Iklan itu Mengingatkan Arti Persahabatan

Sebuah iklan di TV jelas mengungkapkan bagaimana kita berteman dengan banyak kawan. Baik itu kawan yang riil ada di dekat kita, berhubungan secara kontinyu, atau hanya teman di dunia maya...

Dan ketika saya mencari nama anak ketiga, sembari menunggu dan mencari...wajah saya tertampar. Di luar ruangan, ramai orang berbincang, sesekali diseling tawa, seolah mereka bahagia. Bagi saya, mereka bahagia betulan atau tidak, saya tidak peduli. Yang saya rasakan, mereka adalah sosok-sosok yang lama tak bersua, dipertemukan oleh kesempatan satu di antara mereka ada yang sama-sama melahirkan di rumah sakit ini, dan momentum itu mempersatukan perkawanan mereka kembali.

Tidak...tidak. Saya sedang tidak ingin mengomentari perkawanan saya dengan teman-teman saya yang saya kira jumlahnya cukup banyak. Saya cukup bahagia dengan semua pertemanan saya baik di dunia nyata maupun di dunia sosial media.
Saya hanya ingin menarik garis lurus antara iklan rokok yang berbasis persahabatan sejati itu adalah main bareng, benar adanya. Sahabat sejati tidak hanya ramai di dunia berbasis internet, namun juga bersama-sama di dunia yang sebenarnya.
Sering kita mengolok sebuah persahabatan dimana kondisi masing-masing anggota di dalamnya, hanya asyik bermain HP satu sama lain. Padahal mereka bersama, duduk satu meja, saling nge-tag satu sama lain dan memperbincangkan komentar rekan lain yang entah dimana posisinya, tapi lupa berkomentar bahwa mereka sedang bersama.
Tidak ... tidak. Saya juga tidak sedang meratap karena jumlah teman yang berkunjung melihat bayi ketiga saya, mungkin cukup sedikit. Ini bukan lomba antar pasien di rumah sakit ini dimana yang memiliki pembesuk terbanyak, pemenangnya. lalu dapat hadiah gratis biaya persalinan atau piring cantik.
Saya hanya mencoba menghubungkan iklan rokok itu dengan tamparan keras, betapa kita sering mengabaikan sahabat-sahabat terbaik kita yang mungkin sangat peduli namun kita justru lebih peduli pada sahabat bernama 'maya', dipisahkan waktu dihubungkan dengan kuota.
Betapa kita harus menyadari, di sekeliling kita masih banyak orang yang sangat care dengan kondisi kita, meski mungkin sebaliknya, kita merasa kurang peduli dengan mereka.

Sahabat tetaplah sahabat. Namun jangan lupakan, perhatian dan kasih sayang adalah keutamaan. Teman yang jauh bukan berarti bukan bersahabat karena hanya jarak yang memisahkan. Namun intensitas, perhatian dan kesempatan berkunjung satu sama lain, jauh lebih utama dari pulsa kuota.

Selamat berteman dengan nyata, kawan...


NB: saat perdebatan mengenai anak ketiga kami mulai digelar.
RS Bunda Maternity Hospital, 21.53.
Share:
Read More

Duo Kriwul

Pasha dan Athier...duo anak lanang yang bagiku tidak saja lucu karena guyonan polos mereka memang menggelikan, namun juga penyemangat hidup.
Bayangkan, saat capek pulang kerja, bertemu dengan mereka adalah vitamin yang menyuplemen denyut nadi agar bergerak lebih bergas menyongsong tantangan hidup. Canda mereka seolah mampu melolosi awak yang tadinya lemes tur kuesel, menjadi lebih bergairah.
Tidak saja perbincangan ala anak-anak yang selalu kocak, namun juga sisi berantem mereka yang bagi kami, saya dan istri, menjadi lucu. Tak jarang saya harus berteriak sedikit membentak meski sebenarnya saya pengin ketawa, namun demi gengsi seorang ayah, saya harus tegas. Sok tegas kayaknya...haha.

Pasha
Di usianya yang 8 tahun, ia adalah sosok yang ceria. Sifat narsis dan pede sedikit banyak menurun dari saya. Pernah suatu ketika saat ia sayang-sayangnya dengan smartphone dan mengetahui ada feature video di salah game Talking Tom terbaru, ia merekam aksinya.
"Pemirsa pemirsa, jika ada punya HP bagus dan ingin dijual, segera bawa ke OLX, nanti saya beli. Ya ya ya.." (sembari matanya mengerjap kocak, dibuat mirip dengan sosok presenter TV).
Atau ketika adiknya menatap ia lekat-lekat, segera ia berteriak, "Dek Athier, jangan liat-liat, bikin mual."
Demikian pula saat keduanya asyik main Minecraft, tiba-tiba celetukan kocak yang bagi orang dewasa sangat lucu, membuat mereka terbahak-bahak. Tak urung terpaksa saya harus ikut mengintip apa yang mereka tonton dari Youtube, sekaligus memastikan tidak ada konten yang belum pantas mereka liat di sana.
Athier
Berjarak usia 2,5 tahun dari kakaknya, tak jarang banyak orang menganggap mereka anak kembar. Tak apa, toh keduanya anakku. (Yo iyolah anakku, mosok anake tonggoku).
Sebagai adik, ia nyaris tidak pernah mau kalah dengan kakaknya. Setiap Pasha punya apa, melakukan apa, ia selalu ingin serta, ingin sama. Mulai dari tas sekolah, HP, hingga mainan. Bedanya, Pasha lebih suka Maincraft sebagai  superheronya, sementara adiknya lebih memilih Spiderman sebagai sosok yang dikaguminya.
Ketika Pasha punya dompet, Athier segera ingin punya. Beruntung ia punya sahabat Alyssa yang 'setia' membelikannya dompet, tas dan aneka rupa karakter Spiderman untuknya.
Suka sekali memukul dan permainan fisik berantem, ia kini kuajari untuk tidak memukul lebih dulu sebelum dipukul orang lain. Bukan berarti saya suka kekerasan, namun itu adalah upaya mengendalikan adrenalinnya yang suka perang perangan serta cerita tentang dio, sahabatnya di skolah yang suka memukul (katanya).
Suatu ketika,  saat saya sedang bertiga di dalam mobil usai menjemput Pasha pulang sekolah, tiba-tiba melihat burung kuntul terbang dari pohon Asem di depan BR Srondol. Tetiba, Athier berteriak, "Eh itu burungnya om Erick (om nya mereka) terbang." Dan sontak mereka tertawa lepas.

Beruntung mereka tidak bilang, eh itu burungnya ayah masuk sangkar mamah....
Share:
Read More

Bola, Derita dan Kamu...

07.30 Ketika bangun dan aku menemukan kesusahan menggerakkan sendi-sendi di punggung bagian kanan dan kiri...

Bermain sepak bola adalah impian lama. Meski selama ini aku sudah bermain futsal, namun menaklukkan lawan di lapangan hijau berukuran max 120x90 meter, menjadi mimpi.
Dan awal Januari lalu, semuanya terwujud ketika Persatuan Wartawan Olahraga (SIWO) PWI Jateng melakukan seleksi untuk tim sepakbola yang akan diberangkat ke Porwanas 2016 di Bandung. Mengusung kekuatan teman-teman yang bisa bermain bola ditunjang dengan pelatih kenamaan Sartono Anwar, mulailah kita berlatih.
Sesuai passion, aku memilih posisi bertahan. Bukan tanpa alasan karena memang aku hanya menyeesuaikan dengan nafas Marlboro Ice Blast yang tak seberapa. Posisi ini kunilai lebih tidak banyak berlari sehingga lebih memungkinkanku menjaga daerah dengan fokus, aman, terkendali layaknya menjaga stabilitas nasional.
Bencana mulai muncul ketika sebagian rekan tim tidak lolos Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang menjadi salah satu syarat mutlak mengikuti Porwanas. Dua kiper tim dinyatakan tidak lolos.
Manajemen tim pun mulai membidik siapa-siapa yang pernah punya sejarah menjadi kiper dan memiliki legal formal layaknya Kartu Pers, Kartu PWI dan UKW. Namaku disebut...
Pun dengan semangat aku ikuti saran mereka menjadi tenaga kiper cadangan. Tapi bencana yang lebih besar menanti.
Latihan menjadi kiper tidak semudah latihan menjadi defender, pemain sayap atau penyerang. Jika tiga posisi ini lebih mengandalkan lari dan skill individu, tidak demikian dengan kiper.
Sebagai palang terakhir di bawah mistar, sosok kiper sangat vital. Ia tidak saja harus bisa sprint, namun juga melompat, menubruk bahkan mendekap erat. Untuk urusan mendekap, jangan disangsikan deh, mungkin saya jagonya...tapi untuk skill lainnya tersebut, ampun juuuuuuuuuuu...
Terbukti, dari latihan pertama, kepalaku sudah nggliyeng tak karuan. Latihan melompat menangkap bola, ternyata sangat berat. Belum lagi jika harus menjatuhkan diri agar bola aman.
Dan latihan kedua kemarin Minggu, menjadi yang super berat. Terlebih Minggu pagi aku mencoba peruntungan dengan mengikuti TC futsal untuk kepentingan Porwanas pula. Alhasil, langkah menjadi berat karena paha sudah dipaksa berlari sejak pagi.
Lebih-lebih, Agus kiper yang biasanya berangkat latihan, saat itu tidak datang sehingga aku sendirian berlatih di bawah mistar.

Bencana semakin terjadi...

Dari total waktu 24 menit latihan kata Pak Dadan pelatih kiperku, efektif hanya 15 menit waktu yang kumanfaatkan. Selebihnya, lebih banyak istirahat, ngos ngosan dan sharing tentang posisi ini. Maklum, terakhir ia adalah pelatih kiper tim bola dari Cilacap. PSCS klo gak salah namanya.

Bencana belum berakhir

Pagi ini, semua bencana tersebut di atas mulai kurasakan dampaknya. Badan njarem di seluruh sendi terutama yang berhubungan dengan otot lengan, kurasakan. Bahkan untuk ngolet saja, sakitnya bukan main. Bukan...bukan karena aku gak pernah olahraga tapi lebih karena materi latihan yang berbeda selama ini. Jika selama menjadi pemain bola n futsal lebih banyak menggunakan otot kaki dan paha untuk berlari, kini akau harus menggabungkannya dengan otot lengan, punggung dan cengkeraman erat.
Dan dalam beberapa hari mendatang, 'derita' ini akan kutanggung sendiri.

Ah seandainya bola itu adalah kamu, tentu aku sudah lebih semangat latihannya, nangkapnya, memeluknya terutama mengamankanmu dari serbuan lawan.
Share:
Read More

Spiderman ohh Sepidehman

28 Desember 2015 waktu itu...sehari setelah ultahnya Athier, anak keduaku.
Tidak ada persiapan khusus memang, wong bekalnya cuma kostum Spiderman yang sebenarnya aku pinjam untuk memberi surprise ke Athier yang ultah. Sebagai kejutan karena ia sangat nge-fans dengan tokoh super hero itu, aku meminjam kostum sang pahlawan berjaring ke salah satu toko andalan di kawasan Kranggan, Johar.
Tapi kupikir, buat apa juga kostum disewa tanpa diberdayakan. Berbekal dengan aktivitas dan keinginan rekan-rekan Penggiat Wisata untuk mempopulerkan salam Semarang, aku nekad.
Senin pagi, kuhubungi Adam Muda, seorang desainer progesif revolusioner yang sangat doyan kerja dan kerja bakti ra dibayar. Iapun terkaget-kaget dengan maksud yang kusampaikan, sampai cumu terbengong dan ngomong..."Yo wes sakkarepmu gus, tapi aku ra gelem tampil, aku mendampingi wae."
Tak berapa lama, kita konsep sedikit penampilan Spiderman ini, tapi hanya sedikit yang nantinya berujung cilakak dalam aksiku. Beberapa teman lain terutama wartawan dikontak agar standby di lokasi yang kita tentukan, Halaman Balaikota Semarang.
Dan ternyata bener. Kebodohan pertama yang kulakukan adalah ternyata jari jemari Spiderman terbungkus kain hingga menyerupai kaos tangan full hand, aku mulai tak bisa mengirim WA atao BBM bahkan memencet no telp karena licinnya kain dan layar HP. Beruntung ada Adam dan Taufan YD (duo Penggiat Wisata yang luar biasa semangat) yang sekali lagi sigap membantu bahkan mengeluarkan pulsa untuk menelepon.
Payah kedua berlanjut.
Aku bingung dengan pose Spiderman. Inginnya sih bergaya laksana di pilem-pilem, namun ujungnya selalu saja gagal. Beberapa pose yang disiapkan meniru poster and aksi sang tokoh, nyaris selalu gagal.
Tak kurang akal, kampanye salam Semarang-lah yang menolongku dari kemaluan ini. Menghampiri setiap orang yang berlalu lalang di kolam Balkot, aku sedikit percaya diri. Terlebih ketika mereka belum tahu apa dan bagaimana salam ini...aku bener-bener seperti hero. Pahlawan di siang bolong yang amat terik.
Beberapa yang mengenaliku berujar, Spiderman kok kriting. Ah prek, sing penting aku iso aksi mensosialisasikan salam Semarang.
Beruntungnya lagi, kawan-kawan wartawan sangat mendukung. Mereka bahkan men-setting, bagaimana akau harus bersikap sesuai kebutuhan gambar yang mereka inginkan. Yo wes ben lah isin sitik, yang penting masuk korang dan TV, pikirku.
Pun ketika rekan wartawan lain, Wamama, kebetulan punya jadwal audiensi dengan Plt Walikota saat itu Tavip Supriyanto, menjadi ajang bagiku untuk mengenalkan salam ini.
Beliau bahkan terkaget-kaget ada Spiderman masuk ruangan rapat. "Ojo ngangeti meneh mas," ujarnya melalui twitter setelah beberapa saat.
Dan kini, sang Spiderman mulai sepi order. Dilalah, kondisi keamanan Semarang juga sangat kondusif sehingga aku tak perlu bergelantungan untuk membasmi kejahatan. Selain itu, jam sewa kostum juga sudah mulai mepet, minta dikembalikan sebelum sore.
Mungkin Spiderman sudah saat perlu diganti nama menjadi Sepidehmen...

*sebait kisah kontribusi untuk Semarang



Share:
Read More
, , ,

Virus Itu Bernama Agus Magelangan

Asyuuuu...
Agus Magelangan ki memang asyu, kakeane. Jujur saja sebenarnya sudah sejak lama saya pengin kembali nulis di blog. Bukan berarti saya sebelumnya tidak memiliki blog. Saya punya. Swear...
Tapi entah apa namanya, saya sendiri sudah lupa. Beberapa teman yang aktif nge-blog sudah saya minta memasukkan dan men-searching nama saya yang mungkin saya gunakan saat nge-blog beberapa tahun lalu, namun tak jua ketemu.
Coba masukkan kata Wahid United, Gus Wahid, atau bahkan Gus Wahid United tak juga ada. Padahal hanya nama itu yang sering dan memang saya gunakan untuk ngeksis. Tak jua ketemua.
Pun ketika ditanya, blog di domain apa, saya tak bisa menjawab. Tapi swear, saya pernah punya blog dan pernah menulisnya.
Begitu pula ketika lima tahun terakhir saya banyak berteman dengan para blogger di Kota Semarang maupun di Jateng, saya sudah kepancing untuk menulis blog lagi. Tapi keinginan saya masih bisa dipatahkan oleh alasan bahwa mengapa saya harus menulis blog wong saya setiap hari juga ngetik berita? Kan sama saja, begitu hati kecil saya berbisik...
Oh ya, sebagai gambaran, sehari-hari aktivitas saya memang sebagai jurnalis. Mewartakan hal-hal yang patut diwartakan kepada khalayak.
Toh ternyata masih ada hal lain yang saya rasa kurang...tidak semua hal dalam kisah hidup saya bisa diwartawan dan patut dibaca pelanggan Koran Pagi Wawasan tempat saya bekerja. Dan blog adalah salah satu sarana menyampaikan kisah dan perjalanan waktu yang saya habiskan selama ini.
Pun saya sebenarnya juga sudah mengisahkan setiap jengkal perjalanan waktu ini melalui akun sosmed. Twitter, Path, Instagram da Fesbuk yang sudah mulai saya tinggalkan, masih dijumpai jejak-jejak perjalanan jenaka yang memang saya buat tidak mengharukan. Bagi saya, hidup terlalu indah untuk dibuat haru.
Dan ketika kemarin saya berjalan di sebuah pameran buku, saya menemukan Diplomat Kenangan karya Agus Mulyadi yang lebih saya kenal sebagai gus Mul atau Agus Magelangan. Kebersamaan singkat kami dalam sebuah acara ROB Jateng 2013, membuat kenangan itu terusik. Toh Agus adalah sosok yang ramah, unik serta bisa masuk TV.
Dan ketika saya membaca buku ketiganya tersebut, belum sampai seperempat buku saya selesaikan, naluri terusik. Dalam penerawangan jauh saya, Agus seolah memaksa dan meracuni saya, bahwa saya harus kembali nge-blog...HARUS.
Alhasil...buku Diplomat Kenangan saya tutup dan saya meraih laptop, menancapkan sumber daya ke colokan listrik dan menyisihkan game COC yang sebenarnya spell-nya sudah ready untuk dipakai war.
Agus Magelangan aka Agus Mulyadi memang bangsat. Selamanya saya akan dendam kepadanya dan saya pastikan dendam ini tak akan pernah padam.
Tunggu pembalasanku Gus...#akungeblogmergokowe

Share:
Read More