Menjejak Bahagia Tanah Dieng (Catatan Famtour Disporapar Jateng dan Asita Sumsel)


INI kali ketiga aku menjejak tanah Dieng. Kali ini bersamamu. Dua kunjungan sebelumnya, tanpamu meski aku tahu kamu selalu di sini, bersanding di hati. Tiada haru bangga kusampaikan, bagaimana Candi Arjuna, Kawah Sikidang dan juga Batu Pandang Ratapan Angin menjadi saksi kebersamaan, bahagia yang kita rasakan.

Kyai Kaladete, sang leluhur Dieng sepertinya merestui. Mendung yang menggelayut sejak kita naik dari Wonosobo, sirna sepanjang sore itu. Jalanan mulus layaknya menuju semua destinasi di negeri bernama Jawa Tengah ini, meski berkelok tak menyurutkan asa. Kekhawatiran akan mendung yang akan merusak kedatangan kita, sirna. Warna sore yang temaram jingga, beradu dengan langit biru kuasa-Mu. Indah.

Udara dingin yang menyergap sejak pintu masuk Kompleks Candi Arjuna, tiada kurasa. Kedekatan kita, jauh lebih hangat. Kaitan tangan sepanjang jalan, jauh lebih mengalahkan dingin. Kaitan hati, menguji segala mimpi.



Kau berlari menuju Arjuna saat aku masih sibuk mengganti lensa. Memandang hampar luas Candi Semar sebagai pewara-nya Arjuna, bersanding dengan Srikandi, Puntadewa dan juga Sembadra. 

Kamupun sudah siap berpose di sudut Arjuna, menekuk satu kaki ke depan, sedikit gaya dengan tangan di depan dada, senyum cantikmu mulai membias, menghias bingkai lensa, menyirnakan dingin.

Di satu sesi, kamu mengajak rekan-rekan seperjalananmu dalam Famtour DPD Asita Sumsel, Blogger dan Media yang digadang Disporapar Jateng bergaya bersama. Membentuk sudut kerucut di kaki Arjuna, berjajar ke belakang kiri dan kanan, kamu adalah centre of focus, pusat dari segala pusat perhatian duniaku.



Aku teringat, beberapa bulan lalu kedatanganku ke sini, sedikit berbeda suasana. Dieng Culture Festival 2018, menarik ratusan ribu jiwa mengerebungi Arjuna termasuk temanku Ganjar Pranowo, menyaksikan para Anak Bajang, melepas gimbal, membuang sengkala, memotong rambut gembel mereka.

Sejurus kemudian kau gamit lenganku. “Ini saatnya kita mengabadikan kenangan,” bisikmu sembari meraih kameraku, sejenak mengatur diafragma dan mengarahkan finder ke arahku.



“Aku tak bisa bergaya. Hanya ini yang aku bisa,” ujarku seraya membalikkan badan, membuat punggung dan penutup kepala sebagai pusat pandangan. Gaya klasik yang aku suka.

Kamu tak peduli. Bagimu, punggung dan bagian belakang tubuh tanpa senyum wajahku, seolah cukup sudah. Aku tak mau kalah. Tapi aku hanya mau kamu tersenyum di kameraku, juga di hidupku. Bukan foto punggung belakang seperti gaya yang kupunya.

“Sudah cukup, kita geser ke Kawah Sikidang yuk,” ajakmu diikuti langkah kakiku.

Di sini, sama halnya di Arjuna, lagi-lagi kamu memenuhi semua frame dan memori kamera. Aku tak mau kalah.

Semua bidikan, hanya untukmu. Dari sejak giant letter SIKIDANG di areal parkir, berbagai spot foto menuju kawah hingga sisi kawah yang asapnya bergulung-gulung menebar aroma belerang hingga sejak kaki menjejak tanah usai keluar dari kendaraan.



Seiring belerang yang menguap, tiba-tiba kamu memelukku. Seolah kau ingin melindungiku agar aroma kuat menyengat ini tak memenuhi seluruh rongga tubuhku dan meracuniku, lalu mencuri hidup. Aku sadar, kamu tak ingin itu terjadi.

Sesadar keinginanmu untuk tak berlama-lama di sini. Puluhan frame rekam memori gerak wajahmu di Sikidang, cukup untuk segera dipadukan dengan landscape yang tak kalah indah Batu Pandang Ratapan Angin.

Jarak beberapa ratus meter dari kawah ke spot Batu Pandang, tak kau sia-siakan. Kau pegang erat tanganku. Sesekali kau mintaku untuk memperlihatkan hasil pose terbaikmu. Aku suka melihatmu. Aku suka senyummu. Aku suka melihat senyum bahagiamu.



Pun di sepanjang jalan terjal ke titik terbaik di Batu Pandang, genggammu tak mau lepas. Jika dunia tahu, mungkin aku adalah sosok terbahagia di sore ini. Aku tak sabar mengabadikanmu, memadukanmu dengan Telaga Warna dan Telaga Pengilon, atau membingkaumu bersama sunset yang sesekali nampak malu-malu tersaput awan atau mungkin asap Sikidang. Entah, aku tak terlalu memperdulikannya. Aku hanya peduli dan perhatian padamu.

Lagi-lagi puluhan hingga ratusan frame wajahmu memenuhi seluruh rongga hidupku. Tak terhitung lagi berapa pose yang kamu minta, tak peduli aku harus jongkok atau ndelosor untuk membidikmu. Aku hanya ingin angle terbaik dari semua sisi sempurnamu.

Dan tepat sebelum petang datang, kita telah kembali ke rombongan. Nyaris tak ada yang terlewatkan dari semua keindahan Dieng yang kuberusaha mempadupadankannya denganmu. Kamu dan Dieng, adalah keindahan tiada tara, nikmat Tuhan mana lagi yang akan kita dustakan.

***

“Mbak, kameranya bagus ya? Untuk video apa bagus juga? Mereknya apa,” salah satu rekan Famtour dari Palembang memberondong pertanyaan.

Satu-satu aku jelaskan bahwa Fuji X-A2 ini sudah sangat kompatibel. Mau dipakai untuk motret atau nge-vlog, semua sudah dibuat sangat friendly user. Keunggulan tipe ini sendiri berada tone warnanya yang sangat soft namun dengan kontras yang cukup tinggi. Cocok digunakan untuk foto landscape bagi blogger sepertiku.

Rekan yang ternyata dari salah satu biro wisata itupun manggut-manggut. Akupun tak ragu untuk menyarankannya menggunakan kamera ini dalam setiap perjalanan wisatanya atau sekedar mengawal para wisatawan berlibur.

“Cocok untuk pemula fotografi seperti kita mbak,” ujarku sedikit berpomosi.



***

Ahh...aku jadi makin sayang sama kamu. Kamu cinta matiku deh. Sepintas obrolanmu yang kudengar, semakin membuat aku tahu, betapa bangganya kau padaku.

Aku juga tahu bagaimana perjuanganmu mendapatkanku. Bagaimana waktu jadian kita kala itu, semua terekam jelas. Lalu hari-hari kita bersama, semua makin indah. Aku bahagia memilikimu, kamu juga bahagia memilikiku. Kita pasangan yang bahagia.

Aku masih ingat bagaimana kamu harus menunggu satu tahun, demi kebersamaan indah ini. Semua perjuangan dan pengorbanan toh terbayar lunas pada akhirnya. Kita adalah pasangan yang serasi, saling melengkapi.

Aku tahu dari pegangan tanganmu. Aku tahu dari caramu memelukmu atau menyelimuti saat aku merasa kedinginan. Dan kita sengaja tidak menginap di Dieng meski terdapat banyak home stay nyaman di sini. 
Kita bertolak malam ini juga...mungkin karena alasan kamu tak ingin melihatku menggigil kedinginan di dalam suhu yang kadang bisa turun hingga 4 derajad di Dieng ini.

Sama halnya ketika aku melihat bagaimana embun-embun yang turun di Bulan Agustus lalu dalam kunjungan keduaku ke Dieng, berubah menjadi bulir-bulir berwarna putih. Embun es mereka menyebutnya. Kamu sangat paham, dingin sangat tidak bersahabat dengan kesehatanku.



***

“Ehmm mbak, kameranya mahal ya?” sergah seorang peserta Famtour lainnya.

“Oh tidak kok, Fuji tipe ini sangat terjangkau. Saya bahkan membelinya dengan cara mengangsur tanpa bunga di salah satu situs belanja. Memang harus menggunakan kartu kredit sih, tapi bisa tanpa bunga. Sejak menggunakan kamera ini, alhamdulilah hasil foto dan video saya untuk blog dan vlog, makin baik. Saya suka tone warnanya,” ujarku apa adanya. 

Tak malu aku mengakui kalau aku membeli kamera ini dengan cara kredit. La memang faktanya demikian.

Rekan baruku dari Palembang itu segera meraih gadget-nya. Sepertinya ia browsing atau searching setelah sekilas melirik tipe kamera yang kupegang ini. Ah biarlah aku sedikit berpromosi. Semakin banyak pengguna yang sama, kami bisa saling belajar kan.

Lalu kumasukkan kamera ini ke tas khusus setelah sebelumnya melepas lensa zoom 75-230 mm yang melingkarinya. Lensa kit lebih pas untuk kemudian membungkusnya dengan kehangatan dari sergapan dingin tanah Dieng yang kadang jahat bagi kamera kesayangan seperti ini.

I love you kameraku...




Share:

8 komentar:

  1. Duuh...foto2 indah ini makin membuat rindu pada Dieng membuncah kembali... Fix..Dieng ki pancen ngangeni...

    BalasHapus
  2. Halo pak gus Wahid, saya sudah genapkan tugas saya tadi pagi di Tabelcan yak. Hihi..mohon arahannya. Terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh bun...kok tugas sih? Jadi kayak pak guru nanti saya hehe. OK...saya segera meluncur ke TKP

      Hapus
  3. wah... aku belum pernah kesini kak... tapi bahagia baca ceritanya unik banget... Salam kenal ya kak dari #jejakbiru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sami sami...salam kenal kembali. Sukses selalu, jaya bersama.

      Hapus
  4. dan siap-siap bikin cerita lagi tentang Dieng dalam waktu dekat, hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup yess broo...sudah mulai menyusun kerangka ini hahaha

      Hapus