa. Makin lama, bayangan besar gelap Jawa Dwipa mulai luruh.

Di depan kami sebuah jalan lurus mulus diapit pepohonan rimbun menunggu. Itulah Taman Nasional Bali Barat tempat monyet, rusa dan ratusan spesies burung tinggal.

Lurus menuju Singaraja, decak kagum selalu mewarnai perjalanan etape terakhir ini. Bagaimana tidak? Jalan aspal ini berada sejajar dengan garis pantai di sisi utara dan perbukitan di sisi selatan, indah tak terperi. Saya suka.

Terbayang bagaimana nanti akan banyak aktivitas di pinggir pantai, sunset, perahu-perahu tertambat hingga barbyeku-an ditemani debur ombak. Aihh syahdu…Singaraja kami milikmu, setidaknya sampai 2 pekan ini.
Share:
Read More
,

Mendobrak Budaya Membuang Sampah



SAMPAH sudah menjadi persoalan besar bagi kita dan dunia dewasa ini. Kehadiran sampah yang tidak hanya dari limbah rumah tangga, menjadi hal yang harus dipecahkan dengan duduk bersama oleh banyak pihak.

Sampah bukan lagi musuh manusia namun sudah lebih massive menjadi musuh dunia terutama plastik. Dan bukan rahasia lagi jika banyak pemerintah di berbagai belahan bumi berusaha ‘memeranginya’.

Banyak dana dan anggaran dikucurkan. Mulai dari sekedar kampanye, hingga aksi-aksi sosial untuk mengatasinya.

Namun, volume sampah setiap harinya seolah tidak pernah berkurang. Bahkan cenderung bertambah.

Banyak pula bermunculan saat ini komunitas-komunitas yang mencoba memanfaatkan limbah menjadi barang yang memiliki nilai ekonomis. Namun gerakan mereka terbatas pada limbah-limbah plastik.

Ada pula kelompok-kelompok yang mencoba memanfaatkan limbah rumah tangga menjadi kompos. Tentu juga terbatas dalam jumlah yang relatif kecil dengan komposisi sampah-sampah yang berasal daun.

Lalu bagaimana dengan jenis sampah lainnya. Bahkan kadang kita lihat ada sampah kasur terbawa aliran sungai, batang dan ranting pohon mengambang dengan santainya seolah tidak memiliki beban untuk menuju muara.

Setipis itukah kesadaran masyarakat dalam membuang sampah? Semudah itu pulakah sungai yang dulu-dulu mengalirkan air biru bening segar menjadi solusi praktis mengeyahkan sampah dari halaman belakang rumah?

Sampah jenis plastik menjadi persoalan paling serius dari berbagai langkah penanganan terkait sampah. Apalagi jamak diketahui, plastik menjadi musuh utama bumi kita karena sulitnya proses daur ulang yang harus ditempuh oleh tanah.

Melalui Perwal Semarang Nomor 27 tahun 2019, Pemkot Semarang mengeluarkan aturan untuk mulai mengatasi sampah. Pemakaian sedotan plastik, gelas plastik, tas plastik dan juga styrofoam, pipet dan lain-lain, mulai dibatasi.

Sanksipun diberlakukan. Pada tahap awal, pelanggar akan mendapatkan sanksi tertulis meningkat menjadi perintah paksa lalu pembekuan usaha hingga pencabutan izin usaha.

Para pelaku usaha menjadi bidikan utama sebagai penyumbang sampah plastik terbesar di kota ini. Hotel, restoran, rumah makan, café, penjual makanan dan toko modern diharapkan mulai membatasi penggunaan barang tak mudah diurai tersebut.

Solusipun ditawarkan. Tidak saja mengajak komunitas turut serta, namun juga memberi contoh.

Dalam suatu event, masyarakat diajak mengumpulkan sampah plastik dimana satu kantong sampah yang dihasilkan ditukar dengan satu gelas kopi gratis. Dalam kesempatan lain, Pemkot Semarang memberi contoh distribusi daging kurban menggunakan besek dan pembungkus dari daun pisang.

Efektifkah? Iya saat itu. Entah karena dipandegani langsung oleh Bapaknya Wong Semarang atau karena memang semangat mendapatkan secangkir kopi gratis.

Penggunaan besek dan daun pisang juga meningkat drastis. Setidaknya selama sepekan Lebaran Qurban, volume penggunaan besek dan pembelian daun pisang serta daun jati di pasar tradisional meningkat pesat.

Tidak itu saja, Pemkot Semarang juga sudah membangun PLTSa, sebuah penghasil listrik dari tenaga sampah. Warga sekitar juga sudah memanfaatkan biogas menjadi energi yang diubah untuk memasak sehari-sehari.

Namun setelahnya apa yang terjadi? Perilaku dan pola hidup masyarakat dalam menggunakan plastik berulang kembali.  

Volume sampah di TPA Jatibarang sebagai tempat terakhir bermuaranya seluruh sampah di kota ini menjadi normal di angka 4 juta kubik per hari. Jumlahnya tak pernah benar-benar berkurang.

Mengubah Perilaku Membuang Sampah

Mengatasi persoalan sampah memang sepertinya tidak akan benar-benar dapat sempurna, total sepenuhnya bersih. Sekeras apapun usaha pemerintah dalam menerapkan larangan, sanksi dan hukuman, jika faktor perilaku ini tidak mendapat sentuhan, hasilnya tetap saja nol besar.

Pemkot Semarang bahkan memberlakukan sanksi denda Rp50 juta bagi warga yang tertangkap basah membuang sampah. Tapi tetap saja masih ditemui perilaku yang berulang sama, membuang sampah sembarangan.

Tapi iya benarkah ini soal perilaku? Jangan-jangan ini adalah budaya yang sudah mendarah daging di masyarakat?

Pasalnya selama ini, cukup banyak sentuhan personal baik melalui media, campaign maupun aksi nyata di lapangan, halus maupun frontal. Namun para pembuang sampah tidak pernah surut langkah.

Seakan tanpa beban dosa mereka melakukannya. Tak pernah ada pikiran bahwa anak cucu mereka kelak masih ingin menikmati keindahan dunia.

Lebih menyedihkan lagi, saat Indonesia sedang berbenah menjadi destinasi utama wisata dunia, perilaku masyarakatnya belum dapat berubah. Sampah dimana-mana dan menjadi keluhan utama para turis mancanegara.

Sebagai permulaan, tak perlu kita melihat lebih jauh. Mulai dari diri kita sendiri.

Membiasakan diri lalu membentuknya menjadi pola hidup yang lambat laun menjadi budaya yang akan kita wariskan ke anak cucu, menjadi pilihan terbaik. Jikapun kita belum membuat kompos dari sisa daun atau barang-barang bernilai ekonomis dari sampah plastik, kita dapat mengawalinya dari mengubah perilaku kita sendiri dalam keseharian?

Sudahkah kita membuang sampah pada tempatnya? Sudah kita membiasakan diri memberi contoh pada anak-anak kita akan kebiasaan positif?

Jikapun beranjak lebih jauh, sudah kita mengelola sampah rumah tangga kita menjadi barang-barang yang lebih berarti? Namun jika belum mampu, dua hal tersebut di atas cukuplah berarti.

Tak perlu janji, mari kita beri bukti. Ibu Pertiwi menanti…


Referensi:



Share:
Read More

Saparan: Pesan Persaudaraan dari Lereng Merbabu


SENIN siang itu cukup terik. Apalagi sepekan terakhir, matahari sedang berada di titik terdekat dengan khatulistiwa.

Serasa di ubun-ubun, panasnya menyengat, menghasilkan peluh yang menderas. Berkali-kali menyeka keringat, bukan berarti langkah kami surut.

Menyusur jalan kampung yang berdebu di penghujung kemarau ini, kami bergegas. Masih banyak rumah yang harus kami kunjungi, beradu lalang dengan ratusan warga lainnya.

Apalagi masih menumpuk jajan yang musti kami icipi. Belum lagi menu-menu lezat seperti opor ayam, rendang daging atau telor balado bahkan bakso, serasa menanti kedatangan kami.

Tapi ini bukan Lebaran. Syawal telah jauh ditinggalkan, sekira 4 bulan di belakang. Senin legi 28 Oktober ini, tepat pula jatuh pada 29 Safar 1441 H.


Inilah Saparan. Sebuah tradisi yang terus dijaga hingga kini oleh warga Desa Sumogawe, Getasan Kabupaten Semarang.

Di sini, tak perlu menunggu lebaran untuk bersilaturahmi. Di tempat ini, semua makanan tersaji free tanpa harus menanti datangnya hari fitri.

“Saat Saparan, semua kolega, kerabat dan teman dekat kami undang hadir untuk memperpanjang silaturahmi dan kekerabatan,” Maman, warga Krajan Sumogawe yang menjadi tujuan pertama saya mulai berkisah.

Saparan bagi warga Sumogawe adalah lebaran ketiga setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Di saat inilah seluruh warga membuka pintu rumah lebar lebar-lebar, tak lupa karpet dan tikar juga digelar.


Aneka rupa jajan tersaji, menunggu disantap sembari berbasa-basi. Di ruang makan, menu-menu masakan berat menanti dicicipi, menahan gejolak perut agar segera diisi.

Tapi tunggu dulu. Tak terlalu bijak menyantap semua menu yang tersedia. Pasalnya, warga lain juga menyediakan menu serupa dan tak berkah jika semua sajian warga yang dikunjungi tak dirahapi.

“Saat open house seperti sekarang ini, semua warga Sumogawe berada di rumah. Yang kerja ya libur demi menunggu tamu-tamu yang akan berkunjung. Dan semua tamu, wajib makan di setiap rumah yang mereka kunjungi karena Saparan adalah wujud syukur warga atas nikmat Illahi,” imbuh Maman seraya mempersilahkan rekan-rekan kerjanya di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Salatiga menyikat habis semua sajian.


Sebelumnya, seluruh warga telah berkumpul di tetua kampung. Bersama mereka menggelar kenduri dan merti bumi, memberi sesaji dari daging ternak dan hasil bumi.

Kirab budaya seluruh tua muda bahkan anak-anak menjadi penanda, betapa rasa syukur adalah segalanya. Pun mereka tak lupa berdoa, tilik kubur dan ziarah dikemas dalam nyadran, tepat sepekan sebelum Saparan.

“Kalau di Dusun Magersari, Saparan-nya jatuh pada setiap Rabu pon bulan yang sama. Jadi masing-masing Saparan di berbagai dukuh di Sumogawe tidak bareng. Kami jadi bisa saling berkunjung, bergantian silaturahmi antar warga dusun. Prosesinya juga sama, diawali dengan merti bumi dan kirab budaya,” ungkap Tiyo, warga Magersari.

Kyai Sumokerti dan Nyai Gawe, pasangan pendiri Desa Sumogawe, pasti bangga dengan polah tingkah cucu cicit mereka. Di tengah gejolak dan syahwat negeri yang rakyatnya mudah tersulut emosi, Sumogawe membawa pelita keharmonisan, persaudaraan dan kebersamaan.

Bahwa open house bukan sekedar milik mereka yang berlabel pejabat. Bahwa sebenarnya amatlah mudah membuat Nusantara ini bahagia, selama masing-masing manusianya memegang teguh aturan dan adat budaya.

Pesan persaudaraan dari lereng Merbabu ini, layak kita bawa ke penjuru negeri. Mengabarkan sekaligus menyebarkan virus arif lokalnya tradisi Saparan.

“Satu rumah lagi sepertinya masih mampu mas perutnya, tadi aku sengaja makan dikit-dikit kok biar muat banyak. Mumpung gratis lo,” rayu seorang rekan.

Tidak. Gumamku lirih bergeming.

Saya terlalu tidak sabar ingin segera mengabarkan tentang Saparan kepada dunia. Tentang semangat persaudaraan dan nguri budaya dari Sumogawe yang ternyata tak hanya dikenal atas produksi susu sapi perah dan Pokdarwis Ken Nyusu-nya.

Saya sangat bersemangat untuk Sumogawe...

Share:
Read More
, , ,

Hidup Seperti Rollercoaster (Catatan Perjalanan ke Kawah Ijen)




HIDUP itu seperti rollercoaster, naik turun, tidak selalu di atas namun juga tidak melulu di bawah. Kadang kencang, kadang pelan, sesekali menegangkan, meski banyak juga yang membosankan.
Saya sepakat itu. Bahkan hitungannya tidak lagi tahun, tapi bisa dalam kurun waktu beberapa jam.
Seperti yang saya alami dalam trip ke Ijen Banyuwangi, akhir Agustus lalu. Bahwa sehari sebelumnya saya masih staycation di hotel bintang lima, dimanjakan dengan fasilitasnya, nongkrong bersama kawan di cafe ternama, hidup saya mewah.
Ya untuk saat itu, dua hari itu saja saya berada di kasta teratas kehidupan. Selebihnya ya karena memang saya tidak mampu bergelimang kemewahan bintang lima, ya wajib disyukuri ketika ada yang mentraktir menginap di situ.
Kehidupan saya berputar cepat. Usai melepaskan diri dari rombongan, saya sudah langsung berada di level terendah tatanan social kita.
Dari yang naik bus umum dengan label ekonomi, hingga ojek menuju Paltuding seharga 200K. Itupun awalnya masih saya tawar lo. Dan setelah tahu jarak tempuh yang sebenarnya, saya cukup menyesal hanya memberi di nominal itu.
Bayangin saya, turun bus di pertigaan Pos Gathak, Bondowoso, jarak ke Paltuding masih sekitar 58Km. Dengan posisi jam di angka 17.30, mau tak mau pilihannya hanya ngojek atau nginap di sini karena saya terlanjur memilih jalur Bondowoso.
Jarak mungkin sesuatu yang bisa ditempuh, iya. Tapi demi mengingat rute, jalur berkelok naik turun, hutan dan senyap serta rasa cemas khawatir akan adanya tindak kriminal, jelas jika saya jadi pengojeknya, sayapun tak mau hanya diberi bayaran 200K.
Bahkan 500K jika mengendarai sepeda motor, saya masih akan menolak. Adoh tenan kas, adem san!! Ya maklum lah, jalurnya menuju titik pendakian terdekat ke Ijen yakni Paltuding, jauh, berkelok dan menanjak sangat dingin.
Pun ketika di Paltuding, hidup saya sudah mulai berubah lagi. Batasan memulai pendakian jam 01.00 WIB, membuat semua wisatawan atau pendaki harus bersabar.
Mereka bisa tinggal di hotel, homestay, tidur di dalam mobil jika bawa kendaraan pribadi atau seperti saya menghabiskan waktu berbincang dengan pemilik warung dan beberapa teman baru. Badan saya memang penat sejak perjalanan pagi sebelumnya dari Batu, Malang yang total butuh waktu hampir 10 jam dengan angkutan umum.
Tapi rasa penasaran, passion untuk melihat eternal blue fire, jauh mengingkari rasa capek. Bahwa sudah sejak 20 tahun silam saya mendambakan memotret api biru abadi yang hanya ada dua di dunia ini, tak terbendung. Kalau di Indonesia ada, ngapain juga harus ke Islandia kan?!

Bermula dari sebuah majalan fotografi, tulisan dan foto blue fire terpampang. Fotomedia namanya, sekarang sudah almarhum, menyebut destinasi di Banyuwangi adalah satu dari list yang harus dikunjungi wisatawan terutama penghobi fotografi.
Pun ketika rekan perjalanan saya dari pos I sudah menghilang karena terhambat dan berjalan lebih lambat, saya terus menanjak sendirian di tengah keramaian. Ritme dan tempo berjalan tak pernah saya ubah sebagai bentuk penghematan atas nafas yang tersengal dan usia yang tak lagi bisa dibilang remaja. (Ya iyalah, anak saya sudah 3 je)
Dua jam berikutnya, hidup saya sudah kembali berputar. Pengalaman, tantangan dan petualangan yang saya damba dua dekade terakhir, terpapar jelas, memuaskan semua raga di tengah lelah dan kengerian medan menuju si api biru yang bahkan sebenarnya tidak jauh beda dengan nyala api gas elpiji di rumah.
Ya memang bener sih, blue fire tak beda dengan LPG. Yang bikin mereka tak serupa adalah, blue fire ini muncul dari sela bebatuan di Kawah Ijen dimana untuk mendapatkan fotonya saja, kita harus bersaing keras dengan kepulan asap belerang yang tak segan membuat nafas sesak.
Lebih dari itu, api ini sudah menghilang jika sudha lebih dari jam 04.30. Ya wajar memang, nyala birunya sudah akan terbias matahari jika lebih dari waktu tersebut.
Aktivitas penambang belerangpun tak kalah indah diabadikan. Mereka yang berjuang demi hidup dengan pertaruhan kesehatan yang terus menerus terpapar asap belerang, taruhan nyawa melintas jalan setapak di tebing dengan membawa kurang lebih 150Kg belerang di pikulan kiri dan kanan, juga merupakan pilihan momen bagus untuk diabadikan.

Dan ketika hidup adalah pilihan; memilih blue fire atau sunrise Ijen, pada akhirnya saya memilih tidur di sela bebatuan. Terhindar dari asap belerang, keramaian serta heboh ribuan manusia yang berfoto dengan latar belakang si api biru, saya memejam barang sejam.

Saya baru ingat, saya belum merem sekejappun sejak lepas dari hotel bintang lima di Batu, di hotel yang juga diinapi Ibu Menkeu Sri Mulyani malam itu. Lebih lagi, saya tipe yang tidak bisa merem di tempat yang tidak bisa selonjor atau dengan kata lain harus tidur di tempat yang bisa dihinggapi dengan nyaman (baca: posisi tidur mengkurep kalau bisa lengkap dengan memeluk guling dan lalu mengilerinya).
Dan lagi-lagi hidup adalah pilihan, untuk terus berputar seperti rollercoaster atau berbaring nyaman di dasar bebatuan Kawah Ijen. Saya harus ingat bahwa saya harus pagi-pagi turun ke Banyuwangi jika memang hendak melanjutkan petualangan ke Baluran.
Di sana...petualangan baru sudah menunggu.

Jangan lupa pula mampir di channel Youtube gus Wahid United ya gaess...


Share:
Read More