, , , , , , , ,

The Emejing d'Emmerick (part 2): Berburu Penanda Kehidupan di Telomoyo


Dimanapun selalu ada MU. Photo by Maureen

Bhumi gonjang-ganjing, langite peteng ndhedet. Namung lintang gumintang gemantung ono ing tlatah dhuwur. 
Mung jangkrik ngengkrik, ateges panondo, mbengi isih mbengi, durung katon isukmu. Suryo ora katon, rembulan kang nyopo tanpa suoro.
*
La bagaimana buminya tidak gonjang-ganjing gajek, la wong sepagi itu, sekira pukul 02.45, suara-suara berlarian di sekitar tenda kami. Bukan cuma. Mereka yang belarian ini sungguh memiliki berat badan yang di atas rerata. Dan sepagi buta itu, mereka sudah heboh berkemas, berlarian demi tak ingin ketinggilan sunrise. Ah mereka pikir mungkin sunrise ini semacam merek minyak goreng yang biasa dibeli ibu-ibu di pasar (eh memang mereka ibuk-ibuk ding, tapi no mention ya). Padahal ini adalah sunrise, munculnya sang penanda kehidupan manusia di kala siang.

Padahal, belum genap mata saya terkantuk di titik terendah selama dua jam terakhir. Angka WIB yang sempat saya lirik usai menyempatkan memainkan Jawhead di konsul ini menunjukkan 00.52. Berarti, saya tidur di bawah dua jam. Ckckckck sebuah rekor bangun terpagi dalam sejarah hidup saya...

Kami semua memang diminta bangun jam 03.00 lah untuk memburu sang matahari terbit di puncak Telomoyo. Jadi masih adalah sedikit waktu untuk menyecap kopi dan sebatang rokok demi memanasi mesin tubuh ini. Toh di bawah camping ground kami, ada sesuara gitar berkumandang. Dan ternyata Anji dan Deta sudah di sana. Ah klop ini para pengopi dan pengudut kumpul jadi satu mendengar kisah nabi-nabi yang dikumandangkan Erfix.

Belum sempurna suguhan kopi lampung dari Deta tandas di tenggorokan, kami sudah digiring ke lobi depan rumah meneer Emmerick. Jeep sudah menunggu. Dan benar, kami ketinggalan sesi berdoa. Sayapun merasa sangat kotor dan hina, tapi tetep cuek memilih naik Jeep yang bertudung agar tidak kedinginan bersama Athier dan Nia.

Di dalam, Mas Bimo sang hobies offroad menanti dengan senyum ramah meski saya yakin, ia juga belum gosok gigi seperti saya yang tergesa-gesa. Berprofesi sebagai kontraktor, bermain jip merupakan hobi yang sudah dikompromikan dengan istri dan anaknya sehingga kapanpun ia akan merasa ready melayani kami ber-offroad ria.

Eit...jangan dikira mereka ini driver lo. Dari 15 Jeep yang kami tunggangi bersama 30 blogger lainnya, semuanya adalah hobies. Jadi mereka bukan semata mencari nafkah dengan membawa wisatawan ke Telomoyo, namun semata karena tuntutan kesukaan.

"Dari hasil kontraktor saja sudah cukup mas. Ini murni hobi. Bahkan kalau dihitung secara rupiah, apa yang kami hasilkan dengan mengantar wisatawan ini kurang cucuk dengan bea perawatan. Tapi karena hobi, ya kami jalani. Harga paket per orang Rp350 ribu mas," terangnya seraya menyebut nama S4x4 Tiga Adventure Offroad sebagai komunitas yang menaungi.

Eh eh wait, ada wajah yang saya kenal. Adi Subarkah kalau tidak salah nama lengkapnya. Ia adalah sosok yang pertama kali mengajak saya berkenalan di masa SMP dulu di SMP 2 Salatiga...ia sendiri pernah bilang aktif ngejip di D'Emmerick, namun khusus untuk event ini saya abaikan karena sebulan sebelumnya dalam pertemuan kami, ia mengaku akan pindah ke Lombok. Eh tak tahunya takdir kembali mempertemukan kami di sini, di hari ulang tahunnya. Sayangnya, saya tidak kebagian satu mobil dengannya...

Penampakan Adi Barkah. Sehat dan sukses slalu lur
**

Sekira satu jam terombang-ambing di jalur aspal yang sudah rusak parah menuju puncak Telomoyo, sampai juga kami di titik pemberhentian yang hanya berupa jalur menanjak. Mata yang semula tertahan kantuk berat, Athier masih saja nyaman tidur di jok depan, mulai terbelalak. Bukan saja karena semburat jingga di ujung timur dunia, namun juga karena perjalanan kami yang ditemani tebing di sisi kiri.

Saya hanya membayangkan, jika drivernya adalah pemula, tentu ceritanya sangat berbeda. Belum lagi serangan kantuk, kondisi medan serta batu yang bisa membuat kepala terkantuk besi atau dashboard. Ah mas Bimo dan driver lain, hebat-hebat euy...

Di puncak Telomoyo, pemandangan indah sudah tersaji. Warna kuning keemasan terus beranjak menjadi kuning. Butuh kecepatan, ketepatan namun juga kesabaran untuk mencari angle yang paling tepat demi mendapatkan golden sunrise yang menjadi tujuan utama kami ke sini.

Tapi entahlah, di antara kekagetan bangun super pagi, rasa dingin yang meski tidak terlalu menyergap serta harus mengurus Athier yang masih lelap di dalam mobil, saya seolah bingung sendiri. Beberapa gambar yang saya ambil akan hadirnya Sang Surya menerjang kegelapan, belum terlalu optimal saya abadikan (eh ini juga modus untuk diajak lagi ke puncak lo, hati-hati).

Belantara pemancar dan detektor UFO di Telomoyo

Dan puncaknya, saya lupa Subuhan. Saking tadi kebanyakan ngobrol dan ngopi di tenda, saya hanya sempat menyaut tas kamera dan jaket, lupa membawa sarung. Ah maafkan hamba-Mu Ya Allah.
Telomoyo sendiri saya kenal sejak lama karena saya memang dari Salatiga. Di puncak gunung ini terdapat sebuah antena pemancar yang katanya milik TVRI, yang dapat dilihat dari kejauhan, bahkan dari desa saya, Kesongo. Tapi nyatanya begitu sampai di sana, sudah sangat banyak pemancar bertebaran. Ya mungkin juga milik para operator selular atau bahkan mungkin antena pemantau keberadaan UFO. Tak tahulah saya, dan tak kepingin mencari tahu.

Apalagi, mas Sigit sang PO (project officer yang juga manajer Marcomm D'Emmerick) kegiatan ini sudah memandu kamu untuk sedikit turun ke bawah. Ia sudah menyiapkan menu sarapan nikmat bersama kopi. Aih aih...ternyata mie godog sudah menanti. Uenaaak men, tenin. Entah karena laper, dingin atau memang sangat nikmat, tapi bener, ini uenaaak buanget.

Sunrise, mie godog dan kamu...maksude tanganmu nutupi nda wekwekwk

Menikmati mie godog dengan pemandangan matahari yang sedang menanjak, di sisi bawah nampak Rawa Pening. Di timur, samar-samar Lawu masih nampak pongah, sementara di sisi selatan ada Merbabu yang besar sungguh .

Lalu di ujung barat, duo Sindoro-Sumbing juga masih malu tertutup kabut persis di putingnya. Sementara Gunung Ungaran nampak sudah bersolek tertimpa sinar matahari. Bukit dan gunung-gunung kecil di bawah, sungguh menambah indah.

Gak pake baju sih, jadi malu hihi. Btw, jadiinget gambar gunung saat kita SD ya gaes

Di sisi lain, teman-teman blogger masih sibuk mengarahkan kameranya ke segala arah. Seolah tiada habis itu stok memori, batterai dan semangatnya. Saya sendiri sudah ndodok menyesap batang rokok sembari ngobrol dengan Adi Barkah.

"Ini mending, tidak terlalu dingin. Beberapa hari lalu dingin banget," ujarnya sembari menawari rokok kretek bernomor 234 premium yang tentunya sangat cocok dihisap di ketinggian seperti ini daripada rokok alus yang saya bawa.

Di perjalanan pulang, barulah kini ketahuan, banyak mata terbelalak karena di samping kanan kami terbentang jurang. Jalan dua tapak (bukan setapak karena ini tapaknya dua, maklum mobil), menuntun kami kembali turun. Di tengah perjalanan, rombongan menyempatkan diri berfoto di air terjun yang seolah menyambut kedatangan kami dengan airnya yang menggerojok karena hari-hari sebelumnya airnya tak sebanyak ini kata mas Sigit.

Athier di antara para mbokdhe di air terjun kecil yang kami singgahi

***

Memasuki pelataran D'Emmerick, petualangan kami belum berhenti. Seluruh rombongan masih mendapat bonus untuk ikut offroad gratis dari teman-teman S4x4 Tiga (baca: Saka Tiga). Saya sendiri bersama Nia dan tentu saja Athier yang tidak bisa ikut offroad, memilih kembali tenda. Selain ngantuk, saya juga harus memenuhi panggilan alam hehe

Sepanjang jalan berbatu menuju camping ground, jejeritan teman-teman terdengar jelas. Dan belakangan saya baru tahu, jalur untuk offroad sangat ekstrim dengan kemiringan mencapai 60 derajad. Belum lagi kubangan yang dilalui, semakin menambah debar raga namun menyenangkan jiwa.

Tapi saya tak menyesal kok tidak ikut etape terakhir ini. Daripada saya ikut lalu ada yang menembus keluar dari bagian belakang celana, mending saya ngalah lalu merem demi membayar kantuk yang semakin berat.

Tapi D'Emmerick dan segala kenangannya saya yakin tidak akan pernah hilang oleh pejam mata sekalipun...

Manajer Marcomm D'Emmerick yg (sok) ganteng dan ternyata adik kelasku huhu
Aerial sawah di bawah Telomoyo

Mak mak pemburu sunrise


Baca juga: http://guswahidunited.blogspot.co.id/2018/03/the-emejing-demmerick-part-1-belajar.html
Share:
Read More
, , , , , , , ,

The Emejing d'Emmerick (part 1): Belajar Kehidupan dari Memanah dan Ketinggian


Ing salah sawijining dino, kakang prabumu iki kadapuk undangan mangkat blogger camp ing papan panggonan ingkang paring asma d'Emmerick Hotel wonten tlatah Salatiga. Papan ingkang sejatosipun sampun cukup akrab kangge kawulo amargo nate berencana anggawe event Forest Run wonten mriki.
Namung, takdir Illahi berkehendak sanes, rencana event gagal bin total. Ananging takdir sanesipun sampun awaiting, geh puniko...
 blogger camp.

Ganteng ya hotelnya...photo by @Zainkagawa
*
MENYUSUR jalan berbatu di pintu masuk menuju lobi, adalah sebuah pengalaman berbeda. Biasanya, jalan menuju hotel atau resort, selalu rapi jali dengan aspal mulus seperti pantat bayi. Tapi ini beda, batunya lancip yang sepertinya diukur presisi untuk jadi segitiga sama kaki dan tangannya. Tapi justru itu experience yang membedakan dengan hotel lainnya.
Disambut timnya d'Emmerick di Cleverly Eatary, mas Sigit sebagai marcom sekaligus PO event ini (dudu po' o lo), lalu ada mbak Dona yang jadi bosnya, disambung om Martin dan mas Adit, komplit deh perkenalannya. Eh ya, trip kali ini diwarnai dengan temen-temen blogger gak hanya dari Semarang tapi juga Jogja, Pekalongan dan Jakarta. Lain daripada itu, lebih komplit lagi karena ada fotografer, youtuber dan vlogger gak cuma blogger (apalagi yang abal-abal kayak aku).
Satu yang menarik lagi, anak lanang al-Athier, berhasil kupengaruhi untuk ikut nge-camp. Itupun setelah melalui debat panjang berbahasa ngorok bersama mamahnya selama dua hari dua malam haha.
Eh lah...belum juga proses kenalan usai, muncullah aroma sedap dari balik bilik Cleverly. Ternyata, menu-menu andalan hotel semi resort ini sudah disiapkan. Ada Gecok Cabut Gunung yang jadi favoritku, meski sudah berganti dengan iga sapi, tapi tetap saja indhuss. Pengin nambah tapi isin hiks hiks.


Gecok Cabut Gunung favoritku, menu lain kurang suka karena banyak sayur mayur hahaha
Tangan siapa nih? Ganggu ajah hahaha
Dan tibalah saat yang paling dinantikan yakni menuju camping ground. Dari rumah, aku dan Athier sudah mbayangin bahwa lokasinya berada di rerumputan sehingga kami bawa garam 3 Kg untuk ditabur di sekeliling tenda agar binatang melata enggan masuk tenda karena di dalam sudah ada manusia melata. Tapi nyatanya, camping ground sudah ditata dengan bata setinggi 10 cm ditabur pasir dengan tenda terpal tebal yang dilapis tenda biru deklit. Jadi aman very very aman, meski Athier tetap saja menabur garam berkeliling...ya biarlah, biar dia belajar hidup di alam bebas.
Eh ternyata di dalem sudah ada matras seukuran tubuh manusia. Ada enam berjajar untuk kami berlima nanti malam (Bayu, Nico, Athier, aku dan Anji yang nyusul karena busnya ngetem kelamaan dari Wonosobo). Wah wah...bisa bisa iming-iming tidur di dalam sleeping bag ke Athier, bisa angus nih...
Sekira jam 2, kami semua digiring menuju arena outbond. Di sana kami dibagi menjadi 2 tim, dimana kami semua ber-30 jadi jika dibagi 2 menjadi masing-masing 15 orang (gini aja dijabarin, kebengetan gak ketulungan ya blogger abal-abal ini).
Tim pertama akan menjajal arena outbond lebih dulu yang terdiri dari 5 etape berbeda yang kesemuanya diketinggian. Dan membayangkan saja, saya sudah ngeri. Maklum saya adalah jamaah Acrophobia (artinya apa? search sendiri lah, ntar dikira blogger abal-abal lagi). Makanya saya milih gabung di grup kedua yang menuju ke arena archery.


Nah kan bener, si Isul nangis mpe ngompol...eh
Kupikir, yes kupikir...panahan itu gampang. Tinggal tarik busur, bidik, tahan napas lalu lepas....jrootttt kena deh sasaran item di tengah. Yess, aku seperti Robin Hood yang bisa membelah anak panah yang sudah menancap menjadi dua...tapi itu cuma adegan pilem gaes. Sweaaar angele puollll. Dari total 16 anak panah yang kulepaskan, 3 tidak menemui sasaran sementara sisanya ilang terbang entah menancap di tebing belakang target sasaran haha.
Ayo kak, kamu bisa. Bidik masnya, eh sasarannya.

Cuma gaya kok, buat nambah konten. Photo by Aji @lagilibur.com
Ya sudahlah, mungkin bakatku gak di sini. Apalagi setelah beradu duel dengan Danang Dave dan Rivai dengan skorku yang sempurna yakni 10 sementara mereka cuma 75 dan 90 (loh lah...kalah adoh iwk). Ok aku pindah aja ke outbond, mending naik-naik tali kayaknya aku bisa lah.
Dan benar adanya, ternyata dengan sangat cepat saya sudah berada di etape kedua setelah melewati etapi pertama balok kayu yang disusun berjajar mudah saya lalui. Tapi etape kedua adalah menaiki sepeda di atas seutas tali adalah sebuah hal yang sangat menakutkan. Giliran saya sendiri sudah pasrah dilewati dua peserta di belakang saya...swear saya gemetar yang bahkan tidak saya rasakan ketika mau ngucap ijab kabul.
Dan setelah membaca doa terutama doa mau makan, keberanian terkumpul. Apalagi setelah melihat ternyata ada penyangga besi di belakang sadel yang membuat ia tak akan goyang apalagi jatuh (padahal saya juga sudah pake tali pengaman lo), tapi bayangan kaki kram tidak dapat mengayuh ketika di tengah-tengah, kemudian muncul. Saya kembali panik. Hanya desakan Lintang saja yang membuat saya suruh cepat karena antrian di etape kami makin banyak yang akhirnya meneguhkan iman saya untuk segera mengayuh sepeda.

.... dan benar, ternyata aman-aman saja loh gaes. Saya pun berteriak kegirangan, di sela teriakan untuk menekan rasa takut. Berhasil...dan diabadikan oleh mb Wati lo kegiranganku.
Etape yang berikutnya dibilang menelusur sarang hamster oleh Erfix, sudah saya kuasai. Saya bahkan wani selfie di dalamnya haha...best partnya kan sudah saya lewati.


Sok sok an selfie padahal dag dig dug. Photo by @wahidunited haha
Tapi berikutnya, saya pilih saving energi. Dua etape terakhir saya lewati karena sangat menguras energi demi melihat peserta lain yang sudah turun dari temali...la jam 03.00 nanti sudah harus bangun je, saya takut kekeselen, tur meneh habis ini masih ada archery battle, sharing dan makan malam je.
Di arena archery battle, Athier sudah menunggu memberi semangat. Ia sangat yakin ayahnya akan bisa menembak musuh-musuhnya sekaligus mengambil ratu sebagai hadiah *eh. Tapi harapanpun musnah, ternyata aku salah...usai briefing lalu start dan mengambil anak panah, sebuah panah nyasar yang jelas-jelas tidak disengaja, mengarah ke dahiku. Dusssshhh...aku tergeletak, tidak pingsan. Hanya sedikit malu karen abahkan aku belum nembak satu anak panahpun, tapi sudah terkena duluan. Duh...
Ya sudah...renang aja yuk kak. Ajakku ke Athier memberinya hiburan agar tidak terlalu kecewa dengan panah nyasar tadi. Eh tapi yakin kok, battle ini sangat aman karena meski terkena panah, ada penutup muka yang melindungi serta ada aturan yang harus dijalani. Anak panahnya juga sudah dilapisi dengan busa dan tidak lancip layaknya anak panah pas proses belajar memanah sebelumnya.
Sayang perutku yg kotak gak nampak. Photo by sopo ya?
**
Nah nah...usai capek berenang sekaligus mandi, tapi bukan berenangnya sudah berlumuran sabun lo ya (ini sekaligus menghapus stigma bahwa kalau ngetrip aku tidak pernah mandi), makan malah was ready. Ciuhiiii laper tapi makannya sudah siap itu rasanya seperti mau makan gaes. Tenin wes to
Menu sup daging dan kacang merah panas, pas untuk perutku yang kotak ini. Aku bahkan sampe nambah dua porsi supnya, plus nasi sepiring, dan dua gandeng pisang bakar ala d'Emmercik yang ngedap ngedapi.
Disambung dengan perbincangan hangat bersama Teguh Omah Alit dan pakdhe Sarbu Riyono, Nia Nurdiansyah, Rivai aka Pay aka Pak i, Erina, Deta + Maureen dan makhluk astral yang berada di sisi kiriku tentang pariwisata negeri ini, tak terasa 3 batang rokok berteman jahe tandas. Sementara di Cleverly, sama si Danang Dave dan Erfix sedang ngoceh tentang bagaimana mengembalikan kejayaan hidup melalui aktivitas positif semacam ngeblog, ngevlog dan lain-lain sesuai passionmu.
***
Eh udah ya, tak mbalik ke tenda dulu. Athier sudah lebih dulu mbalik soale bareng om Bayu dan Nico, kasihan klo dia nyariin aku.
Dan menyusur malam di jalanan berbatu d'Emmerick, terbayang tangan yang bisa digandeng sambari menikmati rembulan serta milky way yang seolah ngawe awe. Romantis kayane...
****
f/22 10" ISO 6400 16mm


Share:
Read More
, , , ,

Sepeda dan Selembar Payung Tuan Nyonya


Duo Barce dan Celsi
BAGI sebagian kita, hujan adalah penghalang. Setiap turunnya yang selalu keroyokan, selalu dibarengi dengan lenguhan, bahkan tak jarang pisuhan.
Hujan seolah mantan yang menghantui aktivitas berkegiatan. Gerak langkah dan mimpi besar kita terhalang olehnya. Hujan menjadi tak berkawan meski ada payung atau jas hujan.

Tapi bagi kedua duo ini (namanya dua ya pasti duo), sebut saja Barce dan Celsi sesuai baju yang mereka kenakan saat itu, (nama disamarkan karena mereka masih di bawah umur haha) hujan adalah sepeda. Semakin banyak dan deras hujan, jika perlu disertai sambaran petir di kejauhan, akan semakin mendekatkan asa akan mimpi mereka.

Memiliki sepeda. Itulah bayangan keduanya. Berbekal tiga payung lusuh namun tetap mampu melindungi siapapun yang berteduh di bawahnya, Barce dan Celsi mengayuh asa menjemput sepeda mereka.
Di pelataran parkir DP Mall, hujan menjadi saksi bagaimana gempuran air yang turun berbondong-bondong tak mampu menunda keinginan besar mereka. Setiap tetes yang tercurah dari langit, ibarat sekrup dan baut sepeda yang akan mereka rangkai menjadi satu kesatuan.

Payung om...tante, bisa buat mayungin hati juga lohh

"Sudah beberapa bulan sejak musim hujan turun, kami selalu di sini. Sepulang sekolah, kami langsung ke sini," kisah Barce yang sudah duduk di bangku SMP kelas 1 membuka percakapan.
Dan karenanya, hujan adalah satu hal yang selalu mereka harapkan. Semakin sering hujan, semakin banyak mur baut lalu jeruji hingga sadel dan rangka yang akan mereka rangkai dalam asa menuju sepeda.
Tak banyak memang yang mereka dapatkan. Berharap keikhlasan pengunjung mal yang enggan basah menuju parkir kendaraan, tak selalu uang lima ribu mereka dapatkan. Dua ribu pun cukup menghantar senyum mereka mengembang, basah di sela cucuran air dan keringat (iya kali keringat saat kehujanan yak hahaha. Lebai nih penulisnya).

"Emak cuma buruh cuci, tidak mungkin membelikan sepeda. Sementara teman-teman sudah punya sepeda bagus, bisa buat berangkat sekolah atau buat main. Saya cuma bisa minjem sepeda mereka sambil ngelu-elus dan membayangkan punya sepeda sendiri warna merah," imbuh Celsi pilu.

Iya memang, sesekali mereka tak hanya dapat recehan. Pernah suatu ketika, saat hujan benar-benar deras, dimana curah hujan yang tercatat di BMKG kala itu mencapai 60 mm/detik, Barce beruntung mendapatkan tips 50 ribu dari seorang pelanggan yang merasa terbantu.
Tapi toh tidak setiap hari mereka mendapatkan tips tambahan itu. Belum tentu juga seminggu, sebulan bahkan selama karier mereka menjadi ojek payung. 

Rela basah kuyup selama kau tetap kering wahai tuan dan nyonya
Ya namanya juga karier dadakan bin momentum ujan, tidak bisa setiap saat dijalani. Beda soal dengan kalian para blogger/vlogger atau simboker yang mungkin jadwalnya padat dengan undangan trip. Klo simboker mah cukup nodongin tangan ke suamik tiap bulan haha
Belum lagi klo mereka harus sakit karena ujan-ujanan...tentu akan semakin panjang jalan buat mengumpulkan uang. Semakin jauh pula sepeda dari angan.
Terlepas dari semua, di zaman mileneal saat semua orang sibuk dengan gadget dan aktivitas masing-masing, masih ada mereka-mereka yang rela 'menjual tubuh' menjadi tameng hujan agar kita tak basah. Masih ada yang mau menjadi martir, demi gadget kita agar tidak rusak.
So, masih sulit untuk bersyukur juga dengan kondisi kita saat ini? Waspadalah...waspadalah.....

Share:
Read More
, , , ,

Kemah Ceria DAS Garang bersama Mercy Corps: Menjaga Kemurnian Bumi Sampai Mati


*
GEMERICIK air dari sungai kecil yang mengalir, memecah kesunyian. Daun-daun saling bergesek satu sama lain, memunculkan aliran angin segar. Gemerisik burung dan binatang hutan lainnya, menyambut semua langkah kedatangan.
Ah...inilah surga kecil yang kita damba. Jauh dari keramaian kota, tak kenal ribet dengan semua urusan dunia. Berhenti langkah saya di sini.
Jalan bebatuan tak menyuruhkan langkah, meski runcing di kiri kanan. Tak ada lagi pencitraan khas kota yang menjemukan. Hanya ada aku dan kamu ... alam.
Menerima undangan Mercy Corps untuk bergabung di Kemah Ceria DAS Garang, memiliki konsekuensi kami harus tinggal di alam. Tawaran tidur di dalam tenda, langsung saya anggukkan. Padahal jelas-jelas, saya akan meninggalkan guling kesayangan yang sudah penuh dengan torehan abstrak pulau di semua sisinya.
Hutan Wisata Semirang yang saya kenal, bukanlah halangan, ia pasti bersahabat dengan saya karena saya tak pernah memusuhinya. Dan demi waktu yang berlalu, semua kemurnian hidup berawal dari sini.
Bayangkan saja, ada sungai yang mengalir jernih, bahkan bisa diminum langsung airnya. Jadi jangan sesekali mengotori sungai kecil ini dengan perilaku busuk kita, mengencinginya, membuang hajat atau bahkan menorehkan luka dengan membuang air sabun penuh bahan kimia ke aliran tubuhnya.
Suara jenggerek, kumbang pohon, menambah merdu harmoni angin yang menggesek dedaunan. Sejenak memejamkan mata, saya rasakan aliran darah saya mengalir bersih, bergerojok seperti air terjun kecil di sungai ini. Tak sabar saya menulisnya...
Wajar memang jika teman-teman Mercy Corps memilih lokasi ini. Desa Gogik dengan air terjun Semirangnya, adalah salah satu sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang yang mengalir hingga ke Laut Jawa. Total ada puluhan desa/kelurahan yang dialirinya, memanjang dari lereng Gunung Ungaran hingga ke pesisir Semarang. Bahkan jika dihitung pakai matematika (ilmu yang sangat saya hindari), kawasan DAS ini mencapai 74 kali besaran lapangan sepak bola lo.
Jadi kalau di hulunya sudah kotor, warga di pesisir Semarang, tentu akan merasakan jauh lebih kotor plus bonus banjir. Dan memang air jernih tak pernah saya temui di kota tempat saya mengabdi. Hanya sisa kemarahan alam yang terkoyak memunculkan darah pekat berwarna coklat.

Airnya jernih gaes, jadi tergoda untuk keceh kan

Karenanya, rekan-rekan Mercy mencoba mencari titik terang, mengajak keterlibatan warga di sekitar DAS Garang, membangun kepedulian. Tidak sekedar mengingatkan untuk menjaga kebersihan dan kemurnian sungai-sungai yang bersumber dari Gunung Ungaran, namun juga menyanyangi mereka dengan segenap jiwa (mirip sayangku ke kamu).
Karena itu pula, sudah selayaknya seluruh peserta Kemah Ceria memiliki kewajiban menjaga bumi yang dipijaknya dari sampah dan limbah. Langkah kecil yang kami mulai, diharapkan membesar lalu menular ke banyak orang. Mengumpulkan sampah yang kami sisakan dari perjalanan, membuangnya ke tempat sampah. Setidaknya itu dulu langkah kecil kami...
Membangun kesadaran menjaga lingkungan seperti yang disampaikan Wardah (project manajer Mercy Corps untuk even Kemah Ceria), bukan persoalan mudah. Butuh perubahan wawasan akan apa yang anak cucu kita kelak akan dapatkan. Sebuah warisan yang bukan sekedar harta namun sebuah tatanan akan kehidupan yang tetap indah di masa depan.

**
KEDATANGAN kami ke Semirang disambut absensi berbuah tumbler cantik, ikat kepala merah dan juga matras alas tidur. Yang menarik, tumbler akan menemani  kami selama dua hari satu malam di sini.
Usai menempatkan tas dan perlengkapan lain di tenda, kami bergegas turun lagi. Sungai kecil yang berisik ini yang menjadi tujuan. Airnya yang jernih memancing keinginan untuk segera menyeruputnya, memasukkan ke tumbler lalu menggelegaknya menerobos kerongkongan, menghapus dahaga...ahhh segaarrrr.

Video by Ika Puspita yang berperan jadi lontong merah
Dan ketika panggung dibuka, kami sudah siap. Sambutan sang tuan rumah dan panitia penyelenggara menjadi menu wajib. Wejangan Pak Adib (Kadus Gogik) untuk tidak melakukan hal-hal yang melanggar norma, tidak mengotori sungai yang juga menghidupi banyak orang di bawah sana, menjadi pegangan.
Bukan saja pegangan hanya untuk dua hari ini, namun juga untuk masa yang akan mendatang. Tidak hanya pegangan saat di sini, namun juga saat berada di tempat lain, karena toh sudah menjadi kewajiban kita untuk ikut menjaga alam.
Makan malam menjadi saat yang paling guyub. Sajian nasi kembulan yang dipajang memanjang beralas daun pisang dengan lauk gereh, telur dan ayam, ditimpa daun pepaya yang dibuat kluban, sungguh nikmat dan guyub. Kami semua makan dari satu alas yang sama, mirip suasana ketika saya masih di pesantren hahaha.
Lalu dimainkanlah sebuah sandiwara berbalut wejangan, Goro-Goro Roro. Drama sederhana yang dimainkan ibu-ibu PKK Gogik, namun sarat dengan petuah dan pesan.
Begitu pula penampilan Wayang Tenda 'Nandhang Wuyung' yang dimotori rekan saya, Umam. Cerita yang disajikan sangat mudah dicerna, mengajak kita semua untuk tidak silau dengan gemerlap dunia dan menjualnya untuk kemewahan sesaat. Ibu pertiwi harus disayangi, sejak saat ini pula. (Duh aku mulai mendua, sayang kamu dan sayang ibu pertiwi nih hihi)


Sego kembulan...yukkk gassss

Wayang Tenda 'Nandang Wuyung'

Dan ketika malam tiba, bukanlah saat yang saya nantikan. Ketakutan akan ular, membuat saya tdak bisa memejam. Kelupaan membawa garam, membuat hati tak tenang. Setiap gemerisik rumput dan dedaunan, saya bayangkan itu adalah ular yang datang di balik semak bukan untuk menggigit tapi untuk memeluk saya...dan saya ketakutan hingga Subuh tiba. (tapi tetap saja saya tidak solat Subuh hufft)
Dan outbond empat jam, semakin menguatkan kekompakan kami. Team building yang mereka siapkan, adalah materi berharga mengarungi kebersamaan dan sinergi kami di masa mendatang. Bahwa tidak ada anak buah yang bodoh jika pemimpinnya tidak pintar, juga tak ada pemimpin yang sempurna jika tidak didukung sinergi dari seluruh anggota kelompoknya.
Sesi permainan water bridge, ball bridge, si jagur yang memecah balon hingga membuat tower serta bola hip hop bukan saja membuat kami  riang. Sinergi dan kekompakan antar anggota tim, menjadi modal berharga.
Ah sayangnya, tim Anak Panah yang saya pimpin tidak dimenangkan oleh panitia. Saya sendiri sadar diri karena memang tim kami terlalu sering memenangkan kegiatan out bond semacam ini di tingkat RT dan RW, jadi biar saja ada pemerataan juara...mesakke teman-teman yang tak pernah menang.


Namanya juga Kemah Ceria...ya harus ngakak dong. Photo by Anjie
Ini bukan lagi galau atau sedih, cuma lagi nunggu mie ayam lewat
***
Kemah Ceria merupakan bagian dari Program GRP-TRANSFORM program pengelolaan risiko banjir lintas wilayah di Kota Semarang dan Kabupaten Semarang hasil kerja sama Mercy Corp Indonesia, Atma Connect, ESG dan Karang Taruna Desa Gogik.


Aplikasi AtmaGO adalah salah satu aplikasi yang sangat unik dan menarik, sebab dibuat dengan semangat dan ide cemerlang dari warga demi mewujudkan lingkungan lebih baik dari sebelumnya. Aplikasi ini juga berfungsi sebagai alat untuk mengingatkan pengguna agar menjaga lingkungan, dengan aplikasi ini maka cucu kita dapat menikmati keindahan alam yang kita lindungi.
Di dalam Aplikasi AtmaGo ini adalah aplikasi berbasis web dalam android, AtmaGO memiliki fungsi untuk memberikan informasi kepada penduduk terutama kepada penduduk yang bertempat tinggal di bantaran sungai Garang. Warga dapat mendapatkan informasi tentang potensi banjir dengan menggunakan aplikasi ini tanpa  biaya lo.
Salah satu kelebihan dari aplikasi AtmaGO sendiri yaitu aplikasi ini dapat dimanfaatkan untuk melaporkan masalah, memberikan berbagai solusi, informasi tentang lingkungan bahkan mencari lowongan pekerjaan .




****
Tips Kecil Membangun Kesadaran Mengurangi Sampah dari Muka Dunia:
- bawa kantong belanja sendiri dari rumah
- berani menolak ketika kasir memberikan kantong plastik untuk mengemas barang belanjaan selama kita bisa membawanya (masukin di tas atau saku aja)
- ajak orang rumah (anak, istri, pembantu) untuk ikut peduli sampah. Tapi kasih contoh juga dong, jangan cuma Jarkoni (iso ngajari, ra iso nglakoni)
- pada tingkat yang lebih advance, pilah sampah organik dan plastik (saya sendiri belum bisa lo. ngaku ini)
-  pada tingkat yang lebih di atasnya advance, manfaatkan sampah plastik jadi barang yang lebih berguna (yang sebelumnya saja saya belum bisa, apalagi yang ini, jadi jangan bilang saya Jarkoni yess)


Baca juga untuk blog walking yess:
- http://www.brama-sole.com/2018/03/kemah-ceria-das-garang-bersama-mercy.html
- http://diemplok.com/kemah-ceria-das-garang-bersama-mercy-corps/
- http://www.irasulistiana.com/2018/03/ngecamp-cerita-bersama-mercy-corp-yuk.html
- http://berita.satumenitnews.com/2018/03/kemah-ceria-das-garang-bareng-mercy.html
- http://www.pelancong.id/2018/03/melancong-berkemah-dan-peduli.html
- http://www.doyanjalanjajan.com/2018/03/kemah-ceria-bersama-mercy-corps-Indonesia.html
- http://www.olaole22.com/2018/03/serunya-kemah-ceria-sambil-mencintai-alam.html?m=1
Share:
Read More