,

Sempurna Cinta di Tanah Dhyang*


www.guswah.id

INI adalah kali keempat Keenan kembali ke Tanah Dhyang. Namun kali ini dengan misi yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Misi yang diendapnya berbulan-bulan, misi yang menjadikan jerawat batu ngendon persis di keningnya, merah, mirip bindi hanya saja ini di dahi laki-laki.

Keenan tersadar, Dieng memang istimewa, setidaknya baginya. Begitu pula yang dipikirkan jutaan orang yang pernah mengunjunginya, atau masih berangan-angan mencicipi hawa dingin, berwisata di tengah aura mistis alamnya.

Hampar kompleks Candi Arjuna, seolah tidak pernah habis untuk dieksplor. Begitu pula belasan kawah dan beberapa telaga yang menanti diunggah. Tapi kali ini, misinya beda. Keenan sedang mengejar cinta, cinta dari seorang dara yang juga pernah dijumpainya, mengantar pertemuan pertamanya di Tanah Dieng ini. Tanah yang disumpah Kyai Kaladete akan menemukan kesejahteraan pasca pengorbanannya memiliki rambut gimbal.

Aneesa namanya. Dia seorang gadis layaknya, tak ada yang istimewa, cantiknya sederhana saja. Tapi bagi Keenan, kesederhaaan itulah yang membuatnya terpikat, melabuhkan hati untuk kemudian memagutkan segenap rasa. Tapi rasa Keenan, bukanlah rasa yang mudah terungkapkan. Ia pendam rasanya selama 12 purnama, atau sejak pertama mengenal Aneesa.

Iapun bersumpah akan mengorbankan hari-harinya, hidup dan perjuangan demi cintanya. Terombang-ambing di bak truk yang membawanya melalui Karangkobar dari Banjarnegara, angannya beranjak. Jika biasanya ia ke Dieng melalui Wonosobo, jalur yang juga biasa digunakan wisatawan lainnya, kini ia harus menempuh jalan ini. Jalan yang luar biasa mengular, berkelak-kelok naik turun bukit, namun memiliki pemandangan yang sangat indah. Terbayar lunas perjuangan pertamanya.

Di Pasar Batur, Keenan harus bertukar bak truk dari yang semula mengangkut sayur, kali ini bersama dengan tumpukan karung-karung beraroma menyengat. Di ujung jalan masuk Candi Arjuna, barulah ia paham itu adalah pupuk kandang yang akan digunakan untuk menyuburkan tanaman kentang.

“Pantas baunya seperti mulut naga yang puasa tujuh bulan,” gerutunya dalam hati.

Di gerbang candi, Keenan ragu. Apakah akan meneruskan langkah, atau memutuskan ke lokasi lain. Namun keyakinan mengalahkan keraguan. Langkahnya mantab, demi cinta yang mungkin sudah menunggunya.

www.guswah.idTapi salah. Pelataran Arjuna sore itu hanya penuh sesak dengan ibu-ibu PKK yang sibuk ber-swafoto. Langit bitu, Arjuna ganteng, Sembadra yang seksi dan Semar yang gagah, menjadi pemuas latar foto yang tak lama lalu sudah berpindah terpampang di wallpaper emak-emak gaul itu.

“Mas, mas tolong fotoin dong. Latarnya Candi Arjuna tapi harus kelihatan bukit dan langitnya ya. Sebentar saya rapikan dulu kainnya biar lebih keren,” pinta seorang ibu berbaju hijau yang sepertinya bosan ber-swafoto sembari merapikan kain berwarna putih dengan corak hitam yang menjadi kain penutup wajib bagi siapapun yang masuk ke kompleks candi. Dan demi melihat kehadiran Keenan, segera ia mengajukan permintaan bantuan. Keenan-pun menurutinya sembari menebar pandangan, jangan di antara mereka terselip cinta yang sedang diburunya. Tapi ia salah. Tak ada seorangpun gadis di antara mereka. Beberapa ibu PKK memang mengajak anak gadisnya untuk tamasya, tapi mereka masih balita, belum pantas jadi cintanya.

Kekecewaannya sedikit terobati kala berjalan keluar dan menemukan Pendopo Soeharto-Whitlam. Dia teringat, bagaimana dulu di tahun 1974 Presiden RI Soeharto bertemu dengan PM Australia Gough Whitlam untuk membahas dukungan terhadap integrasi Timor Timur oleh RI. Meski hanya 15 menit dan di tempat terpencil kala itu, setidaknya Dieng telah kembali menjadi saksi sejarah. Mungkin pula kali ini waktu berpihak padanya, Dieng juga akan bersaksi atas cintanya.

Tak ditemukannya belahan hati di Arjuna, memaksanya bergegas ke selatan. Kawah Sikidang menjadi tujuan, toh harga tiketnya juga cuma Rp15 ribu untuk dua destinasi itu. Keenan yakin, cintanya berada di sana. Sebulan lalu ketika mengunjungi Dieng bersamanya, cintanya itu pernah berujar ingin memulai kehidupannya di masa mendatang di tanah ini. Baginya, itu adalah tanda untuk ‘menembakkan peluru cinta’.

“Entah mengapa, aku pengin sesuatu yang spesial di sini. Aku ingin Dieng menjadi saksi salah satu perjalanan besar di hidupku nanti lo,” ujar cintanya kala mereka berdua menghabiskan ujung hari di ujung jalan menuju Arjuna. Itu adalah bulan keduabelas sejak pertemuan pertama mereka, juga di Dieng ini, termasuk trip bersama mereka saat Dieng Culture Fest lalu.

Makanya Keenan tahu, kemana kira-kira kaki Aneesa akan melangkah usai mengunjungi Arjuna. Sikidang selalu menarik bagi Aneesa. Kawah yang berpindah-pindah, meletup dan mengeluarkan bau belerang yang sangat kuat, menarik bagi seorang Aneesa.

www.guswah.id“Kamu tahu gak Keen, kalau nanti suatu saat Kawah Sikidang ini tidak akan lagi berpindah tempat,” tanya Aneesa setelah sebelumnya menjelaskan asal muasal nama Sikidang. Bahwa Sikidang dapat diartikan sebagai kidang atau rusa, yang sukanya meloncat-loncat, begitu pula kawah ini yang selalu berpindah tempat, lincah kayak rusa.

“Tidak. Yang aku tahu, aku tidak akan berjalan di belakangmu kalau ke sini. Aku khawatir kamu kentut dan baunya tersamarkan oleh aroma belerang,” ujar Keenan sekenanya, disambung dengan langkah cepat Aneesa yang ingin mencubitnya gemas. Namun Keenan lebih dulu lari, disusul Aneesa sembari berteriak-teriak kecil, masih gemas ingin mencubit.

“Jadi, Kawah Sikidang ini tidak akan lagi berpindah tempat jika ia sudah bertemu dengan Kawah Sibanteng. Tapi entah kapan itu terjadi. Setidaknya, Sikidang sudah berpindah sebanyak 3 kali. Kemungkinan, ia akan bertemu Sibanteng di lokasi pertama Sikidang muncul,” Aneesa menerocos, menjejali dengan berbagai informasi. Tapi sebaliknya, Keenan seolah abai penjelasan itu, ia lebih sibuk memandang wajah Aneesa, gadis yang dipilihnya sejak pertemuan mereka 12 purnama lalu.

Kawah Sikidang masih sama dengan setahun pertama pertemuan mereka. Hanya saja kini lebih banyak pedagang berjajar memanjang hingga mendekati bibir kawah. Keenan memandang memutar, menyapu seluruh pengunjung. Tak jua ditemukannya gadis pujaannya. Kelebatnyapun tak nampak. Ia sedikit putus asa. Apalagi terang sebentar lagi memudar, berganti petang.

Keenan memutar otak, sepertinya ia harus menyerah kali ini. Masih ada esok, untuk mendapatkan cintanya, menautkan rasa yang mengendap dalam. Rasa yang harus diungkapkannya, apapun hasilnya. Waktunya dicukupkan untuk beristirahat, D’Qiano menjadi pilihan sekaligus tempat melepas penat.

“Di sana ada tempat berendam air panas. Aku bisa ngadem dan refresh di sana. Ya setidaknya melepas daki dan aroma busuk belerang dan pupuk kandang tadi siang,” ujarnya menghibur diri dalam hati.

*
SUDAH sejak adzan Subuh Keenan terbangun. Tidurnya tak terlalu nyenyak. Beban rasa di hatinya terlalu berat untuk tak segera diungkapkan.

Sejenak mengatur rencana, ia menduga Aneesa akan berburu sunrise. Sikunir menjadi alternatif pertama. Tapi ia menggeleng, trek 45 menit dan jalan cukup terjal tidak akan diambil mengingat sudah jam 05.00 lebih.
www.guswah.id

“Mungkin di Bukit Sipandu,” Keenan mencoba menerka kemana gadisnya bertujuan.

Bergegas usai solat dan mandi, ia ambil tas lengkap dengan kamera dan peralatannya. Semua skenario sudah disiapkan, mengambil momen paling istimewa demi pujaan hatinya.

Keenan bergeming. Langkah dan hatinya tidak bersepakat. Ia ingin ke Bukit Sigandu namun hatinya membisikkan kata agar ia memilih ke Bukit Pangonan dengan alasan waktu sudah mendekati 05.00, sehingga akan lebih cepat treking dan sampai puncaknya.

"Masih bisa dapat sunrise...waktu yang tepat untuk menyatakan cinta kepada Aneesa. Terlebih di sana ada savana yang pasti lebih romantis," bisik hatinya lirih. 

Masuk akal pikirnya. Bergegas ia percepat langkahnya, seolah tak ingin tertinggal sedikitpun. Di kaki bukit, tak dijumpainya seorangpun. Begitu pula di sepanjang jalan menanjak menuju puncak bukit. Hanya beberapa petani kentang yang sibuk menyiangi gulma. Dua pipa besar yang mengalirkan uap panas dari kawah-kawah di Dieng, ikut menemani jalur pendakiannya.

"Iya mas, tadi ada rombongan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banjarnegara yang naik ke puncak. Ya belasan orang lah," ujar seorang petani menjawab sapaan Keenan, sekaligus mengkroscek siapa tahu ada belahan jiwanya di antara mereka.

Masih terengah-engah ketika kakinya sampai di sisi hutan Lembah Sumurup. Terhampar di depannya, padang savana luas, mulai menghijau seiring hujan pasca kemarau panjang. Sisa-sisa padang yang terbakar, masih nampak coklat, meski mulai menghilang. Bekas kawah purba ini, telah beralih rupa menjadi telaga dan kini berganti dengan padang savana. Konon di sinilah pertama kali tanaman purwaceng yang legendaris itu ditemukan.  

Memandang berkeliling, mata Keenan nanar. Dari belasan orang yang nampak dari ketinggian ia berdiri, belum terlihat sosok yang diidamkannya. Sedikit merasa letih dan kecewa, ia memutuskan berbalik arah. Sesaat itu pula, seiring Keenan membalikkan badan, Aneesa muncul dari balik semak, tepat di belakangnya. Sama terkejutnya ekspresi keduanya.

Namun Keenan jauh lebih terkejut. Aneesa muncul sembari menggandeng mesra tangan seorang laki-laki yang jauh lebih ganteng, gagah dan wajahnya nyaris selalu tersenyum, meski ia sedikit merasa aneh dengan senyuman itu. Sesekali, lelaki itu bahkan menggelendot manja di bahu gadis yang dipilihnya untuk menghabiskan sisa umur bersama.

“Keenan? Kenapa kau sampai ada di sini, sendirian lagi? Sedang apa? Sama siapa? Ngapain?” berondongan pertanyaan Aneesa, belum mampu dijawabnya. Ia benar-benar lunglai, tak mampu berkata apa-apa. Bukan karena pertanyaan yang bertubi-tubi, namun lebih karena sosok lelaki itu. Surprise tak dinyana.

“Ehm...ehmm aku mencarimu. Aku mengejarmu sejak dari Semarang, ke Dieng dan Arjuna dan juga Sikidang,” jawab Keenan sekenanya. Matanya masih nanar bertanya-tanya, siapa lelaki ganteng yang menggenggam tangan Aneesa itu.

“Mengejar? Untuk apa? Aku kan tidak lari. Ah kau ada-ada saja,” Aneesa masih menjawab datar. 

“Oh iya, ini kenalin kakakku, namanya Adheera. Kami memang mau ke sini, namun harus berjalan pelan-pelan. Kakakku suka usil, jadi harus sabar. Aku pengin nunjukin ke kakak bahwa dunia itu indah, ia juga bisa belajar dari alam. Ya meski kemampuannya terbatas, tapi kakakku juga butuh piknik. Masak cuma adeknya saja yang travelling terus. Makanya ia kuajak naik Bukit Pangonan saja yang lebih landai. Dan meski agak lama, akhirnya kami sampai juga di sini. Indahnya ya puncak Pangonan ini,” penjelasan Aneesa bagai setetes kopi purwaceng, meletupkan gairah Keenan.

Dari penjelasan itu pula, ia baru tahu bahwa Adheera mengalami autism sejak umur 2 tahun. Dan nyaris sepanjang hidupnya, Aneesa memberikan perhatian penuh kepada sang kakak. Travelling, mendaki gunung serta memotret adalah hobi yang disalurkannya di sela kesibukannya mengasuh Adheera.

“Makanya kalau ngetrip, aku tak bisa lama-lama. Ada kakakku yang juga butuh perhatianku. Eh sudah ah, aku terus yang cerita. Kamu juga cerita, kenapa sampai di sini? Kenapa pula mengejarku, emang aku maling? Udah yuk, jalan ke bawah yuk, pengin motret savana nih,” ujar Aneesa kembali menggandeng tangan kakaknya.

Ingin rasanya Keenan menjawab. “Iya, kamu maling hatiku. Gak cuma separuh, tapi seutuhnya. Apa yang kamu lakukan, gerakmu, tingkahmu, budi pekerti dan segala kebaikan dirimu sudah mempesonaku. Seperti pesona Dieng yang tak pernah luntur sampai kapanpun, bersanding sempurna dengan keelokan sifatmu Neesa,” tapi itu hanya disimpannya dalam hati, sampai nanti benar-benar tiba waktu terbaik untuk mengungkapkannya.

Tapi setidaknya, kini telah terbuka jalan untuk hatinya berlabuh. Bahkan meski jauh dari pelabuhan, Keenan yakin akan menambatkan perahunya di sini, di hati Aneesa, di tengah cantik pesona Tanah Dhyang. Keenan makin yakin, memantapkan langkahnya ikut menggandeng tangan Adheera di seberang sisi Aneesa, bersama. **

guswah.id
Photo by @ikapuspita1
* Catatan pertama Famtrip Bloger dan Media bersama Disbudpar Banjarnegara
** Bersambung
Share:

23 komentar:

  1. baru catatan pertama udah panjang dan sarat cerita banget. keren mas wahid

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matursuwun mbakdos yang caem sak erte limo...dikau juga keren, tulisannya inspiratif kok.

      Hapus
  2. Keenan ngapain cari jodoh sampe Dieng sik? Semarang kan banyak wkwkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biar kayak film...dramatis sampe puncak dan Dieng hihi

      Hapus
  3. Ya ampun Keenan so sweet banget sampai keliling Dieng mengejar gorengan eh cintaa..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Husss...itu ngejar layangan putus wakakaka

      Hapus
  4. Dan aku menunggu Keenan mengungkapan seluruh isi hatinya kepada Aneesa di tanah Dieng. Hihihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh gitu...jadi maunya diutarakan saja? Tidak pengin di selatankan sajakah wakakakak. OK wait seri berikutnya, kita liat apa yg akan terjadi

      Hapus
  5. Ceritanya bagus, like it.
    Baru sekali ke Dieng, baca ini jadi pengen main lagi kesana sekeluarga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buruan ke Dieng...sebelum tutup lo. loh eh kok tutup? sebelum aku kelima kalinya lo maksude wakakka

      Hapus
  6. Loh, jebul sudah sampe 4 kali ke Dieng ya. hahaa...
    berati jangan sampai tidak yang kelima kalinya dan seterusnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Loh kelima dan keenam dst...siap dong, Dieng g akan pernah habis dieksplore. Masih banyak yg belum kukunjungi...kancani ya next ya

      Hapus
  7. Yg cuma perhatian kalah sm yg berani ngajak jalan keen, ayo utrakan, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wooo boleh kok diutarakan, di selatankan juga boleh wekwekwkewke. Tapi bener tuh, yg cuma mendam bakal kalah sama yg menyampaikan, yg cuma nyapa di WA bakal ditikung sama yg ngajak jalan hahahaha

      Hapus
  8. Yg cuma perhatian kalah sm yg berani ngajak jalan keen, ayo utrakan, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah ini, true story.
      Yang cuma chating "udah makan belum" bakal kalah sama yang "yuk makan" lalu gandeng.

      Hapus
    2. True story? aihhh saya ketemu dengan pakar 'yuk makan' lalu gandeng tangannya...tabik suhuuuuu hahahahha

      Hapus
  9. Salam untuk Keenan ya mas bro.. eh dia tuh penjelajah waktu bukan sih? Kok bisa ingat peristiwa tahun 74 padahal sekarang masih remaja? Hihi..
    BTW mantaaab nih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kam dia baca sejarah mbak. Anak muda yg ganteng kyk aku, hrs paham sejarah hahaha

      Hapus
  10. Kok aku ga ketemu sama Keenan ya kmrn. Nek ketemu kan aku bisa tepe tepe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huss...inget anak suami dan kumbahan di rumah wekwekwke

      Hapus
  11. Mantabh kak...suka deh sama cerita cerita roman seperti ini. Segera meluncur ke seri keduanya ahh

    BalasHapus